Puisi: Senja di Pantai Depok (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Senja di Pantai Depok" membawa pembaca ke dalam perenungan penyair tentang keindahan alam, kesendirian, dan pertanyaan tentang makna ...
Senja di Pantai Depok

kusimak desir ombak senja itu
datang dan pergi di ujung kakiku
apakah yang kautangkap dari makna
hubungan raja dan ratu di kedalaman samudera?

hanya bayanganku tercapak di pasir
hanya angin bersikeras memainkan rambutku
mengapakah gelisah burung-burung camar?
mitos, dongeng, dan kenyataan pun berpadu

kusimak derai tawamu senja itu
ketika matahari kemerahan tenggelam di laut
apakah benar misteri sultan dan nyai mulai susut
dan cinta mereka kalah abadi dari punyaku, punyamu?

2020

Analisis Puisi:

Puisi "Senja di Pantai Depok" karya Gunoto Saparie menggambarkan refleksi seseorang yang menikmati keindahan senja di Pantai Depok sambil merenungkan makna kehidupan dan cinta. Puisi ini membawa pembaca ke dalam suasana alam yang tenang dan memperkenalkan pertanyaan tentang hubungan antara keindahan alam dan kompleksitas emosi manusia.

Keindahan Alam dan Kedalaman Makna: Penyair menggambarkan suasana pantai yang tenang dan damai dengan desiran ombak senja yang datang dan pergi di ujung kakinya. Namun, di balik keindahan alam ini, tersembunyi pertanyaan tentang makna yang lebih dalam, seperti hubungan antara "raja dan ratu di kedalaman samudera". Ini mencerminkan rasa ingin tahu dan rasa ingin memahami yang mendalam dalam diri penyair terhadap rahasia kehidupan dan alam semesta.

Kesendirian dan Refleksi: Meskipun dikelilingi oleh keindahan alam, penyair merasa kesepian dan terasing. Bayangannya terpantul di pasir, dan hanya angin yang bermain-main dengan rambutnya. Gelisah burung camar menambah kesan kesendirian dan kebingungan yang dirasakan penyair. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada keindahan di sekitarnya, namun penyair masih merasa sendiri dan terombang-ambing dalam pikirannya sendiri.

Pertanyaan tentang Cinta dan Kehidupan: Penyair merenungkan tentang misteri cinta dan keabadian. Ketika matahari tenggelam dan menyisakan tawanya yang merah, dia bertanya-tanya tentang misteri hubungan antara sultan dan nyai yang konon mulai surut, sementara cintanya sendiri mungkin menghadapi tantangan keabadian. Ini mencerminkan kegelisahan penyair tentang kekuatan dan kelemahan cinta dalam menghadapi waktu dan perubahan.

Puisi "Senja di Pantai Depok" membawa pembaca ke dalam perenungan penyair tentang keindahan alam, kesendirian, dan pertanyaan tentang makna kehidupan dan cinta. Dengan menggunakan gambaran alam yang indah, penyair berhasil mengeksplorasi kompleksitas emosi manusia dan menantang pembaca untuk merenungkan misteri kehidupan.

Foto Gunoto Saparie
Puisi: Senja di Pantai Depok
Karya: Gunoto Saparie

GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.

Selain menulis puisi, juga mencipta cerita pendek, novel, esai, kritik sastra, dan artikel/opini berbagai masalah kebudayaan, pendidikan, agama, ekonomi, dan keuangan.

Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).

Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).

Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah.

Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
© Sepenuhnya. All rights reserved.