Puisi: Ke Pantai (Karya Alex R. Nainggolan)

Puisi "Ke Pantai" karya Alex R. Nainggolan menggambarkan perjalanan batin yang penuh dengan perasaan dan kenangan yang sulit untuk diungkapkan.
Ke Pantai

ke pantai
jejakmu landai
menghitung lipatan sunyi
yang berkawah di matamu

ke pantai
tubuh yang lepai
keriap angin
ombak yang subur
asin laut
yang sungut
larut di tepi lidah

percakapan kita tak pernah sampai
bukankah acap kukoyakkan ingatan padamu
setiap kali biru laut
berkelir
di matamu
yang jauh
kalut berebut
ombak terus bergerak

ke pantai
kerumun orang
asing yang terbelah
dan cintamu begitu kekal
tak bisa kupenggal

2013

Analisis Puisi:

Puisi "Ke Pantai" karya Alex R. Nainggolan menghadirkan gambaran suasana pantai yang tidak hanya mengacu pada elemen-elemen alam fisik, tetapi juga memuat kedalaman perasaan, kenangan, dan hubungan yang tak pernah selesai. Puisi ini menggunakan simbolisme pantai sebagai metafora untuk menjelajahi perasaan kompleks, terutama dalam hubungan antara manusia, kenangan, dan rasa kehilangan.

Pantai sebagai Metafora Keheningan dan Keterasingan

Puisi ini dibuka dengan dua baris pertama yang menggambarkan perjalanan ke pantai, yang mungkin merepresentasikan pencarian atau refleksi terhadap sesuatu yang telah berlalu. "Ke pantai, jejakmu landai, menghitung lipatan sunyi, yang berkawah di matamu". Di sini, jejak yang landai menggambarkan perjalanan yang tenang, namun dalam proses itu, "lipatan sunyi" mengisyaratkan adanya perasaan hampa atau kesendirian yang dalam. Mata yang memendam "lipatan sunyi" ini juga menunjukkan bahwa meskipun ada ketenangan, ada sesuatu yang tersembunyi, sebuah luka atau kehilangan yang tidak terucapkan.

Pantai dalam puisi ini bukan hanya gambaran fisik dari alam, tetapi juga ruang batin yang meliputi perasaan yang tersembunyi dalam diri. "Kawah di matamu" merujuk pada kedalaman perasaan yang tak terlihat jelas, seperti kawah vulkanik yang tersembunyi di bawah permukaan namun bisa meledak sewaktu-waktu, melambangkan potensi luka yang belum terselesaikan.

Tubuh yang Lepai dan Perasaan yang Mengalir

Pada bagian berikutnya, "ke pantai, tubuh yang lepai, keriap angin, ombak yang subur, asin laut yang sungut, larut di tepi lidah", Nainggolan menggambarkan kedatangan ke pantai dengan elemen-elemen yang berhubungan dengan indra, seperti angin, ombak, dan rasa asin laut. Istilah "tubuh yang lepai" menggambarkan kondisi tubuh yang letih atau terlepas dari beban, tetapi pada saat yang sama, tubuh ini tidak bisa benar-benar melupakan atau melepaskan perasaan yang ada.

Keriap angin dan ombak yang subur bisa diartikan sebagai simbol dari dinamika kehidupan yang terus bergerak dan tidak pernah diam. "Asin laut yang sungut" mengarah pada rasa yang mengalir dan meresap ke dalam diri, menggambarkan perasaan yang tidak bisa disembunyikan. Laut yang asin menjadi simbol dari penderitaan atau kehilangan yang melibatkan emosi yang dalam, yang seolah tak bisa terhindarkan, seperti hembusan angin atau gelombang laut yang terus bergerak.

Percakapan yang Tak Pernah Sampai

"Percakapan kita tak pernah sampai, bukankah acap kukoyakkan ingatan padamu," bagian ini menunjukkan adanya percakapan batin yang tidak pernah tuntas. Meski ada usaha untuk mengungkapkan perasaan atau menyampaikan kata-kata, semuanya terasa hampa dan tidak selesai. Nainggolan seolah berbicara tentang perasaan yang tidak bisa diungkapkan sepenuhnya kepada orang yang dimaksud, dengan kenangan yang terus mengganggu pikiran.

Perasaan yang terus berputar seperti ombak yang "terus bergerak" menjadi simbol dari perasaan yang tak bisa dihentikan meski ada usaha untuk melupakan. Ini adalah gambaran dari hubungan atau kenangan yang sulit untuk dilepaskan, meskipun ada upaya untuk menghindarinya.

Simbolisme Biru Laut dan Cinta yang Kekal

Pada bagian selanjutnya, "setiap kali biru laut berkelir di matamu yang jauh, kalut berebut, ombak terus bergerak", biru laut menjadi simbol dari kedalaman perasaan dan kenangan yang datang berulang-ulang. Biru adalah warna yang menenangkan, namun dalam konteks ini, biru laut mengingatkan pada ketidakterjangkauan dan perasaan yang selalu hadir meski ada jarak. Laut yang berwarna biru ini bisa juga menggambarkan ketenangan luar yang disertai oleh kerumitan emosi batin yang tetap mengganjal.

Puisi ini juga mengungkapkan tentang cinta yang "kekal," meskipun tidak bisa "dipenggal" atau diakhiri. "Cintamu begitu kekal, tak bisa kupenggal," menunjukkan bahwa meskipun ada jarak, perasaan cinta yang begitu kuat tetap tidak bisa diputuskan atau diakhiri. Cinta tersebut seperti laut yang tak pernah berhenti bergerak, kekal dan terus ada meskipun tak selalu tampak atau bisa dipahami.

Kehidupan yang Tak Pernah Berhenti Bergerak

Dalam keseluruhan puisi ini, pantai berfungsi sebagai metafora untuk kehidupan itu sendiri—penuh dengan perasaan yang bergelora, kenangan yang membekas, dan hubungan yang sulit untuk diungkapkan atau dipahami sepenuhnya. Ombak yang terus bergerak, perasaan yang terus berputar, dan kenangan yang tidak pernah sepenuhnya hilang menggambarkan bagaimana manusia berusaha menghadapi kesulitan dan perasaan yang datang, meskipun kadang-kadang mereka merasa tidak bisa mengendalikannya.

Puisi "Ke Pantai" karya Alex R. Nainggolan menggambarkan perjalanan batin yang penuh dengan perasaan dan kenangan yang sulit untuk diungkapkan. Dengan menggunakan simbolisme pantai dan laut, puisi ini menyentuh tema-tema besar tentang kehilangan, cinta, kenangan, dan perasaan yang terus bergerak. Pantai, sebagai tempat fisik yang terbuka dan luas, juga menjadi metafora bagi kedalaman perasaan yang tersembunyi, perasaan yang tidak bisa mudah dilepaskan meskipun waktu terus berjalan. Melalui puisi ini, Nainggolan menggugah pembaca untuk merenung tentang bagaimana kenangan dan perasaan yang terkubur tetap hadir dan berpengaruh dalam kehidupan kita, seiring berjalannya waktu.

Puisi Terbaik
Puisi: Ke Pantai
Karya: Alex R. Nainggolan
© Sepenuhnya. All rights reserved.