Puisi: Hujan, Payung dan Mulut yang Lepas dari Kepala (Karya F. Aziz Manna)

Puisi "Hujan, Payung, dan Mulut yang Lepas dari Kepala" menyajikan gambaran yang kuat tentang kesedihan, ketidakpastian, dan keputusasaan melalui ...
Hujan, Payung dan Mulut yang Lepas dari Kepala

(1)

pagi seperti senja
hanya dingin dan kelam yang bertambah
kami diam
menerawang bebulir air
berjatuhan

musim menjelma tanda yang susah dibaca
seperti raut wajahmu seperti kampungku
dan kami diam
menerawang
seperti menunggu isyarat
yang lain


(2)

hujan memintal debu
mengental di situ kami dan saudara kami
berdiam darah kami
hitam
mata kami
buram
pikiran kami
kelam
seluruh hidup
suram
(semoga bangkai-bangkai tikus dijauhkan)
dunia hanya diterangi kilau kilat
nyata sekejap, lebih lama gelap
tak ada cinta tak juga dosa
peluit yang ditinggal telinga
mulut-mulut yang lepas dari kepala


(3)

malam kelam melesat
kan gemuruh hujan

tanggul melembung
lumpur mengembung

tubuh kami
tubuh kami

sudet
seset

ini luka
tak sudah-sudah

atap-atap, payung-payung
retak rusak

Sidoarjo, 2012

Analisis Puisi:

Puisi "Hujan, Payung, dan Mulut yang Lepas dari Kepala" karya F. Aziz Manna adalah karya yang mendalam dan emosional, menggambarkan suasana dan perasaan dalam konteks hujan yang melanda. Melalui bahasa yang kuat dan imaji yang tajam, puisi ini mengundang pembaca untuk mengalami secara langsung kesedihan dan ketidakpastian yang dihadapi oleh pengarang dan masyarakatnya.

Bagian 1: Ketidakpastian dalam Hujan

Pada bagian pertama puisi ini, F. Aziz Manna menggambarkan pagi yang "seperti senja," menciptakan suasana yang dingin dan kelam. Kesamaan antara pagi dan senja menunjukkan suasana yang tidak biasa, di mana batasan waktu terasa samar. "Kami diam" mencerminkan ketidakberdayaan dan keheningan dalam menghadapi keadaan.

"Musim menjelma tanda yang susah dibaca" menggambarkan bagaimana perubahan alam tidak hanya mempengaruhi lingkungan tetapi juga emosional dan mental seseorang. Perasaan "menerawang" dan "menunggu isyarat yang lain" menunjukkan keresahan dan ketidakpastian dalam mencari makna dan arah di tengah situasi yang sulit.

Bagian 2: Keputusasaan dan Ketidakberdayaan

Bagian kedua puisi ini menawarkan gambaran yang lebih gelap dan mendalam. "Hujan memintal debu" dan "mengental di situ kami dan saudara kami" menunjukkan bagaimana hujan bukan hanya fenomena alam tetapi juga metafora bagi penderitaan dan keputusasaan yang dirasakan oleh penulis dan komunitasnya. Deskripsi seperti "darah kami hitam" dan "pikiran kami kelam" menciptakan citra yang suram dan penuh kesedihan.

Frasa "tak ada cinta tak juga dosa" mencerminkan ketiadaan nilai-nilai yang biasanya memberi makna dalam kehidupan, sedangkan "peluit yang ditinggal telinga" dan "mulut-mulut yang lepas dari kepala" menunjukkan bagaimana komunikasi dan koneksi manusia terputus dalam keadaan ini. Penutup dengan "dunia hanya diterangi kilau kilat nyata sekejap, lebih lama gelap" mempertegas ketidakpastian dan kegelapan yang menguasai kehidupan.

Bagian 3: Kerusakan dan Kehilangan

Bagian ketiga puisi ini memperlihatkan dampak fisik dan emosional dari hujan yang berkelanjutan. "Malam kelam melesat kan gemuruh hujan" menandakan bagaimana hujan semakin intensif, mengganggu keseimbangan dan ketenangan.

Deskripsi "tanggul melembung" dan "lumpur mengembung" mencerminkan kerusakan yang terjadi pada struktur fisik dan lingkungan. "Tubuh kami" diulang untuk menekankan penderitaan fisik dan emosional yang dirasakan. Penutup dengan "atap-atap, payung-payung retak rusak" menunjukkan kerusakan dan kehancuran yang dialami dalam upaya melindungi diri dari hujan, mencerminkan kerentanan dan ketidakmampuan untuk sepenuhnya menghindari kesedihan.
Kesimpulan

Puisi "Hujan, Payung, dan Mulut yang Lepas dari Kepala" karya F. Aziz Manna menyajikan gambaran yang kuat tentang kesedihan, ketidakpastian, dan keputusasaan melalui metafora hujan dan dampaknya. Melalui bahasa yang kuat dan imaji yang mencolok, Manna berhasil menangkap emosi dan situasi yang kompleks, memberikan pembaca sebuah pengalaman reflektif tentang penderitaan dan keputusasaan dalam kehidupan.

F. Aziz Manna
Puisi: Hujan, Payung dan Mulut yang Lepas dari Kepala
Karya: F. Aziz Manna

Biodata F. Aziz Manna:
  • F. Aziz Manna lahir pada tanggal 8 Desember 1978 di Sidoarjo, Jawa Timur.
© Sepenuhnya. All rights reserved.