Kekosongan
antara ada dan tiada, ini diri mematut diri
"hujan alangkah derasnya"
ya, kuyup sekali tubuhku. menyimpan sejarah. kota-kota yang marah dan mendendam.
"bukankah ibu yang menyimpan airmata?"
ya, seorang lelaki tak boleh menangis. karena airmatanya api. membakar negeri-negeri.
(aku menyebutnya sebagai serdadu. karena ia membawa senapang. dan
pedang. topinya berumbai. kumis dan jenggotnya hitam panjang. matanya? amboi matanya. seperti sebuah legenda troya, kurusetra, ayodya. ah, mungkin juga pada suatu tempat yang tak tercatat)
"ayah, mengapa hujan tak juga berhenti, sepertinya langit menangis.
atau tuhan?"
kanak-kanak itupun menyimpan tanya dalam kepala. mungkin ia serupa benda-benda. atau tontonan televisi yang dimamahnya sepanjang hari. atau sampah impor yang disantapnya di mall dan plaza.
antara ada dan tiada. aku menyelinap dalam keramaian, keriuhan pesta
dan kemarahan.
"bung , mengapa kau hanya diam. serupa patung. ayo bakarlah! hujatlah! marahlah!"
serupa patung. seribu patung. sejuta patung. menganga mulutnya. tak
bersuara. tak bersuara!
tak bersuara? begitu ramai pekiknya. begitu riuh serapahnya. mencoba membuka. rahasia demi rahasia.
"batu belah...batu belah batu terbelah. langit terbuka...langit terbuka
langit membuka. alakazam. aku alibaba, aladin, atau apa saja. zezam.
zezaaaaaaam!"
antara ada dan tiada
aku
"sebuah kekosongan"
Puisi: Kekosongan
Karya: Nanang Suryadi