Puisi: Berulang Kali Aku Tersesat di Jalan dan Gangmu, Jakarta! (Karya Nanang Suryadi)

Puisi "Berulang Kali Aku Tersesat di Jalan dan Gangmu, Jakarta!" mengajak pembaca untuk merenungkan tantangan dan realitas hidup di Jakarta, serta ...
Berulang Kali Aku Tersesat
Di Jalan dan Gangmu, Jakarta!

jakarta tak menyambutku dengan ucapan selamat datang, selain dengan hardikan preman di 100 m dekat terminal pulogadung. mungkin aku teramat lugu, hingga diseretnya aku dan dimintanya membayar bedak yang dicoretkan di mukaku. Bangsat!

kemarahanku meledak (mungkin tak pernah kau bayangkan bagaimana aku semarah itu). tapi rasa kasihan muncul juga, saat polisi memasukkan preman itu ke kamar tahanan.

berulang kali aku tersesat di jakarta. berputar-putar menaiki bis kota, bajaj, ojek, taksi, mikrolet. pengamen, pedagang asongan, peminta-minta, pemaksa (sambil membawa secarik kertas di tangan, dia berteriak: saya baru keluar dari penjara, daripada saya jadi perampok, berilah saya sedikit rezeki anda). ah jakarta, jakarta, aku tak pernah betah hidup di jakarta. jakarta bukan untuk seorang pengalah. jakarta milik para petarung!

selamat tinggal jakarta, karena aku bukan petarung. selamat tinggal!

2002

Analisis Puisi:

Puisi "Berulang Kali Aku Tersesat di Jalan dan Gangmu, Jakarta!" karya Nanang Suryadi merupakan eksplorasi mendalam tentang pengalaman pribadi dan emosi yang timbul dari kehidupan di kota besar, Jakarta. Melalui narasi yang jujur dan penuh kegelisahan, puisi ini menggambarkan betapa sulitnya bertahan di kota yang penuh tantangan ini.

Pengalaman Pribadi dan Realitas Jakarta

  • Sambutan yang Kasar: Puisi ini dibuka dengan gambaran yang kontras dan menggelisahkan tentang kedatangan penulis di Jakarta. Alih-alih disambut dengan keramahan, penulis menerima hardikan preman di dekat terminal Pulogadung. Pengalaman ini menggambarkan realitas keras dan brutal yang kerap dialami oleh pendatang baru di kota besar.
  • Kekerasan dan Kejahatan: Pengalaman dipaksa membayar bedak yang dicoretkan di muka oleh preman mencerminkan kekerasan dan kejahatan yang merajalela di kota ini. Rasa marah yang meledak menunjukkan betapa frustasinya penulis menghadapi situasi ini, meskipun akhirnya juga muncul rasa kasihan saat preman tersebut ditangkap polisi.

Tantangan dan Keterasingan di Jakarta

  • Kehidupan yang Tak Teratur: Penulis menggambarkan dirinya berulang kali tersesat di Jakarta, menunjukkan betapa membingungkannya kota ini dengan segala kompleksitasnya. Pengalaman menaiki berbagai jenis transportasi publik seperti bus kota, bajaj, ojek, taksi, dan mikrolet mencerminkan upaya keras penulis untuk menemukan jalan dan tempatnya di kota ini.
  • Interaksi dengan Orang-Orang Jalanan: Jakarta digambarkan sebagai kota yang penuh dengan pengamen, pedagang asongan, peminta-minta, dan pemaksa. Interaksi dengan berbagai elemen masyarakat ini menunjukkan dinamika sosial yang keras dan tak kenal ampun. Keadaan ini menambah tekanan dan ketidaknyamanan bagi penulis, yang merasa dirinya tidak cocok untuk hidup di lingkungan seperti itu.

Kesimpulan dan Refleksi

  • Ketidakcocokan dengan Kota: Penulis akhirnya menyadari bahwa Jakarta bukan untuk seorang pengalah. Kota ini digambarkan sebagai medan perang yang hanya cocok untuk para petarung. Kesimpulan ini menggarisbawahi ketidakcocokan penulis dengan gaya hidup keras dan kompetitif yang diperlukan untuk bertahan di Jakarta.
  • Perpisahan dengan Kota: Ucapan "selamat tinggal Jakarta, karena aku bukan petarung" adalah pernyataan penutup yang kuat dan tegas. Ini menunjukkan keputusan penulis untuk meninggalkan kota yang tidak bisa memberikan kenyamanan atau kesempatan untuk bertahan dengan damai.

Gaya Bahasa dan Narasi

  • Narasi yang Jujur dan Emosional: Nanang Suryadi menggunakan gaya narasi yang jujur dan penuh emosi. Penggunaan kata-kata seperti "bangsat!" dan deskripsi ledakan kemarahan memberikan intensitas emosional yang kuat pada puisi ini. Narasi ini membantu pembaca merasakan kegelisahan dan frustrasi yang dialami oleh penulis.
  • Gaya Percakapan: Penggunaan gaya percakapan dalam puisi ini membuatnya terasa lebih dekat dan nyata. Ini memungkinkan pembaca untuk merasakan pengalaman penulis secara langsung, seolah-olah mereka mendengarkan cerita dari seorang teman yang mengalami semua ini.
  • Simbolisme dan Realitas: Puisi ini kaya dengan simbolisme yang menggambarkan realitas hidup di Jakarta. Misalnya, preman dan polisi sebagai simbol kekerasan dan ketidakadilan, serta berbagai moda transportasi sebagai simbol kebingungan dan ketidakpastian. Simbolisme ini membantu menggambarkan kompleksitas dan tantangan hidup di kota besar.
Puisi "Berulang Kali Aku Tersesat di Jalan dan Gangmu, Jakarta!" adalah puisi yang menggugah dan penuh dengan kegelisahan. Nanang Suryadi berhasil menangkap esensi dari kehidupan di kota besar yang penuh dengan kekerasan, kebingungan, dan ketidakpastian. Melalui narasi yang jujur dan penuh emosi, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tantangan dan realitas hidup di Jakarta, serta memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang perjuangan individu untuk menemukan tempatnya di kota yang keras ini. Puisi ini menjadi cerminan dari kegelisahan urban yang universal, yang bisa dirasakan oleh siapa saja yang pernah merasa tersesat di tengah hiruk-pikuk kota besar.

Nanang Suryadi
Puisi: Berulang Kali Aku Tersesat di Jalan dan Gangmu, Jakarta!
Karya: Nanang Suryadi

Biodata Nanang Suryadi:
  • Nanang Suryadi, S.E., M.M. pada tanggal 8 Juli 1973 di Pulomerak, Serang.
© Sepenuhnya. All rights reserved.