Puisi: Arena Kegairahan Menari Perih (Karya Nanang Suryadi)

Puisi "Arena Kegairahan Menari Perih" mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana manusia bergerak dan bertindak dalam kehidupan yang penuh dengan ..
Arena Kegairahan Menari Perih
buat: kawanku arena sang penari

ini gelanggang di mana kita bergerak dan bicara
dengan kebebalan yang berulang-ulang datang,
kedunguan yang menjadi tradisi

di mana kegilaan mendapatkan tempat yang layak
katamu: "ini bagi kemanusiaan..."

atas nama kemanusiaan
dipersembahkan naluri purba manusia
menggeliatlah dengan penuh kegairahan
menarikan keperihan manusia ditikam keinginan sendiri

melenggoklah
matahari akan tetap menatap
menyengat kedua belah matamu
dengan tatapan yang membutakan

meliuklah dengan penuh ketakjuban
dengan pikiran-pikiran yang menjelma dari napsu
dan cinta? (ah, di mana lagi ditempatkan!)

"wahai, jangan tanyakan lagi tentang cinta,
 karena aku adalah cinta!" katamu lantang

menghentak bumi 
coba getarkan semesta

Analisis Puisi:

Puisi "Arena Kegairahan Menari Perih" karya Nanang Suryadi mengeksplorasi tema-tema kemanusiaan, kegilaan, dan cinta dalam konteks yang penuh kontradiksi. Dengan gaya bahasa yang kuat dan metafora yang tajam, Suryadi menggambarkan sebuah arena di mana manusia berfungsi di tengah kebebalan dan kegilaan, menari dengan penuh gairah sambil menghadapi perihnya keinginan dan naluri.

Gelanggang dan Kegilaan

Puisi dimulai dengan "ini gelanggang di mana kita bergerak dan bicara," yang menciptakan gambaran tentang ruang di mana aktivitas manusia terjadi. Gelanggang di sini bukan hanya sebuah tempat fisik tetapi juga simbolis untuk arena kehidupan sosial dan emosional di mana kebebalan dan kedunguan mendominasi. Penggunaan kata-kata seperti "kebebalan" dan "kedunguan" menggambarkan sebuah keadaan di mana kepalsuan dan kejahilan menjadi norma.

Kegilaan yang mendapatkan tempat layak dalam puisi ini menunjukkan bahwa dalam konteks kemanusiaan, sering kali, perilaku yang tidak rasional atau ekstrem diterima dan dipandang sebagai hal yang biasa. Frasa "katamu: 'ini bagi kemanusiaan...'" menunjukkan bahwa tindakan ini dianggap sebagai bagian dari hakikat kemanusiaan, sebuah pandangan yang ironis dan kritis terhadap keadaan sosial.

Naluri Purba dan Keperihan

Pada bagian "atas nama kemanusiaan / dipersembahkan naluri purba manusia," puisi ini mengaitkan perilaku manusia dengan naluri dasar yang primitif. Naluri purba ini digambarkan sebagai sesuatu yang terus-menerus menggeliat dan menari dengan kegairahan, menari perihnya keinginan dan ketidakpuasan. Ini menunjukkan bahwa meskipun manusia telah maju secara teknologi dan sosial, mereka tetap terikat pada dorongan-dorongan dasar yang sering kali membawa penderitaan.

Matahari dan Cinta

"Matahari akan tetap menatap / menyengat kedua belah matamu / dengan tatapan yang membutakan" melambangkan bahwa meskipun ada dorongan untuk melawan atau menari, kenyataan dan kejamnya dunia tetap hadir dan tidak bisa diabaikan. Matahari yang menyengat menciptakan gambaran tentang paksaan dan pengawasan yang keras terhadap tindakan manusia.

Selanjutnya, "meliuklah dengan penuh ketakjuban / dengan pikiran-pikiran yang menjelma dari napsu" menunjukkan bagaimana manusia terus-menerus terjebak dalam ilusi dan nafsu mereka sendiri, tanpa arah atau tujuan yang jelas. Ketika puisi menyebutkan "cinta? (ah, di mana lagi ditempatkan!)," ini mengindikasikan bahwa cinta sering kali tersingkir dan tidak mendapatkan tempat yang layak dalam konteks kegilaan dan keinginan yang mendominasi kehidupan manusia.

Pernyataan Cinta dan Getaran Semesta

Bagian akhir puisi, "wahai, jangan tanyakan lagi tentang cinta, / karena aku adalah cinta!" mengekspresikan pernyataan egois dan penuh semangat bahwa individu itu sendiri adalah cinta, atau setidaknya merasa memiliki kemampuan untuk menyuarakan dan mewakili cinta dalam konteks yang lebih luas. Ini adalah pernyataan yang menggugah semangat dan berani, tetapi juga bisa dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap realitas yang ada.

Penutup dengan "menghentak bumi / coba getarkan semesta" mencerminkan dorongan untuk membuat dampak besar atau perubahan yang menggemparkan dunia, tetapi juga bisa dipandang sebagai usaha untuk menghadapi dan mengatasi kekacauan yang ada.

Makna dan Interpretasi

Puisi "Arena Kegairahan Menari Perih" menggambarkan realitas kompleks dan sering kali paradoksal dari kehidupan manusia. Suryadi menggunakan simbolisme dan bahasa metaforis untuk menyampaikan bahwa di tengah kebebalan dan kegilaan, manusia terus-menerus mencari makna dan pengalaman yang mendalam. Kegairahan dan naluri purba menjadi pusat dari eksistensi manusia, namun cinta sering kali terabaikan dalam proses ini.

Pesan utama puisi ini adalah refleksi tentang bagaimana perilaku manusia, meskipun tampak terarah dan penuh gairah, sering kali terjebak dalam siklus kegilaan dan keinginan yang tidak berujung. Cinta, meskipun dideklarasikan sebagai sesuatu yang sangat penting, sering kali tidak mendapatkan tempat yang layak di arena kehidupan yang penuh dengan konflik dan kepalsuan.

Puisi "Arena Kegairahan Menari Perih" adalah puisi yang kuat dalam menggambarkan kontras antara gairah manusia, naluri primitif, dan cinta yang sering kali terabaikan. Dengan bahasa yang penuh warna dan metafora yang mendalam, Nanang Suryadi mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana manusia bergerak dan bertindak dalam kehidupan yang penuh dengan kebebalan dan kegilaan. Puisi ini memberikan wawasan tentang perjalanan emosional dan eksistensial manusia, serta tantangan untuk menemukan makna dan cinta di tengah kekacauan.

Puisi ini, dengan gayanya yang berani dan ekspresif, menawarkan refleksi mendalam tentang kondisi manusia dan perjuangan untuk menemukan cinta dan makna di dunia yang sering kali tampak tidak adil dan membingungkan. Melalui puisi "Arena Kegairahan Menari Perih," Suryadi mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana mereka berinteraksi dengan dunia dan bagaimana mereka memahami cinta dalam konteks kegilaan dan keinginan yang terus-menerus.

Nanang Suryadi
Puisi: Arena Kegairahan Menari Perih
Karya: Nanang Suryadi

Biodata Nanang Suryadi:
  • Nanang Suryadi, S.E., M.M. pada tanggal 8 Juli 1973 di Pulomerak, Serang.
© Sepenuhnya. All rights reserved.