Puisi: Sepuluh Pertanyaan untuk Ibu-Ibu di Waduk Kedungombo (Karya F. Rahardi)

Puisi "Sepuluh Pertanyaan untuk Ibu-Ibu di Waduk Kedungombo" mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya memahami dan menghargai perbedaan budaya ..
Sepuluh Pertanyaan untuk Ibu-Ibu
di Waduk Kedungombo

Pertanyaan I
Apakah sebabnya ibu-ibu lebih senang memakai
kain dan kebaya
dan bukannya memakai rok mini,
daster atau celana jeans?

Jawaban: Kami tidak tahu pak

Pertanyaan II
Apakah sebabnya ibu-ibu masih saja senang
dikonde
dan bukannya dikeriting, diponi atau
di punk rock?
Tidakkah ibu-ibu tertarik untuk datang ke
salon
dan minta potongan gaya Lady Di?
Apakah ibu-ibu juga tidak senang berjilbab?

Jawaban: Kami tidak tahu lho mas

Pertanyaan III
Apakah sebabnya ibu-ibu tidak pernah pakai
lipstik
bulu mata palsu, deodorant dan cat kuku?
Benarkah ibu-ibu tidak pernah gosok gigi
dan selalu mandi
dengan sabun cuci dan deterjen?

Jawaban: Kami tidak tahu dik

Pertanyaan IV
Kami dengar ibu-ibu tidak pernah makaiai
celana dalam
dan selalu kencing di sembarang tempat
tanpa cebok
Benarkah berita itu atau hanya sekedar
merupakan isyu
untuk mengalihkan perhatian?

Jawaban: Kami tidak tahu ndoro

Pertanyaan V
Benarkah ibu-ibu belum pernah mendengar
cerita tentang
Pasar swalayan, elevator, kulkas, kompos gas,
AC,
lampu kristal dan alat penghisap debu?

Jawaban: Kami tidak tahu oom

Pertanyaan VI
Apakah sebabnya ibu-ibu tetap ngotot
menanak nasi dengan kayu bakar
tidur di atas tikar, mencuci di kali
dan selalu setiap mendengarkan bunyi belalang
dan jangkrik
sambil menggendong anak?

Jawaban: Kami tidak tahu nduk

Pertanyaan VII
Apakah dalam ber KB ibu-ibu memakai spiral
kondom, pil, suntik atau vasektomi?
Benarkah ibu-ibu sering minum jamu
awet muda dan galian singset?

Jawaban: Kami tidak tahu kang

Pertanyaan VIII
Apakah ibu-ibu pernah melihat tentara dan
polisi membawa-bawa bedil
Wartawan menenteng-nenteng tustel dan
tape recorder
dan para mahasiswa yang mengacung-acungkan
poster?
Apakah ibu-ibu tidak takut pada bedil, tustel,
tape recorder
poster dan sorak-sorai para mahasiswa itu?

Jawaban: Kami tidak tahu tuan

Pertanyaan IX
Apakah ibu-ibu pernah melihat helikopter
terbang di atas sana dengan
suaranya yang gemuruh dan tahukah ibu-ibu
siapa yang berada dalam helikopter itu dan
untuk tujuan apa
mereka melihat-lihat desa ini dari udara?

Jawaban: Kami tidak tahu pakde

Pertanyaan X
Apakah ibu-ibu mau menyampaikan pesan-
pesan atau himbauan
untuk para pejabat dan masyarakat luas?

Jawaban: Kami tidak mau, kami tidak mau
terus-terusan diganggu, monyong!

Kedungombo, Maret 1989

Analisis Puisi:

Puisi "Sepuluh Pertanyaan untuk Ibu-Ibu di Waduk Kedungombo" karya F. Rahardi adalah sebuah karya yang menggunakan format tanya jawab untuk menggali perbedaan sosial, budaya, dan teknologi antara masyarakat tradisional dan modern. Dengan gaya yang ironis dan kritis, puisi ini mengungkapkan ketidakpahaman dan ketidakpedulian terhadap kebiasaan hidup masyarakat pedesaan yang sederhana.

Pertanyaan I hingga III

Bagian awal puisi ini terdiri dari serangkaian pertanyaan yang menguji kebiasaan dan pilihan gaya hidup ibu-ibu di Waduk Kedungombo. Pertanyaan-pertanyaan ini mencakup topik seperti pilihan pakaian, gaya rambut, dan penggunaan kosmetik. Setiap pertanyaan mencerminkan asumsi tentang modernitas dan standar kecantikan yang diterima secara umum. Jawaban yang konsisten yaitu “Kami tidak tahu” menunjukkan jarak antara dunia luar yang lebih modern dan dunia ibu-ibu yang lebih tradisional dan sederhana.

Pertanyaan IV hingga VI

Di bagian ini, puisi mengangkat isu-isu mengenai kebiasaan sehari-hari yang dianggap kuno atau tidak sesuai dengan standar modern, seperti penggunaan celana dalam, cara buang air, dan metode memasak. Pertanyaan-pertanyaan ini menyoroti perbedaan antara kehidupan pedesaan yang masih mengandalkan tradisi dan kemajuan teknologi yang tidak dikenal oleh ibu-ibu. Jawaban mereka yang sama, "Kami tidak tahu," mengindikasikan bahwa mereka hidup dalam dunia yang terpisah dari perubahan yang cepat di luar sana.

Pertanyaan VII hingga IX

Bagian ini melanjutkan dengan pertanyaan mengenai kontrasepsi, barang-barang modern seperti kulkas dan alat penghisap debu, serta fenomena sosial dan politik seperti kehadiran tentara, polisi, dan mahasiswa. Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan ketidaktahuan ibu-ibu tentang hal-hal yang sering dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat modern. Jawaban mereka yang seragam kembali menegaskan keterasingan mereka dari isu-isu kontemporer yang ada di luar desa mereka.

Pertanyaan X

Di akhir puisi, pertanyaan terakhir meminta ibu-ibu untuk menyampaikan pesan kepada pejabat dan masyarakat luas. Jawaban mereka, "Kami tidak mau, kami tidak mau terus-terusan diganggu, monyong!" menunjukkan sikap penolakan mereka terhadap gangguan dari luar dan keinginan untuk mempertahankan hidup mereka yang sederhana tanpa campur tangan dari dunia luar.

Puisi "Sepuluh Pertanyaan untuk Ibu-Ibu di Waduk Kedungombo" karya F. Rahardi menyajikan kritik sosial yang tajam terhadap perbedaan antara kehidupan tradisional dan modern. Melalui format tanya jawab yang ironis, puisi ini mengungkapkan ketidakpahaman dan ketidakpedulian yang ada antara masyarakat pedesaan yang hidup dalam kesederhanaan dan masyarakat luar yang terobsesi dengan kemajuan dan modernitas. Jawaban ibu-ibu yang seragam menyoroti betapa terasingnya mereka dari perubahan yang cepat dan betapa mereka lebih memilih untuk tetap dengan cara hidup mereka yang lama dan sederhana. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya memahami dan menghargai perbedaan budaya serta mempertanyakan nilai-nilai dan asumsi yang sering kita bawa dalam melihat kehidupan orang lain.

Floribertus Rahardi
Puisi: Sepuluh Pertanyaan untuk Ibu-Ibu di Waduk Kedungombo
Karya: F. Rahardi

Biodata F. Rahardi:
  • F. Rahardi (Floribertus Rahardi) lahir pada tanggal 10 Juni 1950 di Ambarawa, Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.