Puisi: Penjarahan (Karya F. Rahardi)
Puisi: Penjarahan
Karya: F. Rahardi
Penjarahan (1)
Jalan raya Panimbang Cimanggu
panjang dan berliku
lewat Cigeulis
deretan hutan manggis
kadang batang-batang melinjo
bukit-bukit itu
kawasan selatan kabupaten Pandeglang
seperti sedang tidur nyenyak
diayun-ayun naik dan turun
menikung
kadang-kadang aspal tipis itu mengelupas
atau bolong-bolong
jembatan-jembatan kecil
semua harus dilewati dengan sangat
hati-hati.
Kampung yang lelah
setelah berpuluh tahun bahkan beratus tahun
hanya pohon kelapa
hanya hutan albisia
terkadang petak-petak singkong
yang lusuh dan tak terawat
Sawah
yang tiba-tiba membentang
di antara rumpun pisang
dikitari gerumbulan pandan duri
inilah oasis itu
yang melegakan dahaga
rapi dan hijau.
Air tidak pernah bermasalah
dari tahun ke tahun
agak kecokelatan tetapi bersih
kawanan kerbau berlarian dan berendam
kambing-kambing kacang
kepakan sayap burung kuntul
seperti kuncup bunga melati
yang tiba-tiba mekar
dari hamparan karpet
hijau
rata
dan luas.
Cimanggu
kota kecamatan itu
terkapar kesepian
mungkin merindukan angin
barangkali memanggil-manggil deru mobil
membelah jalanan itu pecah jadi dua
ke kiri melilit gunung Ipis
menyisir gunung Honje dan gunung Tilu
tembus ke Rancapinang
desa terakhir
desa pesisir di samudera Hindia
Cimanggu
makin ke kanan
sepi itu makin tajam
makin berkelok-kelok dan terus menurun
lalu berlabuh di Sumur
di antara kerumunan perahu nelayan
aroma selat Sunda
pokok-pokok ketapang tua
kadang cemara
dari Sumur jalanan itu terus ke selatan
hanya makadam
bukan aspal
tapi bersih dan sepi
lurus
terus sampai ke Taman Jaya
sebuah kampung nelayan kecil
dermaga Taman Nasional
dan pos jagawana.
Pagi itu lumayan cerah
ada beberapa gumpal awan comulus
tetapi hampir seluruh langit
biru terang dan bersih.
Jalan raya Panimbang Cimanggu itu
bergetar
puluhan truk besar kecil
pick up
jip
minibus
semua menderu-deru
meraung-raung
pelan tetapi pasti
merangkaki aspal tipis itu
dan menyemburkan asap knalpotnya
yang ungu dan menyesakkan napas.
Konvoi besar itu
mengarah ke Taman Jaya
di atas truk
ratusan manusia bersiaga
mereka menyanyi-nyanyi
berteriak-teriak
semua membawa senjata dan peralatan
ada golok
parang
gergaji mesin
kapak
linggis
beberapa di antaranya
bersenjatakan senapan otomatis
maupun manual.
Di dalam jip dan minibus
tampak laki-laki yang juga bersiaga
namun mereka lebih santai
ada yang tertawa-tawa
ada yang makan
ada yang asyik mendengarkan musik
sambil menyaksikan sajian
panorama alam di kiri kanan jalan.
Iring-iringan kendaraan itu terus melaju
terus merayapi jalanan yang
biasanya sangat sepi
dan sekitar pukul 11.00
rombongan paling depan
tiba di Taman Jaya.
Dengan sigap beberapa orang turun dari jip
dengan senjata terkokang dan terhunus
mereka menuju kantor Taman Nasional
kantor kepala resor Polisi Hutan.
Antena pesawat CB
yang menjulang tinggi itu
mereka rusak
para aparat Taman Nasional
terbengong-bengong dan kaget
mereka lalu diborgol dan dimasukkan
kamar lalu dikunci.
Beberapa orang berjaga-jaga
di halaman kantor itu.
Rombongan demi rombongan tiba
truk-truk itu diparkir sembarangan
pimpinan rombongan
seorang laki-laki pendek gemuk
tampil dengan megaphone
di tangan.
“Perhatian! Perhatian!
Truk-truk harap terus ke selatan
sampai Ujung Jaya
ayo terus ke sana!”
Truk-truk itu lalu bergerak ke Selatan
dengan gontai
kadang-kadang harus didorong
beberapa terperosok di tanah becek
dan meraung-raung
berusaha melepaskan diri
penumpang truk itu turun
lalu ramai-ramai berjalan kaki.
Beberapa buah traktor
diturunkan dari truk-truk itu
lalu berjalan menerobos barisan.
Penduduk kampung
yang biasanya hidup dalam keheningan alam
merasa sangat ketakutan
mereka berusaha lari
masuk hutan
beberapa keluarga bersembunyi
di rumah masing-masing
menutup pintu
dan menguncinya dari dalam
mereka yang tergolong pemberani
menonton dari kejauhan
satu dua jawara lalu menggabungkan
diri dengan rombongan itu.
Jalan kampung
Taman Jaya – Ujung Jaya
terpotong oleh beberapa kali kecil
yang tidak bisa dilewati mobil
orang-orang itu lalu menghunus gergaji mesin
dan menebang pohon-pohon kelapa
batang-batang kelapa bertumbangan
dipotong-potong lalu diseret
dijadikan jembatan darurat
truk-truk itu
dengan gontai
menyeberanginya pelan-pelan
deru traktor
deru puluhan truk
deru gergaji mesin
sorak-sorai rombongan
gonggongan anjing penduduk
siang makin panas
keringat menetes
rasa haus
rasa lapar
lapar?
Seekor kerbau yang melintas di jalan
segera ditangkap
lalu dibantai
tanpa dikuliti
karkas itu dicincang
beberapa orang membuat api
beberapa memotong bambu
mereka memanggang potongan-potongan
daging dan
menyantapnya setengah matang.
“Garam!”
“Kecap kalau ada.”
“Merica dan cabai!”
“Itu kan ada warung!”
“Tutup. Tidak ada orangnya.”
“Dobrak saja!”
“Ya dobrak saja!”
“Yang kuat!”
“Ya begitu. Ada tidak?”
“Lo itu yang jualan! Cantiknya!”
“Sini, sini, dibawa kemari!”
Gadis itu
masih belasan tahun
sebenarnya jauh dari cantik
dia berkebaya
berkain
dan rambutnya diikat begitu saja di belakang
dia ketakutan
menjerit-jerit
meronta-ronta
tetapi dia terus diseret
sambil ditelanjangi
lalu diperkosa beramai-ramai
sampai pingsan.
Siang itu sangat panas
dan gaduh
asap api unggun membubung tinggi
deru mesin truk terus meraung-raung
di pucuk rumpun bambu
dua ekor gagak bertengger
mereka diam
mereka lapar dan melihat ceceran
daging dan darah kerbau
tetapi mereka takut untuk turun
mereka diam
dan terus saja di sana menunggu.
Siapakah rombongan
ratusan orang itu?
dari manakah mereka?
dan mau apa?
mau apa mereka?
“Kami adalah rakyat yang lapar
yang selama ini tergusur dan dikalahkan
kami mau menjarah Taman Nasional
Ujung Kulon!”
Di desa Ujung Jaya
rombongan penjarah itu
mendirikan base camp
mereka menebang pohon
semua pohon
mereka merampas ternak penduduk
semua ternak
mereka memperkosa gadis-gadis
dan wanita-wanita yang masih layak
untuk diperkosa.
“Apakah janda ini juga kita perkosa?”
“Harus!”
“Ayo saya duluan!”
“Lo kok tahu kalau dia janda?”
“Dia sendiri tadi yang bilang begitu.”
“O, sudah berapa lama menjanda?”
“Setahun?”
“Sebulan?”
“Baru dua hari?”
“Siapa yang mau panggang ayam?”
“Kambing!”
“Itu di sana banyak kambing!”
“E, jangan mikirin perut melulu.”
“Ayo kerja.”
“Ini pohon ini harus ditebang!”
“Sudah banyak Mas!”
“Sudah penuh truknya!”
“Ya untuk besuk!”
“Ayo kerja lagi!”
Monyet dan babi hutan
adalah satwa yang paling berani
tinggal di dekat kampung
mereka biasa mencari makan di ladang-ladang
apa saja yang ada
singkong, jagung, padi, ubi jalar
semua mereka makan
selama ini monyet dan babi hutan
dianggap paling mengganggu penduduk
tetapi kali ini
merekalah yang merasa sangat terganggu.
Monyet-monyet itu berlarian
dengan sangat gaduh
masuk jauh ke dalam hutan
babi-babi hutan itu
juga tunggang-langgang mencari
tempat aman
mereka kaget
takut
tetapi juga heran
“Ada apa manusia ribut-ribut
berasap
menebang pohon
lalu membawa pergi kayu-kayu?”
Taman Nasional Ujung Kulon
memang suaka terakhir
sekelompok satwa
tetapi kawasan gunung Ipis
Gunung Honje dan gunung Tilu
sudah lama rusak berat
terutama lereng bagian timur
sudah tak ada lagi pohon-pohon besar
perladangan liar marak di mana-mana
tetapi kawasan tanah genting
semenanjung
pulau Peucang dan
pulau Panaitan
masih benar-benar utuh
tetapi sampai kapan?
Penjarahan (2)
Selat Panaitan
jernih dan tenang
sesosok perahu panjang
terlentang dan terayun
digoyang gelombang alun
mesin disel entah berapa PK
tak bersuara
hanya cakrawala
hanya sepi lengkungan pantai
dan tali sauh yang terentang
kadang kendor
kadang tegang.
Mengapa awak perahu itu
yang mungkin berjumlah belasan
tampak sibuk sekali
beberapa berkelebatan di air
kadang bergegas ke permukaan
menarik napas dengan deras
lalu menyelam lagi
tanpa tabung oksigen
tanpa altimeter
hanya kaca mata sederhana
sementara
awak yang lain menyiapkan jaring
mengisi drum-drum plastik
kantong-kantong plastik
dengan air laut.
Hari baru pukul sembilan pagi
cuaca cerah
setelah beberapa hari kemarin angin barat
hujan dan gelombang besar
habis-habisan
melabrak perairan Taman Nasional
Ujung kulon.
Teluk Panaitan itu
berperairan sangat tenang
tak ada riak gelombang
hanya sisa-sisa alun
yang datang dari samudera Hindia
lalu lengkungan langit
biru tapi keras.
Air laut jernih
nun di dasar sana
gugusan karang tampak putih
lalu ikan hias warna-warni
bagai kibasan sampur para penari
bedaya serimpi
kadang kuning
kadang merah
kadang biru
cerah sekali.
ikan-ikan lain yang melintas cepat
sambil memiringkan tubuhnya
tampak seperti kelebatan samurai
putih dan tajam.
Cahaya matahari
yang jatuh di air
terpental dan buyar
lalu menyebar bagai tusukan jarum
ribuan dan langsung menghunjam
ke pelupuk mata.
Nun di dasar teluk sana
para penyelam itu
menebar racun potasium
ikan-ikan besar segera oleng
dan pingsan
ikan-ikan kecil mungkin langsung mati
lobster yang bersembunyi di sela-sela
karang juga teler
anemon yang tersiram potasium itu
menjadi layu
karang-karang mengeriput
gurita segera menjulur-julurkan
tentakelnya lalu menjauh
kerang dan kepiting
mengubur diri dalam-dalam di balik pasir.
Para penyelam itu sibuk
memburu ikan napoleon
yang kelengar dan mabok
lalu dijaring dan dibawa naik
lobster yang ngumpet di sela-sela karang
ditarik paksa
karang-karang yang menghalangi
dicongkel
dipalu dan dilinggis.
Matahari makin keras
udara berkeringat
angin laut mengibarkan baju-baju
ikan napoleon dan lobster itu
dicemplungkan ke drum
air laut yang bersih
dengan oksigen murni
dan satwa-satwa laut itu
terbangun
bergerak-gerak
dan segar kembali.
Hongkong
kawasan bisnis yang sibuk
dan kaya itu
bukan hanya perlu cula badak dan
kontol macan
dia juga senang lobster dan ikan nepoleon
dan dolar Hongkong yang dikibas-kibaskan
aromanya tercium sampai ke teluk Panaitan
Taman Nasional Ujung Kulon
dan puluhan perahu
ratusan awaknya
tak gentar menghadapi cuaca buruk
angin barat
dan gelombang pasang.
Para petugas Taman Nasional
yang gajinya pas-pasan
mereka cuekin
sebab di perahu itu
ada aparat keamanan berseragam
dan bersenjata
yang siap mengamankan
dan menyukseskan penjarahan.
Hongkong
etalase kultur Cina
yang dikemas stereofoam
dan dipoles lipstik Inggris
Apalagi yang kau maui
otak monyet yang disedot hidup-hidup
atau mumi mini
yang digali dari makam-makam
kuno
di bumi Makasar?
Sarang walet
liur burung kecil
pemangsa serangga itu
juga tersedot
mangkuk-mangkuk porselin
ruang restoran yang hangat
bumbu pedas
lampion yang bergoyang-goyang
dan tubuh-tubuh keringatan
obrolan
tawa
asap rokok
judi mahyong
dan transaksi bisnis
kelas New York, Paris dan Tokyo.
Hongkong
rantai apakah yang menggandeng jantungmu
dengan denyut gua Sang Hyang Sirah
di Taman Nasional Ujung Kulon?
Tonjolan-tonjolan karang raksasa
tebing cadas tegak lurus
yang menjulang ratusan meter
hajaran ombak yang keras dan
menghentak
orang harus berteriak-teriak
untuk berkomunikasi satu sama lain
karena desau angin
dan gelora ombak itu
tak pernah reda sedetikpun
gemuruh
keras
dan serba raksasa.
Perahu-perahu nelayan
kapal-kapal mancing
enggan mendekat ke mari
takut terseret arus
atau dihempas gelombang
membentur karang.
Hongkong
daya gaib apakah yang kau sihirkan
hingga di malam gulita
sesosok perahu bergerak mendekat
ke Sang Hyang Sirah
membuang sauh
lalu beberapa orang menceburkan
diri ke dalam gulungan ombak
berbekal jerigen kosong
lampu senter terbungkus plastik
dan galah-galah bambu
mereka berenang mendekat ke mulut gua
di tonjolan karang besar itu
kalau nasib baik
mereka bisa merapat
lalu masuk ke celah-celah karang
kalau lagi apes
gempuran gelombang
akan membanting tubuh-tubuh kecil itu
menghempas dinding karang.
Di gua itulah
burung-burung walet membangun
sarang
untuk menaruh telur
dan melanjutkan keturunan.
Hongkong
betapa kuat dan jauh
jangkauan tanganmu
hingga bisa menyentuh
sudut paling sepi
di ujung paling barat pulau Jawa.
Gua-gua itu
burung-burung kecil yang terus terdesak
dengan tekun meneteskan liurnya
lalu mengoleskannya di tonjolan karang
di sudut gua yang gelap
jauh
terpencil
dan terlindungi
deburan ombak.
Tetapi
sampai juga tangan-tanganmu itu ke sana
menjarah
menghempaskan telur-telur
anak-anak walet
ke dalam deburan ombak.
Hongkong
begitu perlukah liur burung itu
untuk membangkitkan daya hidup
syahwat
atau mitos kuno yang
dilanggeng-langgengkan
atau apa?
“Kami hanya sekadar mencari nafkah
Kami diupah Rp 20.000,- per hari
apa pun yang kami dapat.
Kalau kami mendapat banyak,
toke-toke itu akan memberi
persenan
bisa sepuluh ribu, duapuluh ribu
bisa juga sampai limapuluh ribu.
Lumayan
daripada jadi nelayan
atau memburuh di pabrik.
Sebab menjadi petani
tanah sudah tak ada lagi.”
Menjarah?
“Ya kami tahu masuk
dan mengambil apa pun
di Taman Nasional
memang dilarang.
Kecuali mancing
mengambil air
atau berlindung ketika badai datang
atau menginap di malam hari.
Tetapi itulah kerja kami yang
paling banyak menghasilkan uang.
Lobster
ikan napoleon
dan sarang walet
yang lain-lain tak seberapa.”
Hongkong
petugas Taman Nasional itu
pasti belum pernah menjejakkan kakinya
di trotoarmu yang padat itu.
Barangkali Menteri Kehutanan
Dirjen
paling banter Kepala Taman Nasional
yang pernah sempat menghirup
asap hiomu
dunia petugas jaga wana hanyalah
bivak sederhana
menu yang hanya itu-itu saja
keluarga yang jauh di kota
perahu karet
HT
dibentak-bentak atasan
dan honor yang tak seberapa.
Hongkong
metropolitan di pinggir Pasifik itu
pasti jauh dari angan-angan petugas jagawana
sesuatu yang tak pernah terbayangkan
tetapi, ke metropolitan yang jauh itulah
satwa-satwa yang mereka jaga
ditangkap dan dikirim.
Laut
gua-gua walet
terumbu karang
potasium dan dolar
dan perut yang lapar
dan bujukan para toke
semua bergulir
berputar
teraduk-aduk
hingga perut siapapun akan mual
kadang harus muntah-muntah
dan kemudian demam
nyamuk-nyamuk di muara Cigenter
di pos Karangranjang
malaria adalah acara rutin keluarga
keluarga jagawana
keluarga nelayan
keluarga penjarah
tetapi bukan keluarga para toke
yang telah merentangkan benang panjang
dari gua-gua sepi di pantai karang itu
dengan restoran-restoran bintang
di jantung Metropolitan Hongkong.
Penjarahan (3)
Senin pukul 10.00
percakapan telepon
antara Ir. Harjuno
eksekutif muda sukses
anak jenderal purnawirawan kondang
dengan teman selingkuhnya
Diah Banowati
mantan peragawati sukses
selebritis kenamaan ibukota.
“Lu jangan brengsek!”
“………………”
“Kagak bisa.”
“………………”
“Ya pokoknya nggak bisa.”
“………………”
“Coba!”
“………………”
“Ya coba saja kalau berani.”
“………………”
“Gua perkosa lu!”
“………………”
“Ya, tapi diwakilkan satpam.”
“………………”
“Tidak bisa. Minggu depan ini saya
masih ke Madrid lalu terus ke Rio.”
“………………”
“Ya, Pert kan deket. Kita kedip
juga nyampai.”
“………………”
“Nggak apa-apa. Tahu juga nggak apa-
apa. Bini gua kan baik.”
“………………”
“Ya cowok lu itu yang memang cemburuan.”
“………………”
“Makanya!”
“………………”
“Minggu ini lagi! Saya sudah janji sama
Oom Bimo.”
“………………”
“Boleh. Lu mau ikut juga boleh.”
“………………”
“Ya hutan! Namanya juga Ujung Kulon.”
“………………”
“Ada. Hotelnya juga ada.”
“………………”
“Oom Bimo pakai heli.”
“………………”
“Ada, kapalnya sudah nunggu di sana.”
“………………”
“Enak saja, dia bawa! Dua lagi.”
“………………”
“Ya nggak tahu cabo mana yang dia tenteng.
Dari Bongkaran ‘kali!”
“………………”
“Gila lu!”
“………………”
“Udahlah!”
“………………”
“Apa? Steak badak? Steak celeng
ya banyak!”
“………………”
“Banteng bisa.”
“………………”
“Ya biar Oom Bimo yang telepon Menteri!
Gua nggak ada urusan.”
“………………”
“Di kantornya.”
“………………”
“Ya kan ada helipadnya.”
“………………”
“Ya jam-jam segini.”
“………………”
“Lo Oom Bimo kan nggak bisa bangun
pagi.”
“………………”
“Brengsek bener.”
“………………”
“Pert lagi.”
“………………”
“Lu kebelet banget sih sama cowok Aborigin.”
“………………”
“Tititnya kecil! Mending sama Arab.
Atau sama gua.”
“………………”
“Terserah.”
“………………”
“Ya, kan Oom Bimo bawa dua. Lu
nggak ikut satunya ya buat saya!”
“……………..”
“Idih, amit-amit. Udahlah gua mau
kerja.”
“……………..”
“Ya ngerjain sekretaris. Namanya juga
sekretaris baru, cantik lagi.”
“……………..”
“Udahlah, udah, udah!”
“……………..”
“Bodo!”
“……………..”
Kapal-kapal troling itu berderet-deret
di dermaga Pulau Peucang
ada yang buang sauh agak jauh
di tengah
ada yang merapat di pantai yang putih
jumlahnya puluhan
ada yang mancing dasar
untuk dibakar malam ini.
Peucang
sebuah pulau karang kecil
yang tak akan pernah tampak
di peta Indonesia
dia menempel di ujung semenanjung
paling barat Pulau Jawa
dan hanya dipisahkan
selat yang tenang sekali
namun berarus deras di bawah sana.
Pasir putih yang sangat halus
pohon ketapang raksasa
jambu kopo
pandan laut yang berjajar rapat
sumur yang hanya berjarak beberapa meter
dari pantai
tapi airnya sangat jernih dan tawar.
Dermaga itu menghadap ke selatan
ke arah daratan semenanjung Ujung Kulon
dengan latar belakang Gunung Payung yang
hampir selalu berkabut
di arah barat sana Tanjung Layar
dengan menara suarnya yang menjulang
dan malam hari
selalu menyala, mati, menyala, mati
dengan interval yang sangat panjang
seperti denyut jantung yang
sangat lemah
sangat mencemaskan.
Peucang adalah contoh atol tropis
dengan hutan hujan dataran rendah
yang masih utuh
meranti
jamuju
berangan
melinjo
burahol
belimbing wuluh
rusa jawa yang jinak
biawak
dan babi hutan bisa tiba-tiba
menerobos belukar lalu melintas
dekat sekali
ke dua sejoli
yang sedang berselingkuh
Ir. Harjuna dan Diah Banowati.
“Ini kan padepokan Eyang Abiyoso
yang asri
di pinggiran hutan
lalu resor itu
restoran itu
adalah pendopo tempat menerima
cantrik-cantrik.
Mereka
cantrik-cantrik itu tinggalnya
di bivak sana!”
“Ya. Lalu gua Harjuna dan lu Banowati
lagi berduaan dan mau NGENTOT!”
“Hus! Saru Kangmas! Ngentot itu
sangat, sangat kasar.
Mengapa tidak bersetubuh atau bersebadan!
Tetapi itu nanti.
Sekarang kita kan sedang kasmaran.
Sedang memadu cinta!”
“Diancuk lu!
Katanya mau steak banteng?
Atau hiu?
Oom Bimo dapat hiu gede sekali!”
“Badak Kangkas. Saya ngidam steak badak.
Kalau tidak saya ngambek lo!”
“Bodo amat! Lu mau ngambek, mau ngewek,
mau ngentot. Terserah. Gua mau ngrokok!”
“Jangan kangmas Harjuna. Rokok itu racun.
Rokok itu akan membunuh kita pelan-pelan.
Kanker! Kanker paru-paru.
Aku mau paru goreng! Paru badak!”
“Badak melulu! Memek lu memek badak!”
“Kok saru lagi Kangmas?
Telingaku risih lo mendengarnya.
Dan air liurku nyaris menetes
membayangkan lidah panggang.
Lidah badak!”
“OOM BIMO!!! MANA CABO SATUNYA?
SELESAI BELUM? CABO YANG INI LAGI
KUMAT AYANNYA!”
Dor!
Tembakan itu dari arah
padang Cidaun
tempat banteng-banteng merumput
Dor
Sekarang sangat dekat
di pelataran resor
Dor
Rusa jantan besar tersungkur
Dor
Biawak telentang
Dor
Monyet terkapar
Rrrrr …………
Rubber boat merapat
banteng jantan besar
dilemparkan ke pasir
diseret
dikerek
lalu dikuliti
dan dicincang
Dor
Monyet betina bunting juga ditembak
Dor
Merak jantan kelepak-kelepak-kelepak
Dor, dor, dor
babi, babi, babi
kawanan babi
Dor
kancil
Peucang!
“Ya, orang Sunda bilang kancil itu
Peucang.”
“Ini Pulau Peucang? Pulaunya Kancil?”
“Mari kita memanggang Peucang!”
“Badak! Aku merindukan aroma badak panggang!”
“Ngentot lu! Badak tidak boleh ditembak.
Tinggal 50 ekor badak cula satu di planet ini!”
“Pokoknya Badak Kangmas! Badak!”
“Lu yang gua tembak kalau resek melulu!”
Diah Banowati
anggun dan sexy
mantan peragawati top
bintang selebritis ibukota
merogoh saku jeansnya
mencomot HP
memencet-mencet nomor
lalu menempelkan di kuping
“Siang Oom!”
“………………….”
“Ya saya!”
“………………….”
“Di Peucang Oom.”
“………………….”
“Ya. Banyak, sama teman-teman.”
“………………….”
“Sudah! Ya banyak.”
“………………….”
“Banyak sekali. Nanti malam barbequenya.”
“………………….”
“Katanya sih. Tapi Oom, saya ingin badak.
Satu …. saja Oom! Boleh kan?”
“………………….”
“Ngentot lu! Di sini nggak bakalan
ada HP bisa nyangkut!”
“Sebentar ya Oom………….Nih, Menteri Kehutanan!
Lu ngomong sendiri!”
“……………….???”
“Halo, eh maaf Pak!”
“………………….”
“Ya!”
“………………….”
“Ya Pak!”
“………………….”
“Ya!”
“………………….”
“Siap Pak!”
“………………….”
“Maaf Pak. Ya. Heli masih Pak.
Masih ada di sini. Ya, cukup Pak!”
“………………….”
“Mampus lo! Pokoknya gue mau
sate badak!”
Rrrrrr……………..
heli terbang
senapan dipasang
heli menyeberang selat
ke arah padang Cidaun
heli berputar-putar
merendah
membidik
berhenti di udara dan
Dor!
(yang kena banteng)
Dor!
(banteng lagi)
Dor-dor-dor
(tiga banteng tersungkur)
“Kok banteng melulu Oom Bimo!”
“Ya memang susah badaknya. Mana coba?”
Diah Banowati
Cantik dan ngebet daging badak
dia ambil HP
dia pencet-pencet nomor
ditempelkan di Kuping.
“Kolonel Haryo ya? Ini Diah. Tolong
dengan Bapak!”
“………………….”
“Bapak siapa lagi! RI I!
Masak mau bapak gua nyambungnya ke elo!”
“………………….”
“Siang Pak!”
“………………….”
“Memang berisik!
“Di Heli!”
“………………….”
“Sama Oom Bimo!”
“………………….”
“O…….!”
“………………….”
“Ya, ya!”
“………………….”
“Ya.”
“………………….”
“Yang brewokan itu kan?”
“………………….”
“Nyari badak kok susah ya Pak?”
“………………….”
“Bagaimana?”
“………………….”
“Ya, itu kan di Afrika Pak!”
“………………….”
“Saya mau yang di sini.”
“………………….”
“Di Ujung Kulon!”
“………………….”
“Ya sekarang ini saya sedang di Ujung Kulon!
Dikiranya Bapak di mana?”
“………………….”
“Ah, bapak ini!”
“………………….”
“Bagaimana?”
“………………….”
“Siapa?”
“………………….”
“Suwito?”
“………………….”
“Oom Bimo tahu?”
“………………….”
“Ya, ya. Dag, Pak!”
Suwito
Raden Mas Suwito Kartorejoso
Jawa
tapi sudah 40 tahun di Banten
dia dipanggil
dijemput Heli
di drop di Peucang
dengan rubber boat ke Cidaun
lalu membaca jampi-jampi
mengerahkan tenaga batin
memanggil Sang Badak.
“Pi jompa jampi
banteng lunga badak teka
ora nyruduk malah silo
tak beleh gulumu
tak bujeli culamu
Pi jompa jampi
mandi!”
(Tra mantera mantera
banteng pergi badak datang
tidak menyeruduk malahan bersila
saya sembelih lehermu
saya potong culamu
tra mantera-mantera
mujarab!)
Dari arah gerumbulan
badak jantan besar menyembul
dan mendekat
“Ono opo kang?”
“Lo, badak kok iso ngomong ki piye?”
“Yo iso wong crito kok!
Rak yo do slamet to kang sampeyan?”
“Yo becik-becik wae!”
“Awakmu piye?”
“Elek kang! Elek banget!”
“Kok elek piye to?”
“Yo elek. Wong arep kok beleh!”
“Iki rak mung tugas ta!
Jane aku yo ora tegel!
Wong badak bagus-bagus ngene kok dibeleh!
Eman banget jane!”
“Nek eman yo ojo kok beleh!
Aku tak lunga yo?”
“E……ojo. Mengko disik!”
“Mengko-mengko yo tetep
arep kok beleh to?”
“Ngene! Cekelno banteng siji
lanang sing gede. Dandanono badak.
Den ayune siji kae pancen edan tenan kok!”
“Den ayu sopo kang?”
“Den ayu Diah!”
“Ayu tenanan opo kang?”
“Lo kowe iki rak badak. Ojo melu-melu!”
“Ben badak nanging rak lanang to kang?”
“E, ojo melu-melu edan kowe.
Kae ki demenane jendral
konglomerat, mentri, presiden!
Presiden wae yo isih melu-melu kok.
Kowe sisan!”
“Aku Kang?”
“Badak ora susah melu-melu.
Wis kono ndang nyekel banteng.
Sing gede yo? Lanang lo!”
“Iyo Kang!”
“Badak edan!”
(Ada apa kang?-Lo, badak kok bisa bicara,
ini bagaimana?
-Ya bisa, ini kan hanya cerita? Bagaimana kabarnya kang?
Baik-baik saja kan?
-Ya, baik-baik saja, anda bagimana?
-Jelek kang, jelek sekali!
-Jelek bagaimana?
-Ya jelek karena mau kamu sembelih!
-Ini kan hanya sekadar tugas, sebenarnya saya juga tidak sampai hati.
Badak ngganteng-ngganteng begini kok mau disembelih.
Sayang sekali sebenarnya.
-Kalau sayang ya jangan disembelih. Saya pergi dulu ya?
-E…..jangan. Nanti dulu.
-Nanti-nanti juga akan tetap kamu sembelih kan?
-Begini, tolong tangkapkan banteng satu, jantan, yang besar.
Berilah pakaian badak.
Den ayunya itu memang benar-benar gila kok.
-Den ayu siapa kang?
-Den ayu Diah.
-Ayu beneran kang?
-Lo kamu ini kan badak. Jangan ikut campur.
-Biarpun badak tapi kan jantan kang?
-E, jangan ikut-ikutan gila kamu. Dia itu simpanannya jenderal,
konglomerat, menteri, presiden. Presiden pun masih ikut-ikutan.
Kamu lagi!
-Saya kang?
-Badak tidak usah ikut-ikutan! Sudah sana cepat-cepat
menangkap banteng.
Yang besar. Jantan ya!
-Iya kang!
-Badak gila!)
Badak jantan besar itu
melangkah pergi
Raden Mas Suwito menunggu
dua jagawana juga menunggu
tak lama kemudian
badak yang tadi itu datang lagi
dengan menyeret banteng jantan
gemuk dan besar.
“Lo, kok durung kok dandani? Kowe ki sembrono!”
“Yo iki, delengen disik. Wis matuk opo durung?
Nek durung yo tak golekke maneh sing luwih gede.”
“Yo uwis! Iki wae! Ayo, cekat-ceket lek didandani!”
“Sim salabim! Abrakadabra! Dadiyo badak!
Cring-cring-cring.
Wis Kang. Wis dadi badak.”
“Lo, culane kok telu ki piye?
Badak ngendi culane telu?”
“O, cring-cringe mau ping telu. Kakehan kudune
pisan wae yo Kang?”
“Badak gendeng kowe ki! Wis ngerti cringe kudu siji
kok ya dipingteloni. Sengojo to kowe ki?”
“Lali aku Kang. Wis iki wis tak ilangi culane sing loro.
Ngene to?”
“Na, yo ngene iki. Badak bagus tenan kowe kuwi!”
“Opo maneh Kang!”
“Wis. Do nrimo yo Dak.”
“Podo-podo Kang. Sampeyan isih nang Banten?”
“Yo isih. Arep ngopo maneh? Wong wis tuwek kari nunggu mati.”
“Wis to? Aku tak lungo yo Kang!”
“Lungoo!”
“Ora sido kok beleh to?”
“Ora-ora!”
“Yo maturnuwun tenan.
Tak-ding-ding-tak-ding-jreng……”
(Lo, kenapa belum didandani? Kamu ini bercanda.
-Ya ini, dilihat dulu. Sudah cocok atau belum? Kalau belum saya carikan lagi yang lebih
besar.
-Ya sudah. Ini saja. Ayo cepat-cepat didandani.
-Sim salabim! Abrakadabra! Jadilah badak!
Cring, cring, cring. Sudah kang. Sudah jadi badak.
-Lo, kenapa culanya ada tiga? Badak dari mana yang bercula tiga?
-O, tadi cring-cringnya tiga kali. Kebanyakan. Mestinya kan cukup satu ya kang?
-Badak gila kamu ini. Sudah tahu kalau cringnya cuma sekali kok dibaca tigakali.
Sengaja kamu ini ya?
-Lupa saya kang. Sudah, ini dua culanya sudah saya buang. Begini kan?
-Nah, ya begini ini. Betul-betul badak ngganteng kamu ini!
-Apa lagi kang?
-Sudah, terimakasih ya dak!
-Sama-sama kang. Anda ini masih di Banten?
-Ya masih. Orang sudah uzur begini, tinggal menunggu mati.
-Sudah kan? Saya boleh pergi kan?
-Pergilah!
-Tidak jadi disembelih kan? Tidak, tidak!
-Ya terimakasih sekali. Tak-ding-ding-tak-ding-jreng….)
Pulau Peucang
dua resor ber-AC
satu resor country
restoran
kantor
bivak-bivak
di sekelilingnya hutan
benar-benar hutan lebat
dan di tengah-tengah lapangan rumput
bisa untuk helipad
biasa untuk lalulintas monyet
untuk mondar-mandir biawak
dan tempat rusa-rusa pamer tanduk
yang bercabang-cabang
tetapi malam ini api unggun besar
panggangan steak
panggangan sate
kerumunan laki-laki dan perempuan
semuanya jetset
semuanya berpasang-pasangan
semuanya sedang berselingkuh-selingkuhan.
“Mana badakku? Oom Bimo!
Suwito kok lama amat sih?”
“Suruh itu Kangmasnya nyusul!”
“Iya ini. Balita satu ini. Maunya netek melulu!”
“O……Itu dia Mbah Suwito!”
“Dan badaknya!”
“Lo, masih hidup!”
“Gila! Dituntun mex!”
“Benar-benar Rambo Banten dia!”
“Abah Suwito!”
“Lo, itu kan banteng?”
“Iya. Kok banteng?”
“Banteng dengkulmu. Lihat baik-baik.
Pelototkan matanya!”
“Banteng!”
“Iya banteng Mbah!”
“Oom Bimo, kok banteng sih?”
Raden Mas Suwito
memang menuntun banteng jantan besar
ke arah api unggun.
“Sim salabim, abrakadabra banteng dadio badak
Cring!”
“Badak!”
“Ya badak besar sekali!”
“Badak kan? Dari tadi yang saya tuntun ini ya badak! Bagaimana?”
“Badak!”
“Ya Badak!”
“Bagaimana Mbak Diah? Sembelih?”
“Lo itu kan banteng Mbah?”
“O, matane isih awas genduk iki!”
“Yo awas wong guruku karo gurumu podo kok!”
“E la dalah! Yen ngono kowe
sing dadi badake nduk. Sim salabim, abrakadabra.
Cring, cring, cring.
Dadiyo badak cula telu!”
“E. Mbahe kok kurangajar to!”
“Lo badaknya ada dua!”
“Ya ada dua, yang satu cantik!”
“Hanya satu! Yang satunya jadi banteng lagi!”
“Ini badak kok sexy sekali sih?”
“Ya, telanjang bulat lagi!”
“Kita sembelih yo, lalu dipanggang!”
“Jangan! Kita perkosa dulu ramai-ramai!”
“Ayo……..!”
“Awas! Jangan rebutan! Antre satu-satu!”
“Ayo, kita antre sembako!”
“Embah duluan. Embah itu harus nomor satu!
Aku belum pernah dapat yang seperti ini.
Ini yang sering di Tivi itu kan?”
“Lo, bantengnya jangan dilepas Mbah!”
“Wah bantengnya ngamuk!”
“Aduh, aduh!”
“Lari, lari!”
“Tolong aku keiinjek.”
“Aku ditanduk. Aduh pantatku!”
“Rokku sobek!”
“BHku lepas. Tolong!”
“Celana dalamku! Lo? Ternyata aku tidak pakek
celana dalam dari tadi itu!
Tolong banteng itu mengejarku!”
Gaduh
berlarian
restoran terbakar
api berkobaran
semua menuju kapal
tak ada yang berani ke hutan
onggokan daging
api unggun
tikar
darah
aroma parfum yang mesum
kilatan lampu blitz
kameraman yang terjatuh
sambil tetap mengambil gambar
reporter yang tergopoh-gopoh
menyodorkan mik.
“Ini tadi kejadiannya bagaimana Mbah?
Kok lalu kacau begini?”
“Sontoloyo!”
“Embah tadi menangkap banteng atau badak Mbah?”
“Sontoloyo!”
“Tadi Embah kelihatan mau memperkosa Mbak Diah.
Sudah sempet belum Mbah?”
“Sontoloyo!”
“Tadi kelihatannya Mbak Diah sudah mau nyerah lo.
Apa Embah masih kuat?”
“Sontoloyo tenan!”
Pulau Peucang kembali sepi
kadang angin itu terasa sangat kencang
lalu sayup-sayup
kedengaran debur ombak di Tanjung Layar
kadang deru mesin perahu
terdengar menjauh
lalu hilang
sekali-sekali jerit rusa betina
memanggil anaknya
dan lengkingan anaknya
menyahut entah dari mana.
Pohon ketapang raksasa
di pangkal dermaga
dahan-dahan nyamplung
yang menjuntai
jauh ke pasir pantai
serangga malam
ya, bunyi serangga malam itu
sebuah simponi purba
entah mimpi
entah nyata
nyaris tak ada
bedanya.
Sumber: Negeri Badak (2007)
Karya: F. Rahardi
Biodata F. Rahardi:
- F. Rahardi (Floribertus Rahardi) lahir pada tanggal 10 Juni 1950 di Ambarawa, Jawa Tengah.