Puisi: Para Kampret (Karya F. Rahardi)

Puisi: Para Kampret Karya: F. Rahardi
Para Kampret


Batu
batu-batu
batu-batu banyak sekali
bergelimpangan
bertumpukan
ada yang bulat, benjol-benjol
ada yang kecil-kecil
ada yang tajam
ada yang sebesar kepala kerbau
ada yang sebesar gerbong kereta api
batu-batu itu hitam
kadang-kadang cokelat
kadang-kadang kusam
ada juga yang kelabu keputih-putihan

Panas
matahari di siang bolong
memancarkan panasnya
ke atas batu-batu itu
lumut-lumut yang menempel
di atas batu itu mengering
mengelupas
lalu diterjang angin dan terbang
sampai jauh
di beberapa cekungan
ada rumput dom-doman
rumput merakan
lantana
kayu secang
dan gerumbul alang-alang
semuanya telanjang
semuanya terpanggang matahari
terguyur hujan
dan dihajar angin siang dan malam.

Batu
batu-batu
di lereng bukit berbatu-batu itu
yang sebagian
ditutupi rumpun gelagah
ada sebuah celah
lebarnya 75 cm
panjangnya 183 cm
mirip pintu rumah BTN
sempit, tapi apa boleh buat
itulah pintu gua
jalannya menurun 60 derajat
makin melebar
licin
lembap
dan gelap.

Kira-kira tujuh meter dari pintu gua itu
suasana sudah sangat gelap
benar-benar gelap
tak ada lagi sinar matahari
yang dapat sampai kemari
setelah agak menikung ke kanan
ada sebuah ruang yang lapang
tingginya empat meteran
lebarnya dua meteran
panjangnya lebih dari sepuluh meter
hampir di ujung gang itu
ada lagi sebuah celah sempit
hanya selebar setengah meter
tingginya tak ada semeter
makin ke dalam
celah itu makin menyempit
lantai celah itu tergenang air
sampai 75 cm
setelah belasan meter
celah itu melebar
makin lebar
makin lapang
jadilah sebuah rongga
entah berapa ratus meter panjangnya
entah berapa puluh meter tingginya
ada stalaktit
ada stalakmit
tapi sudah mati
dulu
waktu bukit-bukit
nun di atas sana
masih berhutan lebat
stalaktit dan stalakmit itu
rajin meneteskan air
yang jernih dan dingin
bak tetesan air kulkas
tapi semua sudah lewat.

Lantai gua itu ada yang keras
ada yang berpasir
ada genangan air
ada lumpur becek
tapi yang banyak adalah
tumpukan tahi kampret
dan di langit-langit gua itu
ribuan kampret
menggantungkan nasibnya
menggantungkan tubuhnya
inilah kerajaan kampret itu.

“Tapi kami tak punya raja
kami lain dengan koloni lebah
atau rayap yang punya ratu
punya raja,
punya angkatan bersenjata
dan para pekerja
kami lain
jadi ini bukan kerajaan”.

“Ya sudah. Republik Kampretlah.”
“Juga bukan. Kami tak pernah punya Presiden.
Tak ada parlemen. Juga kami belum pernah
menyelenggarakan pemilu. Ngabis-ngabisin duit.”
“Kalau begitu persemakmuran saja lebih pas.”
“Persemakmuran bagaimana?
Kami ini tidak pernah makmur.
Kami selalu lapar, kurang makan, kurang gizi.
Serangga makin susah didapat.”
“Gerombolan. Kami ini gerombolan kampret.
Itu yang pas.”
“Tapi dalam bahasa manusia
gerombolan itu jahat.
Misalnya gerombolan penjahat,
gerombolan pengacau keamanan dan lain-lain.
Apa kalian mau dicurigai pemerintah manusia?”
“Lalu bagaimana!”
“Saya punya ide.
Bagaimana kalau “para kampret”  begitu?”
“Ya terserah situlah Oom.
Kan situ yang ngarang.
Kami-kami ini kan hanya tokoh rekaan.
Hanya fiksi.”
“Nah, begitu. Jadi nyerah sajalah.
Kan yang kuasa ya saya,
wong saya yang jadi penyair kok.”

Jadi saya lanjutkan ceritanya, di gua itulah
para kampret tidur siang
dengan kuku-kuku cakar mengait
pada tonjolan batu
kepala di bawah, sayap menangkup
begitulah cara mereka beristirahat.
“Bet
ul begitu kan pret!”
“Sip”
Ya, para kampret itu senang
dengan suasana gua yang
1.000 % gelap
1.000 % sunyi
dan 1.000 % aman dari gangguan macam-macam
“Aman kan pret?”
“Aman! Tapi itu dulu.
Sekarang sih tidak lagi.
Kiamat sudah sangat dekat
buku ini akan dibongkar
gua ini akan dipanggang matahari
para kampret harus pergi atau mati.”

“Kiamat itu gawat lo pret
jangan main-main dengan istilah itu.
Serius amat sih!”
“Kenyataannya memang begitu. Kiamat. Bubar.
Semua selesai!”.
“Masak iya? Bukannya cuma ada rencana
gua-gua ini,
bukit-bukit itu akan diambil batu kapurnya
begitu.
Kalau hanya begitu kan bukan kiamat namanya.
“Ya terserah situlah.”
“Ya, jadi sebenarnya saya juga
bisa mengerti keadaan anda-anda semua.
Pokoknya ada masalah yang menyusahkan.
“Saya teruskan ya!”
“Silakan
“Boleh saya bersyair pret!”
“So pasti. Penyair!”
“Judul sajak saya adalah :”

KERESAHAN
Malam gulita
tak ada secercah sinar
hati juga gulita
gundah . . . . .
resah . . . . . .
ketakadilan telah merajalela
kesewenang-wenangan telah
melanda bumi ini.

Bukit-bukit menjadi saksi
langit yang muram
kelabu, tak ada bintang-bintang
pohon-pohon juga tegak
membisu . . . . . .
meranggas
tak pernah ada
siraman kasih sayang
semua menukik
dan menghujam
mencabik-cabik nasib ini
kami pasrah ya Tuhan
hanya kepada Mu
kami bisa mengadu.

“Bagus kan pret syair saya!”
“Kok seperti syair kampung begitu Oom!”
“Jangan ngeledek. Tak ada syair kampung,
tak ada syair kota.
Jangan suka bikin kotak-kotak.
Jangan memasukkan orang-orang hidup
ke dalam kardus atau peti mati.”
“Kok ngomongnya terus jadi ruwet begitu Oom!”
Pusing lo kami-kami ini.”

“Sory pret. Sampai dimana ini tadi?”
“Gua ini mau digusur. Mau kiamat.”
“O, ya. Kiamat itu biasa pret.
Memang sudah sewajarnya.
Dulu ada dinosaurus, mastodon, dan lain-lain.
Mereka juga sudah kiamat.
Itu kan suka-suka yang ngatur alam semesta ini.
Jadi pasrah saja pret.”
“Jadi kami harus nyerah?”
“Lo lain. Pasrah dan menyerah itu lain.
Coba tengok arti kata itu di kamus.
Lain kan?
Sudahlah pret
kalian tenang dulu saja di situ
Saya akan melanjutkan  cerita ini.
Ini baru mulai lo pret
Jadi tugas saya masih banyak.
Kalian sih enak.
Jadi tokoh cerita itu enak lo pret.”
Enaknya bagaimana Oom?”
“Kalau pengarangnya baik ya dibikin senang.
Dihebat-hebatkan.
Ingat Superman atau para tokoh Mahabarata..
Sakti-sakti kan pret?”
“Ya tapi sangat manusiawi.”
“Pernah baca pret?”
“Nonton wayangnya sama filmnya di Jonggol
sana.”
“Sudah ya pret. Nanti pembaca bosan lo.
kalau kita ngobrol terlalu lama.”
“Ya salahnya situ kan.
Kan situ yang ngarang!”
“Permisi Pret.”
“Mangguk.”
“Daaag!”


Sumber: Migrasi Para Kampret (1993)


F. Rahardi
Puisi: Para Kampret
Karya: F. Rahardi

Biodata F. Rahardi:
  • F. Rahardi (Floribertus Rahardi) lahir pada tanggal 10 Juni 1950 di Ambarawa, Jawa Tengah.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.