Puisi: Pantun Mahasiswa dan Sang Jenderal (Karya F. Rahardi)

Puisi "Pantun Mahasiswa dan Sang Jenderal" yang ditulis oleh F. Rahardi menggambarkan pertemuan antara sekelompok mahasiswa dengan seorang .....
Pantun Mahasiswa dan Sang Jenderal


“Di tempat yang hening ini
yang jauh dari hiruk-pikuk kota
marilah kita panjatkan doa
sesuai dengan kepercayaan kita masing-masing.”
“Kami percaya pada hati nurani.”
“Kami percaya nyali. Nyali adalah segala-galanya bagi kami.”
“Kami percaya kepada moral dan kebenaran.”
“Kami tidak percaya kepada apapun.  Kami harus bergerak.
Yang penting aksi bukan basa-basi!”
“Kami percaya kepada Tuhan, Allah yang Maha Esa.
Penguasa langit dan bumi.
Pencipta Adam dan Hawa dan seluruh dosa-dosa yang diperbuatnya.”
“Gombal! Kami percaya pada gombal yang lusuh.
Yang dikenakan para kere dan gembel yang berkeliaran di jalan-jalan.
Kami percaya bahwa betapa lusuh pun, gombal tetap penting untuk
penahan dingin dan penutup aurat.
Jadi. Marilah kita semua menutup aurat kita masing-masing
lalu  bersama-sama mengheningkan Cipta.
MENGHENINGKAN CIPTA, MULAI!”
“Jreng-jreng-jreng………” (angin)
“Tet-tet-tet, tet-tet-tet ……..” (burung)
“Dung-dung-dung, dung-dung-dung ……” (pohon bolong dipukul-pukul)

Satu menit
dua menit
satu jam
dua jam
satu hari
satu hari satu malam
angin dan hujan dan badai
kabut dingin
para mahasiswa itu tetap khidmat
mengheningkan cipta
badai makin keras
para mahasiswa kaku dan beku
tetapi tetap tegak dan
mengheningkan cipta
badai mengganas
meliuk-liuk mencapai Cibodas
turun ke Cipanas lalu berputar-putar
di Puncak Pas.

Badai gila itu membongkar
vila dan restoran
panti pijat
hotel-hotel
para pramuria berkain handuk
berlarian menyelamatkan nyawa
badai itu meluncur ke Cisarua
lalu turun ke Mega Mendung
dan pukul 12.00 tepat
telah mendarat dengan selamat
di Markas Besar Tentara Nasional Indonesia
di Cilangkap, Jakarta Timur.

Seorang Jenderal keluar
dengan pakaian dinas upacara
lengkap dengan tongkat komandonya
yang dikepit di ketiak
dia mendongakkan muka ke langit
lalu memberi hormat pada
Tuhan Yang Maha Esa
panglima segala tentara.

Tapi badai gila itu segera menyergap
dan meringkusnya
lalu menerbangkannya langsung
ke Kandang Badak di gunung Gede Pangrango.

Jenderal itu menggelepar tapi
tak berdaya
dia terombang-ambing di langit
topinya mau lepas tapi
dengan sigap dia pegangi erat-erat
sambil jumpalitan
diangkut badai
memang sungguh tidak nyaman
setelah berputar-putar selama
0,5 jam (30 menit)
tepat pukul 12.30 jenderal itu
mendarat dengan selamat
di tengah para mahasiswa
yang tengah mengheningkan cipta
di lembah Kandang Badak
di kaki gunung Gede Pangrango.
“Gedebuk!” (jenderal itu jatuh)
“Adow!” (teriaknya keras)
“Mengheningkan cipta selesai!”
“Tet-tet-tet, tet-tet-tet, tet-tet-tet
jreng-jreng-jreng, dung-dung-dung!”

Para mahasiswa mendongakkan kepala
membuka mata
ada yang menguap
ada yang menggeliat
tubuh mereka yang beku
mendadak cair
mereka capek dan kaget
demi melihat sang jenderal
terduduk di tengah arena
jenderal itu berdiri
badannya ditegakkan
dadanya dibusungkan
lalu pandang matanya ditebarkan
seperti tengah memeriksa barisan kehormatan
salah seorang mahasiswa
maju ke depan dan angkat bicara.

“Jenderal marilah kita berpantun.”
“Berpantun?”

“Belanja beras ke kedai cina
beras ditimbun tak kira-kira
bicara keras tiada guna
berbalas pantun hati gembira!”

“Hore!” (tepuk tangan mahasiswa)

“Naik kuda ke Glodok berdua
pakai sandal ke mana-mana
anak muda goblok semua
menculik jenderal semena-mena!”

“Wuu!” (tak ada tepuk tangan)

“Dewa Syiwa berselir betari
disamber laler bersayap dekil
para mahasiswa terusir kemari
diuber panser ditembak bedil!”

“Hore!” (tepuk tangan)

“Jualan obral delima jepara
mendapat untung durian muria
saya jenderal panglima tentara
bisa menggantung kalian semua!”

“Wuu….” (roh badak menggeleng-gelengkan kepala)

“Ambarawa tersaput mendung
peti batu lusuh berdebu
mahasiswa tak takut digantung
mati satu tumbuh seribu.”

“Hore!” (roh badak tersenyum).

“Lonte-lonte diperkosa kodok
kodoknya mati masuk neraka
kowe-kowe manusia goblok
kutusuk mati pakai koteka.”

“Ngawur!” (roh badak tertawa).

“Menara babil dirusak pedang
berangkat  kapal menanti sinyal
tentara dekil berotak udang
berpangkat jenderal berhati kopral!”

“Ya! Hore!”
“Kamu! Kamu! Kamu! Kamu!”
“Ayo!”

“Bininya kerokan di rumah mertua
berbekal batu disimpan di kalbu
beraninya keroyokan itulah mahasiswa
jenderal satu melawan seribu!”

“Wuuu……”
“Tidak ada seribu he!”
“Hanya duaratus! He!”

“Dewa berjejal di depan kuil
Kuil  angker  sekitar bendungan
Mahasiswa bersandal dilawan bedil
dihadang panser dihajar pentungan!”

“Ya! Betul!”
“Kami dipentung.”
“Mari kita gantung pak jenderal.”
“Gantian kita pentung.”
“Jangan!” (roh badak)
“Mengapa tidak boleh?”
“Apa karena dia jenderal besar?”
“Atau karena dia mertua kalian para badak?”
“Bukan!” (roh badak)
“Lalu mengapa tidak boleh?”

“Obral di pasar minyak kelapanya
dengan menuang di satu meja
jenderal besar banyak jasanya
jangan dibuang begitu saja.”
(Roh badak)

“Hore” (jenderal)
“Huuu! (mahasiswa)
“Wus….. (angin)

“Mencari ketan sampai Thailand
nasi uduk dimasak semalaman
berdiri di hutan capai dan kesemutan
mari duduk bersalam-salaman.”
(diam)

“Mari bangun lalu sarapan
pegang senduk di tangan kanan
api unggun perlu dinyalakan
kita duduk berhangat-hangatan.”

“Mau!”
“Ayo!”

Para mahasiswa lalu menumpuk kayu lalu menyalakannya
api berkobaran roh badak kegerahan
sang jenderal ketakutan.

“Pohon beringin di sudut pasar
hari keramat mending beramal
dingin-dingin siperut lapar
mari bersantap daging jenderal.”

“Jenderal panggang!”
“Jangan!” (roh badak)
“Kok roh badak menghalang-halangi kita?”

“Hendak mencolek si dara binal
di sana kelasi dan tuan kapitan
badak yang jelek membela jenderal
karena kolusi dan uang sogokan.”

“Hore!”
“Korupsi! KKN! Korupsi! KKN.”
“Wuuu…roh badak korupsi.”
“KKN!”
“Bakar roh badak!”
“Cincang!”
“Kita makan roh radak dan daging renderal.”
“Kita pesta kemenangan!”

“Buah cempedak jatuh di pundak
kayu belukar repot bawanya
arwah si badak sungguh tak enak
jenderal bakar alot dagingnya.”
(roh badak)

“Wuuu…….”
“Jenderal! Jenderal! Jenderal bakar!”

“Anak biawak mandi di kapal
dibasuh ombak di bahu kiri
biarlah awak menjadi tumbal
dibunuh anak tak tahu diri.”

“Mari kita sembelih!”
“Mari kita cincang!”
“Telanjangi dulu!”
“Siapkan golok!”
“Pegangi yang kuat!”
“Ayo!”
“Buset!”
“Kurus amat.”
“Tidak ada dagingnya!”
“Biarin!”
“Daripada lapar.”
“Tidak cukup ini.”
“Tidak apa-apa!”
“Biar sedikit-sedikit asal merata.”
“Pemerataan.”
“Ayo potong!”
“Lo, kok ada yang megangi tangan gua?”
“Kok kayak adegan Nabi Ibrahim mau nyembelih Ismail?”
“Berarti ada domba dong? Mana dombanya?”
“Lo, itu ada sapi?”
“Buset! Sapi kurban gemuk banget!”
“Dari mana ya dia?”
“Dari Malaikat Jibril!”
“Dari Gusti Allah!”
“Itu banteng, goblok! Roh badak yang ngambil  dari Ujung Kulon!”
“O, banteng! Gemuk dan besar ya?”
“Gua kira sapi bali. Persis soalnya!”
“Ayo potong!”
“Allahhu Akbar!”
“Allahhu Akbar!”
Banteng jantan itu diterima sebagai kurban
jenderal itu kembali memakai baju
lalu duduk di antara kerumunan mahasiswa

Kandang Badak
udara malam yang dingin
api unggun
kurban itu segera dikuliti
dipotong-potong ditusuk-tusuk
lalu dipanggang.

“Ada yang punya garam?”
“Banyak!”
“Ada yang punya merica?”
“Banyak!”
“Ada yang bawa kecap?”
“Banyak!”
“Cabe?”
“Banyak!”
“Okey!”

“Topi panjang rusak talinya
memakai surban sembari tertawa
sapi panggang enak baunya
sebagai kurban di hari istimewa.”

“Hore!”
“Hidup roh badak!”

“Pesta!”
“Kemenangan!”
“Tidak. Ini bukan kemenangan!”
“Ya! Ini baru awal dari
sebuah perjuangan panjang.”
“Ya, perjuangan panjang.”
“Ya tapi sekarang ini saya di mana?  Saya berada di mana.
Tadi saya di Mabes,  tiba-tiba kok sampai di sini  gara-gara badai!”
“Ini Kandang Badak.”
“Kandang Badak?”
“Gunung Gede-Pangrango!”
“Lo, jadi ini hutan?”
“Belantara! Dan tinggi!”
“Waduh padahal saya alergi dingin. Asmaku bisa kambuh.”
“Jenderal kok asma!”
“Asmara ‘kali!”
“Puber”
“Puber kedua”
“Keduabelas”
“Ini mahasiswinya cantik-cantik!”
“Sama saya mau oom? Dingin-dingin begini  kan empuk!”
“Doyan bener dia!”
“Gile!”
“Ame gue aje oom! Masih perawan!”
“Lo ini lokalisasi atau panti pijet?”
“Sami mawon!”
“Aku saja oom, asli indo.  Keturunan Jerman dan Jawa!”
“Jerman? Jejer kauman!”
“Wuuu!”

Beberapa mahasiswi lalu mencopoti baju mereka
mencopoti pakaian dalam mereka
melepas pakaian dinas sang jenderal
lalu live show pun dimulai.

“Porno!”
“Sadis mex!”
“Gile bener!”
“Tidak perlu ke Setdex”
“Tidak usah ke Patpong!”
“Di sini saja, di Kandang Badak.”

“Gila! Saya tidak mau! Kalian ini sepantaran  cucu-cucu saya tahu!”
“Tidak peduli. Pokoknya asyik.
Ayo siapa menyusul?”
(Tidak ada cowok yang bersedia!)
“Sudahlah oom jenderal saja cukup!”

Malam lalu selesai begitu saja
dan jadi pagi
tidak ketahuan apakah perkosaan itu
benar-benar terjadi atau tidak
ya, rekan-rekan mahasiswi, tadi malam
itu sukses atau gagal?
pak jenderal,
Anda masih bisa atau sudah menyerah?
itu semua katanya,
merupakan rahasia perusahaan
itu semua merupakan misteri kehidupan.
“Lo, apa hubungan ngewek dengan
misteri kehidupan?”
“Perkosaan! Tadi malam itu perkosaan.
Bukan suka sama suka!”
“Kasihan pak jenderal.”
“Lo, beruntung dia!”

“Mandi di kapal rusak mesinnya
mesinnya dibongkar si Raja maling
tadi pak jenderal digasak anunya
mainnya di belukar berguling-guling!”

“Ngawur!”
“Tanpa mikir!”
“Asal buka mulut!”

“Mandi di kasur empuk airnya
tititnya ngucur ngompol namanya!”
…………………………..
…………………………..

“Huu!”
“Terusannya?”
“Hayo apa hayo!”

“Kandang badak di gunung Gede
jenderal tua ramai-ramai diperkosa
…………………………….
…………………………….
“Wah!”
“Macet lagi!”
“Ayo terusin!”
“Sudah! Stop saja!

Roh badak
sekerumunan mahasiswa, mahasiswi
pak jenderal
mereka mandi
beol
cebok
kencing
menyiapkan sarapan
menyiapkan minum
berkemas-kemas
lalu turun gunung
mula-mula Kandang Batu
Air Panas
simpangan air terjun Cibereum
lalu Cibodas!

di sana sudah ada mobil
angkot
warung bakso
dan tukang es cendol.
tapi roh badak tidak perlu semuanya!

Sumber: Negeri Badak (2007)

Analisis Puisi:
Puisi "Pantun Mahasiswa dan Sang Jenderal" yang ditulis oleh F. Rahardi menggambarkan pertemuan antara sekelompok mahasiswa dengan seorang jenderal, yang dihadapkan dengan perbedaan keyakinan, pandangan hidup, dan kepribadian mereka. Melalui dialog dan peristiwa di tengah alam yang menghadapkan mereka pada badai, puisi ini menggambarkan konflik dan perbedaan yang sering muncul dalam masyarakat, terutama di kalangan mahasiswa dan elit militer.

Pertemuan Beragam Keyakinan: Dalam puisi ini, terlihat bahwa para mahasiswa mewakili beragam keyakinan dan pandangan hidup. Beberapa dari mereka mengandalkan hati nurani, nyali, moral, dan kebenaran sebagai pedoman, sementara yang lain menunjukkan ketidakpercayaan pada apa pun dan menekankan pentingnya aksi daripada sekadar basa-basi. Pertemuan mereka dengan sang jenderal menyoroti konflik dan perbedaan dalam pandangan hidup mereka.

Pertarungan Makna Kehidupan: Para mahasiswa mengekspresikan keyakinan dan pendirian mereka tentang arti kehidupan dan perjuangan. Mereka menekankan pentingnya aksi nyata dan mencari makna dalam kehidupan, sedangkan sang jenderal mengandalkan kekuasaan dan militerisme sebagai jalan hidupnya.

Simbolisme Badai dan Alam: Badai dalam puisi ini mewakili konflik dan tantangan yang dihadapi oleh para mahasiswa dan sang jenderal. Badai juga dapat dipandang sebagai perwujudan dari pertarungan dan ketegangan dalam masyarakat. Alam digambarkan sebagai saksi bisu dari pertemuan mereka dan mencerminkan ketidakpastian dan ketidakstabilan situasi.

Perbedaan Sosial dan Kekuasaan: Puisi ini juga menyoroti perbedaan sosial dan kekuasaan antara mahasiswa dan sang jenderal. Mahasiswa dihadapkan pada sosok yang mewakili elite militer dan kekuasaan pemerintah. Perbedaan ini menonjolkan polarisasi antara kelompok tersebut dan menunjukkan ketegangan yang ada dalam masyarakat.

Ironi dan Kritik Sosial: Puisi ini menyajikan ironi dan kritik sosial terhadap elit militer dan kekuasaan yang dipegang oleh sang jenderal. Meskipun berkuasa, sang jenderal tidak mampu menghadapi badai, sedangkan mahasiswa yang dianggap lemah berhasil bertahan dalam keadaan yang sulit. Ironi ini menunjukkan kelemahan dalam pemahaman dan penerapan kekuasaan.

Puisi "Pantun Mahasiswa dan Sang Jenderal" adalah puisi yang mencerminkan pertemuan antara para mahasiswa dengan seorang jenderal, yang dihadapkan pada perbedaan keyakinan dan pandangan hidup. Puisi ini menyoroti konflik dan perbedaan dalam masyarakat, serta ironi dan kritik sosial terhadap elit militer dan kekuasaan. Melalui simbolisme badai dan alam, puisi ini menyampaikan pesan tentang ketidakpastian dan ketegangan dalam kehidupan.

F. Rahardi
Puisi: Pantun Mahasiswa dan Sang Jenderal
Karya: F. Rahardi

Biodata F. Rahardi:
  • F. Rahardi (Floribertus Rahardi) lahir pada tanggal 10 Juni 1950 di Ambarawa, Jawa Tengah.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.