Puisi: Kisah Sebutir Debu di Trotoar Jalan Salemba Raya Jakarta (Karya F. Rahardi)

Puisi "Kisah Sebutir Debu di Trotoar Jalan Salemba Raya Jakarta" menyoroti eksistensi dan perjalanan seorang sebutir debu yang tergeletak di ...
Kisah Sebutir Debu
di Trotoar
Jalan Salemba Raya Jakarta

Sebutir debu kedinginan di trotoar
Jalan Salemba Raya
"Kalau saja hari lekas jadi siang," kata debu itu
"Aku ingin matahari itu segera memanaskan
badanku
lalu angin yang kencang akan menerbangkan
diriku tinggi-tinggi
lalu hinggap di pipi seorang mahasiswi
aku ingin ikut masuk ke ruang kuliah
mendengarkan pelajaran biologi,
ikut praktek di laboratorium
dan makan siang di kantin
aku ingin sekali menggugah nyali
para mahasiswa itu
agar tidak melempem
dan berani berak di meja dosen
lalu kencing di kantor rektor
aku ingin sekali begitu
tapi aku sadar
aku hanyalah sebutir debu di atas trotoar
yang malam ini diinjak-injak Hansip
dan diludahi maling."

Sebutir debu tergeletak tak berdaya
di trotoar jalan Salemba
angin dan hujan dan matahari dan sandal jepit
dan sepatu lars
menggencet-gencet tubuhnya sampai gepeng
dan lengket
menempel di aspal

"Kalau saja kesempatan itu lekas datang
kalau saja aku bisa melompat ke mobil menteri
yang melaju
dengan kencang itu
aku ingin sekali masuk ke dalam mobilnya
yang bagus
menempel di baju safarinya
lalu ikut sidang kabinet di Bina Graha
aku ingin tahu, apa sajakah yang dibicarakan
dalam sidang kabinet itu
soal konflik Kamboja, harga minyak,
lemak babi, lele dumbo
mungkinkah soal lagu-lagu cengeng
yang kasetnya laris itu
dibahas pula di sana?
aku ingin sekali bertengger di lencana menteri
itu
lalu mencoba membujuknya
agar mobilnya mau melaju lebih pelan
hingga orang-orang yang mau menyeberang
jalan
tidak kerepotan
tapi aku sadar
aku hanyalah debu yang terlantar
di jalan Salemba
dikencingi tukang sapu
dan diberaki anjing."

Sebutir debu kelenger di jalan Salemba Raya
sudah berhari-hari, sudah berminggu-minggu,
berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun dia tergeletak di sana
ditendang, digebuk, disapu, disikat dari sepatu
dan dikibaskan dari lengan baju
"Aku ingin sekali
aku ingin sekali nasib itu berpihak padaku
aku ingin ada pastur yang sudi datang kemari
lalu mengizinkan diriku hinggap di jubahnya
yang putih
aku ingin ikut masuk ke dalam gereja dan
mendengarkan khotbah
ikut mendengarkan orang-orang menyanyi
dan berdoa memuliakan Tuhan
aku ingin menempel pada roti dan anggur
yang akan ditelan para jemaat dan pastur itu
lalu masuk ke dalam perutnya
menyusup ke dalam urat syarafnya
aku ingin sekali tinggal dalam dada para pastur
agar mereka senantiasa ingat
untuk membuka pintu gereja
pada saat orang-orang memerlukannya
tapi aku sadar
aku hanyalah debu
jubah pastur itu pasti akan segera kotor
kalau kutempeli
lalu akan dikibaskan, disikat, dicuci
dan diseterika
sampai licin mengkilap
tak ada lagi tempat tersisa untukku
tak ada lagi tempat untuk sebutir debu."

Sebutir debu menangis kesepian
di trotoar jalan Salemba Raya
"Kalau saja ada bintang film lewat
dengan mobilnya yang bagus
aku ingin sekali melompat lalu bergelayutan
di rambutnya yang rapi itu
aku ingin ikut disorot kamera
lalu ditonton orang banyak
aku ingin sekali ikut muncul di TIVI
ikut dimuat di koran
agar orang banyak juga tahu
bahwa pipi bintang film mereka yang mulus
dan suka dicium-cium itu

juga dapat kotor
aku ingin mengajak teman-temanku
beramai-ramai menempel di pipi bintang film
lalu mengeras jadi daki
tapi aku ingat
aku hanyalah debu
yang kalau hujan tiba
akan hanyut masuk got
campur tinja, bangkai kodok, sampah plastik
dan ceceran oli
aku memang hanya debu."

Sebutir debu menggeliat di trotoar
jalan Salemba
"Karena aku tak bisa ikut menteri
ikut mahasiswa, ikut pastur, ikut bintang film
aku ingin menempel di kening tentara
atau jidat polisi
aku ingin tentara-tentara dan polisi-polisi itu
tidak hanya berani menempeleng maling
dan menembak burung gagak
aku ingin tentara dan polisi itu
berani menampar jenderal mereka yang korup
lalu menyeretnya ke penjara
tapi itu susah bukan?
aku hanya debu
kalau aku sulit masuk ke moncong meriam
kalau aku sulit menempel di gagang pestol
aku akan mencoba bergabung dengan para
gelandangan
mengais-ngais sampah
daripada terlantar di atas trotoar
aku ingin ikut siapa saja
kemana saja."

Sebutir debu tak lagi berada
di trotoar jalan Salemba Raya
seorang tukang sapu telah menyeroknya
dengan sekop
lalu melemparkannya ke truk sampah
dan truk itu pergi
entah kemana
entah sampai kapan

Sebutir debu tak lagi ada
di trotoar jalan Salemba
dan sampai sekarang tak ketahuan
berada dimana
dan jadi apa.

Jakarta, 1989

Analisis Puisi:

Puisi "Kisah Sebutir Debu di Trotoar Jalan Salemba Raya Jakarta" karya F. Rahardi menyoroti eksistensi dan perjalanan seorang sebutir debu yang tergeletak di trotoar Jalan Salemba Raya, Jakarta. Melalui narasi yang mendalam, penyair menghadirkan gambaran tentang perasaan, keinginan, dan keputusasaan debu yang tak berdaya.

Simbolisme Debu: Sebutir debu dalam puisi ini menjadi simbol keterpinggiran dan keputusasaan. Debu melambangkan individu yang terpinggirkan, diabaikan, dan tak dihargai dalam masyarakat. Meskipun memiliki keinginan dan harapan untuk mengubah nasibnya, debu menyadari bahwa ia hanyalah sebuah entitas yang lemah dan tak berdaya.

Keinginan untuk Berubah Nasib: Meskipun debu menyadari keterbatasannya, ia tetap memiliki keinginan untuk berubah nasib. Dalam setiap bagian puisi, debu mengungkapkan keinginannya untuk mengalami kehidupan yang lebih baik, bergabung dengan berbagai kelompok masyarakat, dan menjadi bagian dari aktivitas manusia yang lebih berarti. Namun, debu menyadari bahwa impian-impiannya hanyalah khayalan belaka, dan realitasnya tetaplah sebuah keputusasaan yang tak terhindarkan.

Perjuangan dan Kegigihan: Meskipun debu menghadapi tantangan dan hambatan yang besar, ia tetap menunjukkan kegigihan dan keberanian dalam menghadapi situasinya. Debu berusaha menempuh berbagai cara untuk mengubah nasibnya, meskipun akhirnya harus menerima kenyataan bahwa ia hanyalah sebutir debu yang tak berdaya di tengah-tengah keramaian dan kehidupan kota yang sibuk.

Realitas Kehidupan Kota: Puisi ini juga menggambarkan realitas kehidupan kota yang keras dan tanpa ampun. Trotoar yang dipenuhi sampah, debu yang terinjak-injak, dan kehidupan yang berlalu begitu saja tanpa mempedulikan individu yang lemah menjadi gambaran dari kerasnya kehidupan di perkotaan, di mana kekuatan dan kepentingan materi sering kali mengalahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Puisi "Kisah Sebutir Debu di Trotoar Jalan Salemba Raya Jakarta" karya F. Rahardi adalah sebuah refleksi mendalam tentang eksistensi individu yang terpinggirkan dan keputusasaan dalam menghadapi kerasnya kehidupan di perkotaan. Melalui gambaran yang kuat dan puitis, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti dari perjuangan, keinginan untuk berubah nasib, dan realitas yang ada di sekitar kita.

Floribertus Rahardi
Puisi: Kisah Sebutir Debu di Trotoar Jalan Salemba Raya Jakarta
Karya: F. Rahardi

Biodata F. Rahardi:
  • F. Rahardi (Floribertus Rahardi) lahir pada tanggal 10 Juni 1950 di Ambarawa, Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.