Puisi: Hujan Saat Kematian Menjemput (Karya Tjahjono Widarmanto)

Puisi "Hujan Saat Kematian Menjemput" karya Tjahjono Widarmanto menggambarkan suasana introspektif dan reflektif yang mendalam terkait dengan tema ...
Hujan Saat Kematian Menjemput

tuliskan puisi terakhirmu. Aku paham
ia akan menutup mataku dengan secarik kain

warna kuning lalu angin jadi semerbak
kamboja. hujan jadi bengis yang wingit

aku tak bisa menulis walau cuma sebaris
kalimat. sungguh, bukan karena miris

Hanya sebab kesedihan-kesedihan cengeng
mengenang waktu yang tiras menipis.

seperti kabar lain yang tak pernah penting,
ultimatum itu pun hanya bunyi jari

diketuk-ketukkan pada lingir meja
saat menunggu pelayan menghidangkan

secangkir kopi yang segera lunas
untuk menunda kantuk yang sekarat

aku tak ingin berbantah.
bukankah sejarah lebih butuh mitos dibanding peristiwa?

aku tak ingin bercakap apapun juga,
apalagi merundingkan sepakat yang rumit

bukankah hujan telah turun; saat yang disabdakan
sebagai sebuah penanda untukku

tuliskan puisi terakhirmu. tapi aku tak
menulis apa-apa. tidak satu abjad pun.

segala kemungkinan bisa terhempas
dari ketinggian, seperti juga waktu
yang kehilangan arlojinya hingga detak
yang senyap tak lagi sanggup disimak.
cuma hanya bisa diduga

aku tak pernah berharap pertanyaan-pertanyaan:
dari mana asalmu dan arah mana yang kau tuju?
aku menolak keramahtamahan itu, sebab di baliknya
senyum selalu khianat

aku cuma ingin berkabar bahwa cinta
dan curiga selalu membuat murung
dan berkabung

tuliskan puisi terakhirmu. angin jadi semerbak
kamboja. hujan jadi bengis yang wingit

baiklah, tanganku akan meraba menunjuk
surga neraka mana aku akan berselimut

2006

Sumber: Yogya dalam Nafasku (2015)

Analisis Puisi:

Puisi "Hujan Saat Kematian Menjemput" karya Tjahjono Widarmanto menggambarkan suasana introspektif dan reflektif yang mendalam terkait dengan tema kematian dan kehilangan. Dalam analisis ini, kita akan mengeksplorasi berbagai aspek puisi ini.

Gambaran Atmosfer: Puisi ini menciptakan gambaran atmosfer yang kuat dengan menggambarkan suasana hujan yang bengis dan semerbak kamboja. Atmosfer ini menciptakan suasana tegang dan melankolis yang sesuai dengan tema kematian yang dihadirkan dalam puisi.

Ketidakmampuan untuk Menulis: Penyair dalam puisi mengungkapkan ketidakmampuannya untuk menulis, bahkan hanya satu baris kalimat. Ini mencerminkan kehampaan dan kebingungan yang dialami dalam menghadapi kematian. Meskipun ingin menulis, penyair merasa terhambat oleh kesedihan dan kemurungan yang melilit.

Mitos dan Sejarah: Puisi ini merenungkan perbedaan antara mitos dan sejarah, menunjukkan bahwa sejarah lebih membutuhkan mitos daripada peristiwa yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan kompleksitas manusia dalam mencari makna dan pemahaman tentang kehidupan dan kematian.

Penolakan terhadap Pertanyaan-Pertanyaan: Penyair menolak pertanyaan-pertanyaan konvensional tentang asal-usul dan tujuan hidup. Ini mencerminkan sikap skeptis dan menolak keramahtamahan dunia yang mungkin hanya menyembunyikan kekhawatiran dan kecurigaan.

Cinta dan Curiga: Puisi ini menyoroti perasaan cinta dan curiga yang selalu membawa kesedihan dan berkabung. Penyair merenungkan bagaimana emosi-emosi tersebut dapat merubah suasana hati menjadi murung dan berkabung.

Penyelesaian yang Terbuka: Puisi ini berakhir dengan nada yang terbuka, dengan penyair meraba-raba akan menuju surga atau neraka. Hal ini menciptakan perasaan ketidakpastian dan teka-teki, meninggalkan pembaca untuk merenungkan makna yang lebih dalam dari kematian dan kehidupan setelahnya.

Secara keseluruhan, puisi "Hujan Saat Kematian Menjemput" adalah sebuah puisi yang menggambarkan perenungan mendalam tentang kematian, kehilangan, dan kompleksitas emosi manusia dalam menghadapi ketidakpastian kehidupan dan akhirat.

Tjahjono Widarmanto
Puisi: Hujan Saat Kematian Menjemput
Karya: Tjahjono Widarmanto

Biodata Tjahjono Widarmanto:
  • Tjahjono Widarmanto lahir pada tanggal 18 April 1969 di Ngawi, Jawa Timur, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.