Puisi: Bajang-Bajang (Karya Oka Rusmini)

Puisi "Bajang-Bajang" karya Oka Rusmini menggambarkan perempuan Bali sebagai subjek yang menghadapi transformasi budaya dan sosial dalam konteks ...
Bajang-Bajang (1)

Kau bisa memandang dengan matamu yang hitam?
Lalu kautelanjangi
satu demi satu rangkaian yang bertengger di Kuri Gede
Kau diam
ketika semburat warna dan tangis memutarmu
Kautuntun waktu
atau waktu yang memaksamu
masuk Bale Bandung
Kau berubah
menjelma jadi Dewi Ratih
melantai dengan sedikit polesan
Agung wajah, agung darah
Parekan tua menyunggimu
dengan batu darah perawan baru
Kau gelisah
Payas Agung begitu berat di kepala

Orang-orang bergumam
Wajahmu kusut, tidak tahu harus bicara apa
Hanya satu kalimat dari para pelingsir
"Jegeg sudah Bajang."

Bajang-Bajang (2)

Kau tersenyum
Ada yang berubah pada tubuh

dan bau perawan milikmu
Sang Dewi mulai mengisi bilik hati
Beratus petuah kautelan
Kaubiarkan masuk tenggorokan
dan mencoba merasa berarti

Canting, tipat dampul dan beratus juta banten
menisik kamahiran milikmu
dan kau harus mengingat ragam itu
Metanding dengan bau aneh, wangi aneh
Kau bicara dengan alat itu untuk mengintip diriNya
Betara Sulya, Betara Bayu, Betara....
Kau hafal semua itu
Khusyuk kauserahkan diri
untuk bumi, untuk Griya, untuk Tuniang
untuk Aji, Ibu, Biang...
Semuanya

Bajang-Bajang (3)

Kau mulai mengernyitkan alis
dan bertanya pada tembok
pada dinding-dinding batu yang mengelilingi
Ilmu yang diserap dan bertengger di kepala kaukuliti
mencari arti pertanyaan yang kausimpan
lalu tangkil pada kawitan yang selama ini ada dalam otak
dan bersembunyi pada bunga-bunga canang, kwangen, asap dupa

dan banten-banten dalam tampah
Semua diam
Sang waktu, teknologi, mengajarimu teori
mengajarimu hak
Kau bingung:
"Hak apa? Sepatu?" (tidak)
Pelingsir datang dan selalu membuatmu takut
Selintas bija yang ditempelkan Pedanda
waktu kau turun dari Bale Bandung
melintas dan berenang dalam otak
Kau takut dengan perasaan yang ada di hati?
Kotor, tidak pantas, terlalu berani
Sesuatu mengikat kakimu
Sang Kamajaya yang seharusnya merambah keperawananmu
bebas lepas
"Jegeg..." (kau diam)

Bajang-Bajang (4)

Ada luka yang lebar di mata
menembus lubang roh-roh
sementara sedikit birahi mulai menetes
Ada Sang Kamajaya mengendon dalam bilik hati
Luka pada bintik hitam mata mulai berdarah
Mengering, berdarah dan bernanah
Kau hanya berkata:
"Tembok ini terlalu tinggi."

Griya tidak bisa menolongmu
Kau bisa jadi pejabat, menjadi feminis yang ambisius/energik
Kau menggeleng, menghamburkan nanah dari lubang mata
lalu menggeliat di atas bale-bale
Cecak dan cereret menguntit kediaman milikmu
Jejahitan di tangan robek. Pelingsir marah
Katanya:
"Seorang bajang berwarna polesan harus teliti.
Harus..." (satu malam kaudengar nasehat itu)
Kau hanya mengangguk. Lain tidak
Alam juga tidak beringsut mengajarimu jadi Srikandi
yang berani memberontak, menuntut hak
(lagi-lagi menggeleng tidak, mengangguk tidak)
Katamu:
"Titiang tidak berani menjawabnya."

Bajang-Bajang (5)

Matamu sekarang bernanah
Bajang, apa yang terjadi?
Tembok ini terlalu angkuh
tidak berani berkata
Sang Kamajaya bebas memilih tanpa melihat polesan
dan jenis ukiran yang mengukir roh, tulang, darah, wajah
dan usus yang membendung perut
Kau bersimpuh
dengan asap dupa di kamar, menunggu

tanpa pernah tahu siapa yang kautunggu
Sang Kamajaya bebas melepas birahi pada
setiap warna yang lain

Pada siapa bertanya?
Kawitan? Pelingsir?
Percuma
Kau akan menelan nasehat berjuta-juta mil
Nafas perempuan milikmu diam
sekali pun lahar mulai sedikit meleleh
merembes sampai pori-pori tulang

Angin dari jineng membuatmu bergeser
Kau terpaku
menatap bocah-bocah kecil bergulat dengan debu natah Griya Pikirmu:
"Seperti apa perawan kecil ini nanti?"

Bajang-Bajang (6)

Sang Kamajaya sudah menentukan pilihan
Kau merasa sebagai Sang Dewi Ratih
Panah birahi milikmu tidak mengena
Laki-laki lain dari luar tembok Griya
merambah birahi keperawananmu
Kau bergeming
menahan birahi dalam-dalam

Takut dibuang seperti anjing buduk yang menjijikkan
Sang Kamajaya, Sang Kamajaya
makin banyak mengemis pada kelaki-lakian?
Sementara:
sebagai Dewi Ratih kau berdiri doyong
mempertahankan derajat
yang diukir dari hubungan dua manusia
sehingga muncul bajang milikmu

Canang kauajak bicara
dupa kaumintakan pertimbangan
Merajan kautitipi rahasia dari segala rahasia milikmu
Mereka tetap diam
tidak mengelusmu
dan tidak akan pernah menghukum Kamajaya yang makin liar
menyambar merpati yang tidak diukir
oleh tulang-tulang titisan Bale Bandung

Bajang-Bajang (7)

Bintik manik mata paling hitam milikmu
menggugat telaga putih yang membasahinya
Kaubiarkan satu-satu menetes
Berapa dara jatuh
dan berani pergi
Apa yang sesungguhnya dicari?
Kamajaya telah mencari mangsa

Nafas Bale Bandung
yang pernah membentuk keperempuanan dan kelaki-lakian
tidak bisa bicara lagi

Lalu kau bertanya:
"Kamajaya boleh mencari Dewi Ratih
tanpa polesan warna dan ukiran
Kenapa Sang Dewi Ratih mesti menunggu Kamajaya yang sama?"

Kau hanya bicara
pada angin
pada keretakan libido
dan birahi yang menyusut
yang tidak pernah kaumengerti.

Bajang-Bajang (8)

Angin dan awan yang menyelimuti merajan
kautengadahkan
Kau bicara
pada banten oton
pada pelingsir yang kukuh
sementara air liur dan bajang-bajang milikmu direnggut waktu
yang merampas dengan kasar
Kau masih menunggu
Kamajaya akan datang dengan cinta
dan keperawananmu siap menerima tetes kelaki-lakiannya

Tangis bayi akan membasuh keperempuananmu
mengusik malam-malammu
Darah pasti sama
Kau akan jadi Ratu Ibu

Bajang:
biar lamunan itu tinggi
lewat kunyahan base dan mako
Bajang:
kau lupa waktu

Dan jendela bilik
beberapa bajang produk Bale Bandung terbang
memilih Sang Kamajaya baru
Elang-elang berbagai versi mencium keperawananmu
Sang Kamajaya tidak peduli
banyak yang bisa dipilih

Bajang:
kau merembeskan nanah paling busuk
meneteskan lahar otak yang paling hitam
dari kerentaan darah perawan yang mulai basi

Sementara spanduk-spanduk emansipasi
seminar dan kertas kerja semakin menumpuk

hitam di atas putih, ramai
seolah dunia bisa ditelanjangi
Kertas seminar, kertas kerja
semakin tinggi, terus tinggi
dari Gunung Agung menembus surga
melewati neraka

Waktu tak bisa dibohongi. Dan kau!
Bajang-bajang takut melangkah
Siapa yang akan menuntun kerentaan
Emansipasi terus bergaung
Bajang-bajang baru telah diukir lagi

Sekarang kau keluar
dari tempat yang sama: Bale Bandung
bukan sebagai bajang
tapi sebagai datu
yang mengisi waktu tua sendiri
dengan cereret, kekawin celepuk, gonggongan anjing
predikat hanya datu
sementara emansipasi terus menggugat

Bajang-Bajang (9)

Bajang:
mata milikmu berair
Sang Kamajaya tidak peduli

Bajang? Kau bukan bajang lagi
Datu-datu berserakan
Masa tua yang sepi
Masa tua yang menggigit
Masa tua yang berpangkat

Alangkah mahalnya pengorbananmu, Dewi Ratih
(bajang-bajang lari ke mana)
Masih ingat parekan? Mesangih? Mesunggi di atas pundak?
Coba pandang keluar
Kertas kerja membungkus surga
Jabatanmu hanya datu

1991

Catatan:
  1. Kuri Gede: pintu masuk yang hanya dibuka bila ada upacara-upacara besar
  2. Bale Bandung: sebuah bangunan khusus untuk upacara atau tempat tinggal bagi pendeta. Biasanya bangunan ini disucikan.
  3. Parekan: abdi laki-laki
  4. Payas Agung: perhiasan yang hanya bisa digunakan bila seorang gadis sudah memasuki usia akil balig 
  5. Pelingsir: tetua adat atau orang yang dianggap mengetahui adat-istiadat Bali.
  6. Jegeg: panggilan untuk anak perempuan kasta Brahmana, kasta tertingi dalam struktur masyarakat Bali. Di Bali dikenal 4 macam kasta: Brahmana, Ksatria, Weisya, dan Sudra.
  7. Canang: perlengkapan upacara berbentuk segi empat atau lingkaran berisi rangkaian beragam bunga dan wewangian
  8. Tipat Dampul: ketupat yang menyerupai burung-burungan, biasanya digunakan untuk upacara khusus
  9. Metanding: mempersiapkan perlengkapan upacara
  10. Griya: rumah tempat tinggal kasta Brahmana
  11. Tuniang: nenek
  12. Aji: ayah
  13. Biang: panggilan untuk perempuan-perempuan Griya
  14. Tangkil: bersujud
  15. Kawitan: leluhur
  16. Kwangen: alat upacara berbentuk kerucut dihiasi beragam bunga
  17. Banten: sesaji
  18. Bija: beras yang ditempelkan pada kening. Biasanya digunakan setelah bersembahyang untuk memberi keselamatan, kesejahteraan, dan ketenangan.
  19. Pedanda: pendeta adat
  20. Jegeg: panggilan untuk anak perempuan kasta Brahmana
  21. Bale: balai-balai
  22. Jejahitan: teknik membuat perlengkapan upacara Bari janur. Ada semacam aturan tak tertulis yang mewajibkan seorang gadis, terlebih gadis Griya, untuk mempelajari keterampilan ini.
  23. Titiang: saya
  24. Jineng: semacam lumbung yang sangat tinggi. Biasanya, bagian bawah jineng berbentuk balai-balai, dan bila ada upacara adat seringkali digunakan lelaki untuk membuat beragam masakan, baik untuk keperluan upacara maupun untuk hidangan para tamu.
  25. Natah: pelataran
  26. Merajan: tempat ibadah
  27. Mesangih: upacara potong gigi
  28. Mesunggi: acara menyunggi seorang gadis keliling Griya yang dilakukan para abdi untuk memulai upacara inisiasi. Ketika seorang perempuan mamasuki masa akil-balig, 
  29. biasanya diadakan upacara khusus untuk memberi tahu seluruh keluarga atau masyarakat bahwa seorang anak perempuan telah menjadi gadis remaja. Upacara ini berlangsung tiga hari.
  30. Oton: upacara untuk memperingati hari kelahiran
  31. Base: sirih
  32. Mako: tembakau
  33. Celepuk: burung hantu
  34. Datu: perawan tua. Dalam struktur masyarakat Bali sering seorang perempuan berkasta bangsawan, terlebih Brahmana, lebih memilih tetap mempertahankan keperawanannya demi darah bangsawan yang mengaliri tubuhnya dibanding menikah dengan kasta yang berbeda. Ada aturan bahwa seorang perempuan (untuk kasta Brahmana nama mereka Ida Ayu) hanya boleh menikah dengan laki-laki dari kasta yang sama. Sementara laki-laki (nama mereka Ida Bagus) boleh menikahi perempuan dari golongan apa saja tanpa ada penurunan derajat bagi keturunannya.
Sumber: Warna Kita (2007)

Analisis Puisi:

Puisi "Bajang-Bajang" karya Oka Rusmini adalah sebuah karya yang mendalam dan penuh dengan makna simbolis yang dalam konteks budaya Bali. Puisi ini mengangkat tema tentang perempuan Bali yang menghadapi ritual dan perubahan sosial dalam masyarakatnya.

Simbolisme dan Budaya Bali

Puisi ini kaya akan simbolisme dan referensi budaya Bali, yang menggambarkan perempuan sebagai subjek utamanya yang melalui berbagai ritual dan upacara adat. Misalnya, "Kuri Gede" yang merupakan pintu masuk untuk upacara besar dan "Bale Bandung" yang merupakan tempat tinggal atau upacara penting bagi pendeta, mengilustrasikan ruang ritual dan spiritual dalam kehidupan perempuan Bali.

Perubahan dan Identitas

Puisi ini menggambarkan perubahan yang dialami oleh seorang perempuan Bali dari masa remaja ke dewasa. Proses ini ditandai dengan istilah "Bajang-Bajang", yang mengacu pada proses inisiasi atau transformasi dari seorang gadis menjadi seorang dewasa yang siap menghadapi peran dan tanggung jawabnya dalam masyarakat. Perempuan dalam puisi ini berusaha memahami dan merespons perubahan ini, terlihat dari dialog internalnya dan interaksinya dengan lingkungan sekitar.

Konflik Internal dan Eksternal

Konflik dalam puisi ini tidak hanya terjadi secara internal, melainkan juga melibatkan interaksi perempuan dengan masyarakat dan norma-norma budaya Bali yang kental. Misalnya, ketegangan antara ekspektasi sosial terhadap perempuan (seperti penggunaan "Payas Agung" yang berat di kepala) dengan keinginan untuk memahami dan mengeksplorasi identitas dan hak pribadinya.

Emansipasi dan Tradisi

Puisi ini juga menyentuh tema emansipasi perempuan dalam konteks tradisi Bali yang kuat. Meskipun terikat oleh adat dan ritual, perempuan dalam puisi ini mencoba untuk menemukan ruangnya sendiri dalam mengartikan dan mengekspresikan diri, meskipun hal ini tidak selalu bebas dari konflik dan pertentangan.

Kehidupan dan Penutup

Puisi ini ditutup dengan refleksi tentang kehidupan dan masa tua, di mana perempuan yang telah mengalami berbagai pengalaman dan ritual, kini menghadapi masa tua dengan segala hikmah dan kebijaksanaan yang diperolehnya. Hal ini menunjukkan perjalanan yang penuh dengan pengorbanan, refleksi, dan penerimaan atas perubahan yang dialaminya.

Puisi "Bajang-Bajang" karya Oka Rusmini menggambarkan perempuan Bali sebagai subjek yang menghadapi transformasi budaya dan sosial dalam konteks yang kaya akan tradisi. Melalui simbolisme dan narasi yang dalam, puisi ini tidak hanya menceritakan sebuah perjalanan individu, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan tentang nilai-nilai budaya dan dinamika perubahan dalam masyarakat Bali.

Oka Rusmini
Puisi: Bajang-Bajang
Karya: Oka Rusmini

Biodata Oka Rusmini:
  • Oka Rusmini lahir di Jakarta pada tanggal 11 Juli 1967.
© Sepenuhnya. All rights reserved.