Puisi: Ubud, Hanya Keluh dan Riuh (Karya Wayan Jengki Sunarta)

Puisi "Ubud, Hanya Keluh dan Riuh" mencerminkan kegelisahan akan pengaruh pariwisata terhadap Ubud, dan bagaimana perubahan tersebut merusak ...
Ubud, Hanya Keluh dan Riuh

malam makin mabuk
seorang turis separuh baya
berceloteh tentang Rsi Markandeya
dan masa silam yang hanyut
di sungai Campuhan

aku menenggak arak sembari membayangkan
cahaya kunang-kunang di pematang sawah
turis itu terus berkicau tentang Bali
dan cukong-cukong pariwisata

di Ubud yang sisa
hanya keluh
dan riuh

Lempad dan Tjokot telah lama mati
gemuruh tarian kecak perlahan sirna
ditelan bingar musik kafe
dan cukong-cukong pariwisata
beramai-ramai memberaki Bali

celoteh turis makin berdengung
seperti kerumunan tawon
aku pergi menjauh
duduk di bawah pohon jepun
berteman arak dan sepi
bercengkerama dengan diri

di pelataran pura,
seorang kakek tua menari sendiri
tongkat di tangannya
menunjuk-nunjuk ke arahku

malam makin kelam
langit mencurahkan gerimis
seperti tirta suci
memerciki ubun-ubunku...

2014

Sumber: Montase (2016)

Analisis Puisi:
Puisi "Ubud, Hanya Keluh dan Riuh" karya Wayan Jengki Sunarta merupakan sorotan terhadap Ubud, sebuah daerah wisata yang menjadi simbol Bali yang dikenal secara internasional. Meskipun dianggap sebagai tempat yang penuh dengan keindahan alam, seni, dan budaya, penyair menyoroti perubahan budaya dan lingkungan seiring dengan pengaruh pariwisata.

Pengaruh Pariwisata: Penyair mengekspresikan kegelisahan terhadap pengaruh pariwisata terhadap Ubud. Pengalaman seorang turis yang berbicara tanpa henti tentang Rsi Markandeya, masa lalu, dan budaya Bali, namun dengan sedikit pemahaman yang dalam, mencerminkan bagaimana pariwisata kadangkala hanya menggarisbawahi sisi kosong dari suatu budaya tanpa memahami maknanya.

Keadaan Ubud yang Berubah: Puisi ini menyoroti perubahan budaya dan seni, dari penurunan kegairahan dalam tarian dan seni tradisional, hingga perubahan keseluruhan keadaan di Ubud. Penyair menyiratkan kehilangan esensi dan keaslian budaya yang semula dijaga secara tradisional.

Gambaran Kekecewaan: Gambaran kekecewaan dalam puisi tercermin melalui perubahan tersebut. Dalam deskripsi tentang hilangnya gemuruh tarian kecak dan pembicaraan turis yang memenuhi ruang dengan ceritanya, puisi ini menyoroti betapa kehidupan sehari-hari masyarakat lokal menjadi tertutup oleh dominasi pariwisata.

Reaksi Penyair: Penyair memberikan reaksi dengan menjauh dari keramaian. Ia memilih bertemu dengan dirinya sendiri dan memandang adegan penuh ironi, seperti seorang kakek tua menari sendirian yang menunjukkan tanda-tanda ketidaksenangan pada perkembangan Ubud yang modern dan kehilangan esensinya.

Puisi "Ubud, Hanya Keluh dan Riuh" mencerminkan kegelisahan akan pengaruh pariwisata terhadap Ubud, dan bagaimana perubahan tersebut merusak esensi dan keaslian budaya dan lingkungan. Penyair mengekspresikan kekecewaan dan kehilangan melalui deskripsi tentang keramaian dan perubahan dramatis di Ubud, menimbulkan kesan ironi terhadap penurunan nilai budaya dalam sebuah lingkungan yang semula kaya akan tradisi.

Wayan Jengki Sunarta
Puisi: Ubud, Hanya Keluh dan Riuh
Karya: Wayan Jengki Sunarta

Biodata Wayan Jengki Sunarta:
  • Wayan Jengki Sunarta lahir pada tanggal 22 Juni 1975 di Denpasar, Bali, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.