Puisi: Percakapan di Gunung Rajabasa (Karya F. Rahardi)

Puisi "Percakapan di Gunung Rajabasa" membuka ruang untuk refleksi tentang kreativitas, kekuasaan dalam sastra, dan bagaimana karakter dalam ....
Percakapan di Gunung Rajabasa (1)

Gunung Rajabasa
Anggun tapi angker
para kampret itu loyo
capek
gemetaran
dengan perut yang sangat lapar
tubuh yang kedinginan
dan semangat yang hancur
kepak sayap mereka berat
lantaran bulu-bulu mereka basah

kecepatan terbang mereka
paling banter cuma 40 km per jam
kadang-kadang mereka oleng
ingin sekali makan
ingin sekali mencaplok apa saja
tapi kerena hari sudah keburu siang
mereka pun bergelayutan di gerumbulan
semak-semak
di dahan-dahan kopi
di ranting-ranting cengkeh
banyak pula yang terpaksa
bergeletakan di tanah
seharian mereka keleleran dipanggang matahari
banyak yang tidak tahan
lalu langsung megap-megap dan mati

Menghadapi kenyataan yang
mengenaskan ini beberapa kampret
yang IQ nya di atas 100 langsung protes

“Bagaimana ini nasib kami
Kok sembarangan saja sih yang
ngarang buku ini.”
“Enak saja kami dibikin susah terus.”
“Mestinya kan sewaktu kami nyebrang
selat Sunda dibikin bagus
Tenang, langit cerah, ada bulan.”
“E, badai disuruh datang
pakai ngasih tahu Nyai Roro Kidul segala.”
“Bagaimana ini Oom?”
“Apa?
Ada masalah apa?”
Kan Oom yang ngarang buku ini kan?”
“Ya, betul.”
“Kami para kampret jadi tokoh utamanya kan?”
“Iya.”
“Kok kami dibikin susah terus,
sengsara terus.”
“Itu namanya tidak bertanggungjawab dong.”
“Masa kami dibiarkan keleleran di Gunung
Rajabasa begini.”
“Kami protes keras.”
“Kami mau batalkan kontrak.”
“Sudahlah cari tokoh lain saja sana.”
“Iya, kambing kek atau tokek
atau macan
kan masih banyak bintang lain
manusia juga banyak yang mau jadi tokoh.”
“Ayo teman-teman kita pulang saja.”
“Kita berhenti jadi tokoh.”
“Hore!”
“Kita bebas!”
“Merdeka.”
“Kita kembali merdeka.”
“Penyair brengsek.”
“Otoriter.”
“Sok mengatur.”
“Penyair memang manusia yang paling gombal
di Republik Indonesia
Lain lo dengan Menteri Lingkungan.”
“Ya, beda sekali dengan bintang film.”
“Sudah situ Oom tinggal saja sendirian
di Gunung Rajabasa.”
“Rasain lu,
kelaparan, haus
capek
mamphus.”
“Ayo semua pergi
biar si Oom itu ngarang tentang
Gunung Rajabasa atau batu.”

Gunung Rajabasa siang itu sepi
sebagai penyair aku sangat masygul
para kampret itu menghilang
meninggalkan diriku sendirian
memang ada pohon cengkeh
ada pohon kopi
ada belalang dan batu-batu
ada angin
langit dan matahari juga tampak bagus
tapi apa mereka bisa begitu saja
mengambil oper peran para kampret
tidak mungkin

aku lalu kencing dan berjalan mendaki
menyusuri jalan setapak
napas saya tersengal-sengal
Inilah kalau orang kota
yang umurnya sudah 43
naik Gunung Rajabasa
Ya repot
tanpa bekal apa-apa lagi
sudah lapar, capek
juga ngantuk

di sebuah tempat yang agak datar
aku lalu beristirahat dan ambil napas
namun baru saja aku santai sejenak
ada dua orang petani suami istri
yang berlarian dari atas sambil
menenteng golok
aku kaget
“Awas lo Oom
Jangan naik
Di atas sana banyak sekali kelelawar.”
“Iya Oom ayo turun saja
Sepertinya itu tadi hantu kelelawar tampaknya.”

Belum sempat aku bertanya lebih lanjut
dua petani tadi sudah keburu ngabur ke bawah
dan tiba-tiba semangatku kembali pulih
kekuatanku datang lagi
tak ada lagi lapar
capek, ngantuk
dengan semangat tinggi aku melompat
lalu berlarian mendaki
kadang-kadang harus berpegangan
pokok-pokok kopi
aku terus berlari
dan di sebuah dataran yang agak rata
tampak banyak sekali kampret
yang bergelayutan di gerumbulan
dan dahan-dahan kopi
napasku tersengal
seperti mau putus

“Ngapain Oom lari-lari begitu?
Olahraga ni ye?”

Setelah ambil napas dan berpegangan
rumput-rumput
baru aku bisa ngomong

“Lo kalian masih di sini?
Tidak ikut yang lain-lain itu?”
“Tidak Oom
Kan kami tokoh buku ini
Apapun yang terjadi
Kami harus tetap di buku ini.”

Aku terharu
para kampret itu kusalami satu-satu
sampai aku benar-benar loyo
ternyata masih ada kampret yang
mau jadi tokohku
meskipun jumlahnya tidak banyak
paling tinggal ratusan.

“Ada berapa banyak sih pret?”
“Dua ratus Oom.”
“Yah, lumayan
lebih baik sedikit tapi bermutu
daripada banyak tapi gombal
masak pengarangnya dimaki-maki.
Sudahlah prêt.
Hari ini kita istirahat total
nanti malam kita jalan lagi
Okey?”
“Okey Oom!”

Percakapan di Gunung Rajabasa (2)

“Kampret
tahun 1989 atau 1990 agak lupa
saya pernah nulis sajak
tentang Lampung
sajak itu ikut termuat dalam
sebuah buku kumpulan sajak
berjudul Tuyul
dan diterbitkan oleh Pustaka Sastra
tahun 1990

Kayaknya pret
suasana sajak itu kok masih cocok
sama suasana Lampung saat ini
jadi selama kalian melintasi
propinsi Lampung
sajak itu kembali dimuat lengkap saja ya
setuju pret?”

“Setuju Oom”.

“Lho, jangan main setuju-setuju begitu saja
tidak usah takut
kalau kalian punya pendapat lain
silakan
berbeda pendapat itu sehat
bagaimana?”

“Kami memang setuju kok oom
kami percaya sama Oom”.

“Itu yang saya tidak mau
saya senang sama kampret
karena sikapnya yang tak penurut
jadi jangan asal bilang setuju
lalu tinggal ketok palu
kalau maunya begitu
saya ambil saja burung perkutut
yang jinak
atau beo atau bebek
mereka pasti nurut-nurut terus
jadi bagaimana pendapat kalian
kalau sajak itu dimuat lagi?”

“Baiklah Oom
lantaran situ yang maksa
terpaksalah kami berpendapat
tapi maaf ya Oom
kalau pendapat kami-kami
ini tidak berkenan di hati Oom
kan Oom yang paling berkuasa
dalam buku ini”.

“Itu gombal pret
basa-basi macam itu
adalah adat Jawa yang saya
justru tidak suka
langsung saja pendapat kamu
bagaimana”.

“Gini
pertama, pemuatan sajak itu
akan menunjukkan bahwa
Oom malas”.

“Kok bisa begitu pret?”
“Jelas
Lampung 1990 apalagi 1989
pasti beda dengan Lampung 1993
jadi mestinya Anda nulis lagi
yang lebih bagus”.

“Mestinya memang begitu pret
tapi ini bukan soal malas atau rajin
terus terang, saat ini
Lampung tidak begitu menggairahkan
bagi saya
apa saya mesti mengulang
nulis soal transmigran
singkong
kebun kelapa sawit
karet
atau apa lagi itu?
bosen dong”.

“Itu tadi yang pertama lo Oom
yang kedua
kalau sajak itu tampil lagi di buku ini
Oom sudah sama dengan
pedagang kaset”.

“Pedagang kaset pret?”
“Ya
begitu lagu Hati Yang Luka disukai
lalu direkam di mana-mana
didangdutkan, dibatakkan
dijawakan
di kaset seleksi pop masuk
di kaset pop pilihan ada
di kaset top pop ada juga
yang rugi pembeli”.

“Masih ada lagi pret?”
“Yang ketiga
sajak itu tidak begitu bagus”.

“Yang bener pret?”
“Betul
jelek memang juga tidak
tapi bagus juga belum
jadi ya biasa-biasa saja
masak sajak yang hanya biasa-biasa saja
mau dimuat di dua buku?”

“Jadi tegasnya kalian tidak stuju?”
“Tidak!”
“Gombal!”
“Tu, Oom marah kan?”

“Saya marah bukan lantaran
kalian punya pendapat beda
tapi lantaran lu plin plan
atau munafik
tadi pertama-tama bilang
setuju
bagus
sekarang ngehek
itu namanya gombal'”

“Lo, Oom
kalau Oom memang maunya dimuat
ya silakan
siapa yang mau melarang sih?”

“Itu lebih gombal lagi pret
sekarang kalian harus tegas
setuju atau tidak?”

“Tidak,
Tapi ………………….”

“Stop, tidak usah pakai tapi
segala macam tai kucing
saya sebenarnya ingin
itu sajak dimuat
tapi saya menghormati
pendapat para tokoh
kalian itu tokoh lo pret
jadi jangan peyat-peyot gitu
tidak setuju kan?”

“Tidak”.
“Bagus
saya putuskan untuk tidak dimuat
jadi kalau ada pembaca yang penasaran
ingin tahu sajak “Lampung”
silakan membacanya di buku Tuyul
harganya Rp 2.500,00
dapat dibeli di toko-toko buku
yang beken
sekarang bagaimana pret
ngapain kita
atau lu yang gantian cerita
dong
salah satu dari kalian gitu
atau dibentuk tim
atau pokja
capek saya
setuju kan kalian?
bagaimana?
jangan pada bengong gitu
sudahlah
pokoknya saya mau cari hotel
di Bandar Lampung
mandi, ganti baju, makan
lalu tidur,
saya tunggu di Palembang
dan kalian harus bikin
laporan perjalanan lengkap
minimal 5 halaman
sudahlah
jangan protes
jangan tanya-tanya
sana terbang semua
hari sudah sore.

Sumber: Migrasi Para Kampret (1993)

Analisis Puisi:
Puisi "Percakapan di Gunung Rajabasa" karya F. Rahardi menawarkan suatu perbincangan satir yang menggambarkan interaksi antara seorang penyair dengan karakter-karakter fiksi, dalam hal ini, para kampret.

Satir terhadap Proses Kreatif: Puisi ini memasukkan unsur satir terhadap proses kreatif seorang penyair. Penggambaran para kampret yang protes terhadap peran mereka dalam buku menciptakan gambaran bahwa proses kreatif tidak selalu harmonis dan dapat melibatkan konflik antara penulis dan karakternya.

Kritik terhadap Kekuasaan Sastrawan: Dalam dialog antara penyair (Oom) dan para kampret, puisi ini menyampaikan kritik terhadap kekuasaan seorang sastrawan terhadap karakter dan cerita dalam karyanya. Para kampret menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap nasib yang ditentukan oleh penyair.

Pertentangan Antara Ekspektasi dan Kenyataan: Penggambaran para kampret yang merasa tertindas karena nasib buruk mereka di dalam cerita menciptakan pertentangan antara harapan atau ekspektasi karakter dan kenyataan yang mereka alami. Hal ini mencerminkan konflik yang mungkin terjadi antara pencipta dan karakternya.

Refleksi tentang Kreativitas dan Penolakan: Puisi ini juga dapat dianggap sebagai refleksi tentang kreativitas dan penolakan. Ketidaksetujuan para kampret dapat diartikan sebagai suatu bentuk penolakan terhadap representasi diri mereka yang dibentuk oleh penyair. Ini menunjukkan bahwa karakter-karakter fiksi memiliki "kehidupan" mereka sendiri dan tidak selalu tunduk pada keinginan sang pencipta.

Gaya Bahasa dan Dialog Lucu: Gaya bahasa yang digunakan dalam puisi ini, seperti istilah "pret" dan "Oom," memberikan sentuhan humor dan keceriaan dalam pembicaraan antara penyair dan para kampret. Dialog yang cenderung humoris ini mungkin dimaksudkan untuk menghibur pembaca sambil menyampaikan pesan kritis.

Penolakan terhadap Klise dan Keterbatasan Kreativitas: Penolakan para kampret untuk menjadi tokoh utama karena merasa dihadapkan pada klise dan penderitaan yang berulang, mengindikasikan penolakan terhadap keterbatasan kreativitas dan stereotipe dalam dunia sastra.

Pertimbangan dan Kesimpulan: Puisi ini memberikan gambaran unik tentang hubungan antara pencipta dan karakternya, sambil memberikan sudut pandang kritis terhadap otoritas sastrawan. Dialog yang dilibatkan menciptakan narasi yang menyenangkan untuk diikuti dan meninggalkan kesan tentang dinamika kompleks antara penulis dan karyanya.

Puisi "Percakapan di Gunung Rajabasa" membuka ruang untuk refleksi tentang kreativitas, kekuasaan dalam sastra, dan bagaimana karakter dalam sebuah karya memiliki eksistensi mereka sendiri.

F. Rahardi
Puisi: Percakapan di Gunung Rajabasa
Karya: F. Rahardi

Biodata F. Rahardi:
  • F. Rahardi (Floribertus Rahardi) lahir pada tanggal 10 Juni 1950 di Ambarawa, Jawa Tengah.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.