Analisis Puisi:
Puisi "Pantai Senggigi" karya Wayan Jengki Sunarta mengangkat tema kenangan, cinta yang tak terwujud, dan keabadian yang diungkapkan melalui gambaran alam. Pantai Senggigi, yang merupakan sebuah tempat nyata di Lombok, Indonesia, berfungsi sebagai latar tempat yang puitis dalam menggambarkan perasaan yang mendalam dan melankolis. Dalam puisi ini, pantai bukan hanya sebagai latar fisik, tetapi juga sebagai simbol dari kenangan yang tak bisa dilupakan dan perasaan yang tak terjangkau.
Kekalahan Kata dalam Membekukan Kenangan
Baris pertama puisi ini, "lebih dari beribu puisi tak mampu / membekukan kenangan itu," menggambarkan betapa kuatnya kenangan yang tersimpan dalam hati penyair. Meskipun puisi adalah medium yang diharapkan mampu mengekspresikan perasaan, kenangan yang begitu mendalam dan kuat tetap tak dapat sepenuhnya terungkap atau dibekukan melalui kata-kata. Penyair menyampaikan bahwa kata-kata hanyalah usaha yang sia-sia untuk menangkap dan mempertahankan kenangan yang hidup dalam dirinya. Ini mengungkapkan kesedihan bahwa beberapa kenangan, terutama yang berhubungan dengan cinta atau kehilangan, terlalu kuat untuk dijelaskan dengan bahasa.
Camar dan Matahari yang Tak Sampai
Lanjutannya, "camar-camar tak sampai / melabuhkan matahariku di pantaimu," menggunakan simbolismenya untuk menggambarkan perasaan yang tak pernah sepenuhnya tercapai. Camar, yang biasanya melambangkan kebebasan atau pelarian, tidak dapat melabuhkan matahari penyair di pantai. Ini bisa diartikan sebagai ketidakmampuan penyair untuk menemukan kedamaian atau penyelesaian emosional dalam kenangan tersebut. Matahari yang menjadi simbol dari harapan dan kehangatan tidak mampu sampai di pantai yang dimaksud, yang menggambarkan jarak emosional atau ketidaktercapaian dalam hubungan yang pernah ada.
Ombak dan Buih sebagai Simbol Kehilangan
Selanjutnya, dalam "ombak pun luluh jadi buih / kembali pulang ke sarang air," ombak dan buih menjadi simbol dari perasaan yang mengalir dan akhirnya menghilang. Ombak yang luluh dan menjadi buih ini bisa dilihat sebagai gambaran dari perasaan yang kuat namun akhirnya menguap, menghilang, dan tidak meninggalkan jejak yang jelas. Kenangan dan perasaan cinta yang pernah besar, pada akhirnya, hanya menjadi buih yang lenyap ke dalam air, kembali ke asalnya, seolah-olah tak ada yang pernah terjadi. Ini bisa diartikan sebagai perasaan kecewa dan kehilangan yang mengarah pada ketidakpastian dan kehampaan.
Birunya Laut dan Rambut Sebagai Simbol Keabadian
Bagian puisi selanjutnya, "biru.biru.biru / angin murah hati menjejakkan / bayangmu di hampar pasir," menekankan unsur warna biru yang berulang, yang memberi kesan keabadian, kedalaman, dan ketenangan. Laut yang biru melambangkan sebuah kedalaman perasaan yang tak pernah habis dan selalu kembali. "Biru" diulang untuk menunjukkan kedalaman emosional yang tiada habisnya—sebuah ruang yang luas, penuh makna, dan tidak dapat diselesaikan. Angin yang menjejakkan bayangannya di pasir menambah dimensi visual pada perasaan yang mengambang dan sementara. Bayangan yang terlukis di pasir, meskipun sementara, mencerminkan kenangan atau cinta yang tak akan pernah benar-benar hilang, meskipun ia dapat tersapu ombak.
Rambut Biru dan Air Mata sebagai Ungkapan Kerinduan
Pada bagian berikutnya, "rambutmu makin biru / gerai, gerailah / biarkan aku mabuk di situ," rambut yang biru mungkin merujuk pada sosok yang sangat berarti bagi penyair, yang semakin menghilang atau menjadi bagian dari kenangan. Penggunaan warna biru di sini mengundang asosiasi dengan perasaan kerinduan yang mendalam. "Gerai, gerailah" bisa diartikan sebagai undangan untuk membiarkan kenangan itu mengalir bebas, tidak terkekang. Penyair ingin tenggelam dalam perasaan tersebut, "mabuk di situ," seperti seseorang yang larut dalam perasaan cinta atau kerinduan yang berlarut-larut.
Lebih lanjut, "berkendi-kendi anggur keabadian, / sulingan perih air mata pantaimu / tandas kureguk. tandas!" memperkuat tema kesakitan dan kerinduan yang tiada akhir. "Anggur keabadian" menunjukkan keinginan untuk merasakan kembali kenangan yang abadi meskipun itu melibatkan rasa sakit, yang dituangkan melalui "sulingan perih air mata." Penyair rela merasakan kesedihan itu berulang kali, mencoba untuk tenggelam dalam kenangan yang penuh dengan emosi campur aduk—cinta, kehilangan, kerinduan, dan perpisahan.
Puisi "Pantai Senggigi" karya Wayan Jengki Sunarta menggambarkan tema kehilangan dan kerinduan yang mendalam, dengan latar alam pantai yang melambangkan kesunyian, kesepian, dan ketidakmampuan untuk melupakan kenangan. Penyair menggunakan gambaran alam seperti ombak, pasir, dan angin untuk menyampaikan betapa kuatnya kenangan itu meskipun ia tak bisa dibekukan atau dijelaskan dengan kata-kata. Laut yang biru dan rambut yang semakin biru menjadi simbol dari perasaan yang tak pernah berakhir—perasaan cinta dan kerinduan yang mengalir tanpa henti.
Di tengah keabadian alam yang terus berputar, puisi ini mengajak pembaca untuk meresapi perasaan cinta yang penuh kesakitan, dan bagaimana kenangan itu tetap ada meski kita tidak dapat mengubahnya. Melalui penggunaan simbolisme yang kuat, Pantai Senggigi mengungkapkan bahwa meskipun waktu dan ombak terus bergerak, kenangan dan perasaan akan selalu ada, tertanam dalam diri kita.
Karya: Wayan Jengki Sunarta
Biodata Wayan Jengki Sunarta:
- Wayan Jengki Sunarta lahir pada tanggal 22 Juni 1975 di Denpasar, Bali, Indonesia.