Analisis Puisi:
Puisi "Negeri Jerebu" karya Wayan Jengki Sunarta adalah sebuah karya sastra yang menyuarakan keresahan dan penderitaan masyarakat yang terperangkap dalam bencana lingkungan yang disebabkan oleh kabut asap, yang meresap dalam kehidupan sehari-hari dan mengancam kesehatan. Namun, puisi ini juga lebih dari sekadar deskripsi tentang polusi udara; ia menyentuh isu yang lebih dalam mengenai ketidakpedulian penguasa terhadap rakyat, ketidakmampuan sistem dalam menangani masalah lingkungan, serta ketidakadilan yang menimpa mereka yang hidup di negeri yang kaya namun penuh masalah.
Jerebu: Simbol dari Ancaman Lingkungan dan Ketidakadilan Sosial
Puisi ini dimulai dengan gambaran yang kuat dan menyeramkan, "jerebu mengepung negeri kami / lebih mengerikan dari tentara atau polisi," yang menggambarkan betapa beratnya dampak dari polusi udara yang melanda negeri tersebut. Jerebu, yang merupakan fenomena kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan, menjadi simbol dari ancaman yang jauh lebih mematikan dan merusak dibandingkan dengan ancaman fisik dari kekerasan atau penindasan. Jerebu ini bukan hanya sebuah masalah lingkungan, tetapi juga merupakan refleksi dari kegagalan pemerintah dan elit politik dalam menjaga kesehatan dan kesejahteraan rakyatnya.
Penyebutan "tentara" dan "polisi" yang dalam konteks ini disebut lebih mengerikan dari jerebu menunjukkan betapa besar ketidakpercayaan terhadap institusi negara. Bahkan, ia mengaitkan jerebu dengan politisi dan pelaku korupsi, yang dianggap sama memuakkannya. Polusi ini, yang telah lama menjadi masalah di negara-negara tertentu, menjadi lambang dari kebijakan yang buruk, kegagalan pengelolaan lingkungan, dan ketidakpedulian pemerintah terhadap penderitaan rakyatnya.
Dampak Polusi terhadap Alam dan Kehidupan Sehari-Hari
Pada bagian berikutnya, puisi ini menggambarkan dampak dari polusi terhadap alam dan makhluk hidup di sekitarnya. "Bunga mawar dan melati / tampak muram dan kelabu," adalah gambaran betapa alam seakan kehilangan keindahan dan kehidupan, terpenjara dalam jerebu yang mengurangi kualitas udara dan menghambat pertumbuhan tanaman. Burung-burung kutilang yang biasanya kicauannya merdu, kini tidak mampu berkicau, sementara kucing yang biasanya aktif dan ceria, kini hanya bisa meringkuk, sakit dan kehilangan vitalitas. "Bulu-bulu indahnya / meranggas perlahan" menggambarkan bagaimana polusi dan kerusakan lingkungan merusak kehidupan yang semula penuh keceriaan.
Hal ini mencerminkan betapa buruknya dampak polusi terhadap ekosistem. Tidak hanya manusia yang menderita, tetapi seluruh makhluk hidup — baik tumbuhan maupun hewan — merasakan dampaknya. Bahkan penghuni hutan yang telah lama mengungsi atau mati terbakar, menjadi gambaran nyata dari kehancuran alam yang terjadi sebagai akibat dari kebakaran lahan yang tidak terkendali. Puisi ini menyentuh aspek ekologis dengan cara yang sangat emosional, menggambarkan kerugian besar yang dialami alam dan kehidupan yang terancam punah.
Penderitaan Rakyat yang Tak Terselesaikan
Pada bagian tengah puisi, Sunarta menggambarkan betapa rakyat biasa telah begitu terjepit oleh kondisi ini, "kami tak perlu menyulut rokok / sekadar untuk menghibur diri," dengan menekankan bahwa penderitaan mereka jauh lebih besar daripada sekadar masalah kebiasaan merokok. Sebagian dari mereka bahkan merasa paru-parunya "hangus diberangus jerebu," yang menggambarkan betapa parahnya polusi yang mereka rasakan. Selain itu, Sunarta juga menggambarkan dampaknya pada generasi muda, di mana "anak-anak kami sesak nafas / bukan karena asma," dan "kakek nenek kami perlahan mati / bukan karena tuberkulosis." Ini adalah gambaran yang menggugah hati, menunjukkan betapa rakyat harus menghadapi kematian dan penderitaan yang tidak disebabkan oleh penyakit biasa, tetapi oleh bencana lingkungan yang tidak terkendali.
Sunarta dengan sangat cerdas mengaitkan polusi dengan kematian dan penyakit, yang sebelumnya tidak muncul sebagai ancaman langsung, tetapi sekarang menjadi kenyataan sehari-hari bagi masyarakat. Penyakit-penyakit seperti asma dan tuberkulosis kini menjadi lebih parah, dan polusi udara memperburuk kondisi tersebut, menambah penderitaan rakyat yang sudah terhimpit oleh banyak masalah.
Kritik terhadap Penguasa dan Korupsi
Puncak dari puisi ini adalah seruan keras terhadap penguasa yang tidak peduli dengan penderitaan rakyat: "wahai, tuan penguasa / dan kaum durjana!" Sunarta dengan jelas menunjukkan bahwa pemerintah, para elit politik, dan pelaku korupsi adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas penderitaan rakyat. Dalam konteks ini, polusi dan jerebu bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga masalah ketidakadilan yang lebih besar. Penguasa yang lebih peduli dengan kekuasaan dan keuntungan pribadi daripada dengan kesejahteraan rakyat mereka telah menyebabkan bencana ini, dan mereka seakan tidak peduli dengan nasib orang-orang yang mereka pimpin.
Polusi sebagai Simbol dari Ketidakadilan
Dalam puisi "Negeri Jerebu", jerebu bukan hanya fenomena alam, tetapi juga simbol dari ketidakadilan struktural yang menghinggapi negara tersebut. Polusi udara menjadi metafora bagi segala bentuk kegagalan pemerintah dalam menjaga kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil. Sebagaimana jerebu menghambat pandangan, kehidupan, dan kesehatan, demikian pula ketidakadilan menghalangi masa depan yang cerah bagi rakyat.
Puisi "Negeri Jerebu" adalah puisi yang menyuarakan ketidakpuasan mendalam terhadap ketidakpedulian pemerintah terhadap masalah lingkungan dan sosial. Wayan Jengki Sunarta dengan tegas mengkritik penguasa yang lebih memilih untuk mengejar kepentingan pribadi, sementara rakyatnya menderita akibat kebijakan yang salah. Puisi ini menyampaikan pesan kuat tentang pentingnya kesadaran akan kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial yang mengancam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam suasana yang penuh kabut, baik secara harfiah maupun kiasan, Sunarta mengajak pembaca untuk merenung dan menyadari bahwa perubahan hanya akan terjadi jika kita berani melawan ketidakadilan yang telah lama berlangsung.
Karya: Wayan Jengki Sunarta
Biodata Wayan Jengki Sunarta:
- Wayan Jengki Sunarta lahir pada tanggal 22 Juni 1975 di Denpasar, Bali, Indonesia.