Puisi: Museum dalam Kepala (Karya Esha Tegar Putra)

Puisi "Museum dalam Kepala" karya Esha Tegar Putra menggambarkan bagaimana modernisasi dan urbanisasi telah mengubah lanskap alam menjadi beton dan ..
Museum dalam Kepala
untuk Luh Gede Saraswati

Tapi pagi itu ia tidak lagi memandang ke luar jendela
tidak ada harum rumpun pandan basah
perahu-perahu dari patahan kesturi
atau jatuhan daun kamboja
dilajukan pada ganih aliran air bandar
tidak ada
dan pagi itu ia tidak lagi memandang ke luar jendela.

Ia picingkan mata
menghimpun derai terakota
pecahan pualam pada tiang gedung
retakan dinding rumah dan relief bertanggalan
ia membayangkan beton-beton terus ditanam
jauh ke kedalaman tanah
tangga-tangga terus dipasak
melingkar dan meninggi, melingkar dan terus meninggi.

“Kota adalah sajak yang belum selesai,”sebaris kalimat
pernah ia ukir dengan paku pada tubir dipan.

Tapi bisa jadi kota adalah sajak yang tidak pernah selesai
tidak akan pernah tunai.

Dan pagi itu ia tidak lagi memandang ke luar jendela
sebab di luar barangkali perahu-perahu dari patahan kesturi
atau jatuhan kamboja tua
telah terbenam dalam selokan berair hitam.

Terus ia picingkan mata
seakan sebuah museum sedang dirancang dalam kepala
museum yang menghimpun doa pengharapan
pada air, pohon, dan bunga-bunga:
pattram puspam phalam puspam phalam toyam
yome bhaktya prayaccati
tad aham bhaktyu pakrtam
asnami prayatat manah….*

Jakarta, 2015

Catatan:
*) Bhagawadgita, Sloka 26, Bab IX, tentang persembahan berupa bunga, daun, buah-buahan dan air.

Analisis Puisi:

Puisi "Museum dalam Kepala" karya Esha Tegar Putra adalah sebuah refleksi mendalam tentang pergeseran nilai dan perubahan lingkungan, terutama di kota-kota besar. Puisi ini menggambarkan bagaimana modernisasi dan urbanisasi telah mengubah lanskap alam menjadi beton dan gedung, serta bagaimana kenangan dan harapan manusia tentang alam dan keindahan tradisional masih tertanam kuat dalam ingatan dan imajinasi mereka.

Tema dan Makna

  • Perubahan dan Kehilangan Alam: Puisi ini menggambarkan perubahan yang terjadi akibat urbanisasi. Frasa seperti "tidak ada harum rumpun pandan basah" dan "perahu-perahu dari patahan kesturi" menunjukkan hilangnya elemen alam yang dulunya ada. Pagi yang biasanya dipenuhi dengan aroma dan pemandangan alami sekarang telah digantikan oleh beton dan gedung-gedung tinggi.
  • Memori dan Imajinasi: Puisi ini juga mengeksplorasi tema memori dan imajinasi. Tokoh dalam puisi ini tidak lagi memandang ke luar jendela, tetapi memicingkan mata dan membayangkan sebuah museum di dalam kepalanya. Ini mencerminkan bagaimana manusia mencoba untuk mempertahankan kenangan dan nilai-nilai tradisional di tengah-tengah perubahan yang cepat.
  • Kota sebagai Sajak yang Tidak Pernah Selesai: Gagasan bahwa "kota adalah sajak yang belum selesai" atau "tidak akan pernah tunai" mencerminkan ketidakpastian dan ketidakkekalan perubahan kota. Kota terus berkembang dan berubah, namun tidak pernah mencapai bentuk akhir yang sempurna. Ini mencerminkan dinamika kehidupan urban yang selalu bergerak dan berubah.
  • Doa dan Harapan: Referensi pada Bhagawadgita, Sloka 26, Bab IX, tentang persembahan berupa bunga, daun, buah-buahan, dan air, menggarisbawahi tema doa dan harapan. Tokoh dalam puisi ini menghimpun doa pengharapan pada elemen alam yang sederhana dan murni, meskipun alam tersebut sudah hilang dari pandangan fisik.

Gaya dan Teknik Puitis

  • Imaji yang Kuat: Esha Tegar Putra menggunakan imaji yang kuat untuk menggambarkan pergeseran dari alam ke urbanisasi. Frasa seperti "pecahan pualam pada tiang gedung" dan "retakan dinding rumah dan relief bertanggalan" memberikan gambaran visual yang kuat tentang perubahan fisik yang terjadi di kota.
  • Repetisi: Pengulangan frasa "pagi itu ia tidak lagi memandang ke luar jendela" menekankan perubahan dalam kebiasaan dan pandangan tokoh. Repetisi ini juga memperkuat tema kehilangan dan pergeseran dari alam ke urbanisasi.
  • Metafora: Metafora kota sebagai sajak yang belum selesai atau tidak akan pernah selesai mencerminkan ketidakpastian dan ketidakkekalan perubahan kota. Ini juga mencerminkan kerinduan tokoh terhadap sesuatu yang lebih permanen dan bermakna.
  • Referensi pada Bhagawadgita: Referensi pada Bhagawadgita menambahkan dimensi spiritual dan reflektif pada puisi ini. Ini mencerminkan bagaimana manusia mencari makna dan harapan dalam doa dan tradisi, meskipun di tengah-tengah perubahan yang cepat dan kehilangan.
Puisi "Museum dalam Kepala" karya Esha Tegar Putra adalah sebuah refleksi yang mendalam tentang pergeseran dari alam ke urbanisasi, serta bagaimana kenangan dan harapan manusia tentang keindahan alam masih tertanam kuat dalam ingatan dan imajinasi mereka. Melalui penggunaan imaji yang kuat, repetisi, dan metafora, puisi ini berhasil menangkap kompleksitas perubahan kota dan kerinduan terhadap sesuatu yang lebih permanen dan bermakna. Referensi pada Bhagawadgita menambahkan dimensi spiritual dan reflektif, menjadikan puisi ini sebuah karya yang kaya akan makna dan emosi.

Esha Tegar Putra
Puisi: Museum dalam Kepala
Karya: Esha Tegar Putra

Biodata Esha Tegar Putra:
  • Wayan Jengki Sunarta lahir pada tanggal 29 April 1985 di Saniang Baka, Kabupaten Solok, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.