Berjoged di Atas Titian Lapuk
Pulang dari sebuah perang,
Badrul Mustafa menemukan
Sebatang pohon kelapa
Tumbuh di dalam rumahnya,
“Katakan padaku,
Utusan dari abad berapa
Yang menanammu di sini?”
Ia bertanya
Pada pohon kelapa itu.
Tak ada jawaban.
“Atau aku harus menjadi
Seorang Padri tak berbini
Yang pedang bawaannya
Gampang berdiri sendiri,
Lantas membuatmu
Merasa ditebang
Berkali-kali?”
Pohon kelapa itu
Masih saja bungkam.
“Atau aku mesti menjadi
Pewaris tunggal dari
Datuk Nan Maraso Ebat Surang
Lantas menebas
Setiap buah kelapa
Yang baru bertunas?”
Tak ada jawaban.
Badrul kini menggoreskan pedangnya
Pada batang kelapa itu –
Memberikan sepasang mata,
Sebuah relief untuk tatapan kosong,
Dan senyum yang terlalu lebar.
“Sekarang,
Bicaralah padaku,” katanya.
Pohon kelapa itu tetap saja
Diam.
Badrul kembali menggoreskan pedangnya,
Memberikan beberapa tanda
Yang maksudnya:
Aku tak mendengarmu!
“Baiklah, baiklah,”
Kata Badrul,
“Kuberikan sepasang
Telinga sederhana untukmu.”
Pohon kelapa itu
Tetap tak mengatakan apa-apa
Meski Badrul Mustafa
Sudah berkali-kali membisikkan
Sebait sajak lama,
Dalam versinya sendiri,
Sebisa mungkin,
“Sesuatu yang sudah Wau
Dan kuharap kau membikinnya jadi Alif…”
Ia kembali menggoreskan pedangnya.
“Aku akan menyiksamu sepanjang hari,”
Ancam Badrul,
“Sampai kau mencintaiku.”
Pauh, 2015
Puisi: Berjoged di Atas Titian Lapuk
Karya: Heru Joni Putra