Puisi: Baleendah, Bandung Selatan (Karya Wayan Jengki Sunarta)

Puisi "Baleendah, Bandung Selatan" karya Wayan Jengki Sunarta menggambarkan perjalanan emosional yang kaya makna menuju Baleendah, wilayah di Bandung.
Baleendah, Bandung Selatan

jalan lempang ini seperti kepayang
membayangkan wajah ibumu
yang membias di kedalaman jiwaku

tangan mungil mendekap erat pinggang
hangat tubuhmu merambati punggung
detak jantungku makin kencang
seiring laju motor, riuh kendaraan,
udara berdebu, dan ladang-ladang gersang

"pelan-pelan saja
sebentar lagi kita sampai, sayang," bisikmu
seakan meredam kecamuk jiwaku

sungai Citarum menganga
memamerkan serakan sampah
dan genangan-genangan air keruh
siapa menduga suatu ketika
meluap dan merendam perkampungan

seleret gunung lembut menggoda mataku
terhampar sawah yang hampir rampung
menjelma pemukiman kaum urban
dan dangau-dangau kumuh
perlahan ditinggalkan petani

motor terus melaju
makin berdebar jiwaku
akhirnya, tiba di Baleendah
tiba di pintu rumahmu rindu pun meleleh
membasahi sendu wajah ibu.

September, 2013

Analisis Puisi:

Puisi "Baleendah, Bandung Selatan" karya Wayan Jengki Sunarta menggambarkan perjalanan emosional yang kaya makna menuju Baleendah, wilayah di Bandung Selatan. Dengan menggambarkan suasana sekitar yang diwarnai pertemuan antara alam dan perkembangan kota, Sunarta menghadirkan nuansa perasaan rindu, nostalgia, dan keprihatinan terhadap perubahan lingkungan. Setiap bait dalam puisi ini menggambarkan pemandangan yang tidak hanya dilihat, tetapi dirasakan hingga ke kedalaman jiwa, yang menjadikan perjalanan fisik ini sebagai perenungan hidup dan perubahan zaman.

Perjalanan Fisik dan Emosional: Rindu yang Tak Terucapkan

Puisi ini dibuka dengan perjalanan di jalan yang “lempang” atau lurus, namun membawa penyair pada rindu akan sosok sang ibu. Kalimat "jalan lempang ini seperti kepayang, membayangkan wajah ibumu" menciptakan suasana sentimental, seolah-olah perjalanan ini penuh dengan kehangatan dan rasa ingin segera tiba. Frasa “membias di kedalaman jiwaku” menandakan bahwa kenangan dan kehadiran sang ibu menjadi sumber kedamaian dan kerinduan yang dirasakan mendalam.

Kenangan Hangat: Dekapan dan Laju Kehidupan

Bait kedua dari puisi ini menampilkan kehangatan dan kenyamanan yang dihadirkan melalui pelukan dan kehadiran seseorang yang istimewa, tampaknya seorang anak atau orang terkasih yang menjadi sumber kekuatan bagi penyair. Dengan “tangan mungil mendekap erat pinggang,” perjalanan yang terasa berat menjadi lebih ringan. Kehadiran sosok ini memberikan ketenangan meskipun kondisi sekitar tak selalu ramah—udara berdebu, ladang-ladang gersang, dan riuh kendaraan. Kata-kata yang dipilih Sunarta menyiratkan bahwa kehidupan di Baleendah, meski penuh tantangan, selalu ada kehangatan dalam hubungan antar-manusia yang menjaga keseimbangan jiwa.

Lanskap Baleendah: Potret Alam yang Tergerus

Sunarta membawa pembaca menelusuri keindahan alam yang berangsur hilang. “Sungai Citarum menganga, memamerkan serakan sampah” menciptakan citra lingkungan yang terabaikan, terutama sungai Citarum yang terkenal tercemar. Penggunaan kata “menganga” dan “genangan air keruh” menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan tidak hanya sekadar terjadi, tetapi seperti luka menganga yang tampak nyata di hadapan mata. Sungai yang dulunya bersih dan hidup kini menjadi gambaran kontras antara masa lalu yang asri dan masa kini yang penuh polusi.

Transformasi Sawah dan Pergeseran Ekologis

Di bagian berikutnya, Sunarta menggambarkan bagaimana “seleret gunung” dan “sawah yang hampir rampung” kini terancam oleh perumahan kaum urban dan dangau-dangau kumuh. Gambaran ini memberikan ironi antara modernisasi dan hilangnya tanah pertanian, yang dulunya menjadi mata pencaharian petani lokal. Dalam puisinya, “perlahan ditinggalkan petani” mengisyaratkan pergeseran sosial dan ekologis, di mana keindahan alam semakin terpinggirkan oleh perkembangan kota yang menjadikan petani kehilangan ruang untuk bertani.

Baleendah sebagai Tujuan Akhir: Penghormatan pada Ibu

Pada akhir puisi, Sunarta mengarahkan perjalanan penyair tiba di Baleendah, yaitu tempat yang tidak hanya fisik tetapi juga simbolis bagi sang penyair. “Akhirnya tiba di Baleendah, tiba di pintu rumahmu rindu pun meleleh” menunjukkan bagaimana kerinduan yang terpendam akhirnya menemukan pelampiasannya. Baleendah menjadi tempat penyair bisa merasakan kedekatan dengan ibunya, meskipun mungkin hanya dalam kenangan.

Tema Besar: Kehidupan, Kerinduan, dan Perubahan Lingkungan

Melalui puisi Baleendah, Bandung Selatan, Wayan Jengki Sunarta mengangkat berbagai tema besar. Di satu sisi, ada kehangatan dan rasa rindu yang ditujukan pada sosok ibu, menunjukkan hubungan yang akrab dan penuh cinta. Di sisi lain, ada keprihatinan mendalam terhadap degradasi lingkungan yang terjadi di sekitar Bandung Selatan. Puisi ini mengajak kita merenungkan betapa perkembangan modern sering kali harus dibayar mahal dengan hilangnya keindahan dan keharmonisan alam.

Dengan bahasa yang puitis dan penuh emosi, puisi Baleendah, Bandung Selatan mengajak kita untuk tidak hanya melihat perubahan secara fisik, tetapi juga merasakannya dalam hati. Perjalanan dalam puisi ini adalah perjalanan jiwa yang melibatkan refleksi tentang cinta, hubungan, dan dampak modernisasi terhadap lingkungan yang kita cintai. Karya ini menunjukkan bagaimana sebuah kota kecil seperti Baleendah bisa menjadi simbol dari pergeseran sosial dan lingkungan yang jauh lebih luas.

Wayan Jengki Sunarta
Puisi: Baleendah, Bandung Selatan
Karya: Wayan Jengki Sunarta

Biodata Wayan Jengki Sunarta:
  • Wayan Jengki Sunarta lahir pada tanggal 22 Juni 1975 di Denpasar, Bali, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.