Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sajak Pagi Hari (Karya Frans Nadjira)

Puisi "Sajak Pagi Hari" karya Frans Nadjira merupakan perenungan mendalam tentang kehidupan manusia, alam, dan eksistensi. Melalui gambaran ....
Sajak Pagi Hari


Kubaca koran pagi yang kenyang
Bangunan kristal tembus cahaya
Bangunan sisi gelap manusia
mengisi perut koran pagi.
Dia menguap       Dia mandi di sungai keruh
yang mengental sejak semalam
Matahari pagi telanjang di langit.

Seorang sopir mendengkur di kursi taman
setelah membaca koran.
Dalam mimpinya ia bertemu malaikat kata-kata:
"Manusia bukan tumpukan sampah berbau sengit
Panas berasap menjijikkan.
Aku mual melihat perut buncit koran-koran."

Sopir menggeliat Kursi taman menggeliat di bawah
cahaya tajam               matahari pagi.
Manusia bicara kepada gelap dan terang
Sebuah garis tipis. Garis di antara gelap terang
Tempat manusia beranak pinak
Bergelut dengan hidupnya
Tempat manusia bicara karena harus bicara.

Berkebun di celah jemari ketika malam tiba
Kebun bunga dengan pucuk-pucuk gelombangnya
Membangun dermaga di telapak tangan
Di dahi bintang-bintang
Ketika langit tak henti bergerak sepanjang malam
Ketika lolong anjing membangunkan angin.
Dari wajah dermaga, mencair cahaya bintang-bintang
Lari meninggalkan hutan-hutan gemerlapnya
Gemerlap kijang-kijang air, camar-camar marmer
Gelombang asap bersolek jadi awan.

Manusia bicara karena lidahnya
tersayat sembilu batu
Menjerit di antara pori-pori tanah Tanah-tanah kering.
Sunyi menjerit di larut malam
Dinding-dinding sunyi terbenam dalam gelap
Terbangun dari tidur yang dikawal mimpi buruk.

Sutardji Calzoum Bachri melangkah oleng
di ruang keberangkatan
Di wajahnya mengalir "sungai yang paling derai."
Ia menyambangi Chairil Anwar di pojok kedai kopi.
Chairil bertanya: "Adakah jauh perjalanan ini?"
Sepi membuka selimut air mata perpisahan di pintu masuk.

Mereka melihat wajah-wajah hitam
Menunggu di pintu keluar.
Manusia masuk keluar dari gua-gua purba
Gua-gua tak berpintu tak berjendela  
Dapurnya tergantung di langit.


Sepasang mata menyala
Anjing liar menyalak di tengah hutan.
Manusia melompat dari nyala api Manusia lahir di badai
Benua yang tak memiliki gunung
Tak memiliki laut Tak memiliki langit
Matahari tak henti berkedip Siang jadi burung
Malam terbenam dalam perut gemuruh angin.

Maka ketika ketika Octavio Paz menutupi wajahnya
dari silau lampu neon
Pablo Neruda berlari ke arahnya
Lari sambil memadamkan lampu-lampunya.
Ia berkata: "Di negeriku ada sebuah gunung
Di negeriku ada sebuah sungai."
Sungai melepuh di luka pengemis.
Sutardji, Chairil, Octavio, Neruda, membacakan
sajak-sajaknya di sebuah taman di tengah laut.
Sajak-sajak lara Sajak-sajak palung
Sajak-sajak pusar air Sajak-sajak air mata.
Pasir menghambur ke udara Batu tumbuh di udara
Semua serpih berwarna emas Bulan warna emas
Mereka meneguk warna keemasan itu
Dengan mata melebar menyapa pulau-pulau
Layar-layar sembilu tertancap di puncak-puncak ombak.


Pagi terbangun dari tidurnya
Menyapa koran yang terjepit di celah pagar
Kata-kata meringis di halaman pertama:
"Mereka mengiris nadi kami
Dengan sembilu derita manusia."
Pucuk-pucuk ilalang terhunus di lambung orang miskin
Santapan koran pagi Lalapan koran pagi.
Bunga rumput terbang ke bukit-bukit langit
Tumbuh jadi awan Kecambah air Kecambah hujan
Jadi salju di kutub utara
Di puncak gunung hamil bara api.

Ketika lahar melaksanakan takdirnya
Menjalani kehendak bebasnya
Lereng-lereng terkejut mengetahui
Bahwa ada bara bersembunyi di bawah selimut salju.
Batu-batu matang Bara-bara pijar
Mabuk meneguk warna-warna menyala
Koran pagi bersorak Memamah dengan lahap.
Kematian bertabur bunga
Bunga-bunga bertumpuk di halaman satu.

Rumah-rumah menghitam batu
Semua jadi hantu
Rahim-rahim Pohon-pohon Awan
Semua memukul dadanya
Tidur mengeras di kambium mimpi buruk.
Seorang gadis membuka kelopak bunga
Sungai membelah dirinya jadi warna-warna pucat.

Pagi mengerti hujan menetes di bulan Desember
Laut menetas di sarang-sarang gelombang
Menenggelamkan kapal-kapal
Perahu nelayan Burung-burung camar.
Seseorang meratap kehilangan sahabat
Hujan berwarna anggur Pantai menangis pilu
Berlutut di kaki ombak perkasa.
Di saat itulah wajahmu pasi
Berubah pucat ketika tahu
Bahwa cuaca mencuci taring hiu.

Di saat itulah orang-orang kudus
Mengumbar kata penghiburan atas nama dewa-dewa
Namamu Namaku Bayi-bayi tak bernama
Lidah berputar seperti kincir angin
Baling-baling kapal Cermin tak berbingkai
Retak seribu seperti pohon tua rebah di sungai.
Kau melepas kuda-kuda di malam berbadai
Kau yang memanggil namaku
Mengukirnya di kelopak bunga
Bunga-bunga dari pohon menit Pohon jam
Pohon bulan Tahun tak pernah berubah wajah.

Manusia yang berubah
Cuaca dengan perangai buruknya.
Kita menjahit baju anak-anak
Lahir dari rahim hangat
Dari api yang membakar hening pagi.
Kemudian takdir menyergap
Tanpa ampun memilin seperti tetes lilin
Jatuh ke lantai dingin.

Kau bilang tidak apa-apa karena manusia kuat
Tapi pancaran wajahmu yang letih
Tampak kesepian Tulang rahangmu lepas
Tertelan gelap malam di lorong-lorong becek.
Tak tampak bintang-bintang
Kau rindu kilaunya Silaunya Kerlipnya
Yang membawa hangat abu dapur
Menjadi milikmu
Yang kau siulkan di saat menjelang tidur.

Kau ajak aku memandang garis panjang cakrawala
Mendengar detak jantung rumah-rumah
Merangkai mimpi-mimpi esok hari.
Kau ajak aku berpikir baik
Melepas dan melupakan hari-hari yang berlalu.
Meminta maaf dan memaafkan
Meminta dan memberi
Menghapus tinta tumpah di wajah pagi.

Kau ajak aku menari tanpa lelah
Kau ajak aku melihat gerak pergantian musim
Kau bilang tak ada yang boleh luput
Tak ada yang sia-sia Kau bertanya:
"Berapa juta tabung hutang oksigen kita kepada semesta?"
Kujawab: "Aku hanya tahu bahwa oksigen tidak berwarna,
tidak berbau, tidak berasa seperti telapak tanganmu.
Dirimu, diriku berasal dari komponen debu
Unsur dengan nomor atom bermilyar-milyar."

Aku hanya tahu bahwa kau dilahirkan
Di saat bulan purnama Di saat manusia saling merangkul
Di pusat kebun bunga Kebun bungamu Kebun bungaku
Kebun bunga manusia yang menyambut sorak-sorai
Datangnya warna-warna pagi
Seperti warna pelangi Tangga-tangga cahaya
Tangga-tangga matahari
Tangga-tangga yang menghubungkan tepi langit
Yang menghubungkan perbedaan warna pelangi.


Analisis Puisi:
Puisi "Sajak Pagi Hari" karya Frans Nadjira merupakan perenungan mendalam tentang kehidupan manusia, alam, dan eksistensi. Melalui gambaran-gambaran kuat dan bahasa metaforis yang kaya, penyair mengajak pembaca untuk merenungkan tentang hakikat keberadaan, perubahan, dan makna dalam hidup.

Gambaran Alam dan Kehidupan: Puisi ini menggambarkan alam dan kehidupan manusia dengan menggunakan banyak metafora dan gambaran alamiah. Bangunan kristal, matahari pagi, sungai keruh, dan laut melambangkan elemen-elemen alam yang menyatu dengan perenungan manusia tentang eksistensinya.

Kontras Antara Manusia dan Alam: Penyair menciptakan kontras antara keheningan alam dengan kebisingan dan kekacauan manusia. Meskipun alam memiliki ketenangan dan keselarasan, manusia mengalami perjuangan dalam menghadapi kenyataan hidup yang penuh tantangan.

Pertanyaan Eksistensial: Puisi ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang arti hidup dan kematian. Penyair merenungkan perbedaan antara manusia dan alam, serta bagaimana manusia mencari makna di tengah kompleksitas hidup.

Perubahan dan Transformasi: Puisi ini menggambarkan perubahan dan transformasi dalam kehidupan manusia dan alam. Gambaran tentang matahari terbit, berkebun di malam hari, dan lahirnya bunga-bunga menggambarkan siklus alam yang terus berubah, sejalan dengan perjalanan manusia.

Hubungan Antarmanusia: Puisi ini menggambarkan hubungan antara manusia, seperti ketika dua tokoh sastrawan, Sutardji Calzoum Bachri dan Chairil Anwar, bertemu dalam situasi simbolis. Pertemuan ini mungkin mewakili pertukaran gagasan, inspirasi, atau perenungan tentang hidup dan sastra.

Simbolisme dan Metafora: Penyair menggunakan simbolisme dan metafora yang kuat dalam puisi ini. Bunga, sungai, laut, langit, dan matahari menjadi simbol-simbol kompleks yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan dan pengalaman manusia.

Pencarian Makna: Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan pencarian makna dan tujuan dalam hidup. Penyair berbicara tentang penerimaan, pengampunan, dan penemuan makna dalam hubungan manusia dengan alam dan antara sesama manusia.

Puisi "Sajak Pagi Hari" karya Frans Nadjira adalah puisi yang mengajak pembaca untuk merenungkan tentang arti hidup, hubungan antara manusia dan alam, serta eksistensi manusia dalam konteks yang lebih luas. Melalui penggambaran alam dan perenungan manusia, puisi ini membangkitkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang mendalam dan mengajak pembaca untuk merenungkan kompleksitas kehidupan.

Frans Nadjira
Puisi: Sajak Pagi Hari
Karya: Frans Nadjira

Biodata Frans Nadjira
  1. Frans Nadjira lahir pada tanggal 3 September 1942 di Makassar, Sulawesi Selatan.
© Sepenuhnya. All rights reserved.