Puisi: Perjalanan (Karya Harijadi S. Hartowardojo)

Puisi "Perjalanan" karya Harijadi S. Hartowardojo menggambarkan perjalanan spiritual dan fisik yang penuh dengan tantangan, kemenangan, kekalahan, ...
Perjalanan

Motto:
Sebagai darah dari jantung ia mengalir melalui
urat nadi dan pembuluh-pembuluh darah ke seluruh
tubuh, kemudian bertemu kembali di urat nadi dan
mengalir bersama-sama ke jantung, demikianlah kisah
ini melalui jalan masing-masing dan kemudian menemui
dirinya dalam gelora maha besar.

(Buat Shita)

1//
Semula daun-daun masih hijau memayung
mata air bening menari muncul
lahir dari kandungan pasir yang kering mati
satu dusun, domba-domba, gembala dan setumpuk rumput

onta mengalai lela menanti
merenungi pohon korma
merenungi rumput dan air
tahu nanti maut menanti
di padang kering tidak berkiblat

Tidak sadar musafir enak bersenda
gadis dusun menjemput air
hiasan mata air
melenggang lela memabukkan mata
dihirup panas yang tajam menusuk
dikipasi daun kurma
diusap angin yang lembut sejuk

2//
dua manusia bertumbuk pandang
seorang tercengang gadis menghela tantang
hujan merintik
lumut merayap dari spora terbasahi
memanjat batang menyalut menyelimut
meniti ke puncak dalam irama rintikan
menetap jatuh dari langit yang dalam

angin panjang meniup datang
dari kejauhan yang hilang jejak
hawa kering melekap ke lumut riang meniti
mendinding dahaga menguasa atas puas
hijau yang memanjat tumbuh hidup
tunduk meliuk batang meruncing berkembang pucuk
tumbang tenggelam ke mata-air
tempat sumber bening menari muncul

gembala menangisi, domba mengembik meningkahi
kabar tersebar menyeri hati
gema ngeri menggaung dari karang ke karang
menusuk-nusuk anak telinga
menghujam ke hati membelah dada

hyena mengaum di jauhan
mencium mayat berkaparan
hidung mencocok angin kering bertingkah
berputing menggunting tajam bintang
bercahaya sejuk dalam malam
tidak berwatas mendalam kepekatan
lincah beriak berlompatan mengerjap
hyena menyergap pesta senyap

3//
Fajar merah menangkup ke pasir lepas
banjir darah membasahi tabir mendalam terkembang
kabar tersiar tugu telah terpaku
bertulang menjuju ke langit biru
berdaun mendung rendah menggantung
disoraki gonggong hyena
meletup-letup mengatasi deru panas kering

4//
Jubahnya berkibar menyapu debu
menahan kaki lemah melangkah
dan berjongkok dia lemah menyerah
deru yang datang segera diseru:
“quo vadis. Dominus?”

“Ke Roma, Petrus, gema halus tanya berjawab
menggembalakan dombaku kautinggal pergi
sendiri tidak berpandu tidak bertali
berdepan maut nganga harimau:
Nero mabuk darah, Petrus,
Roma kan dibakar raja sendiri”

Berjongkok dia mengisak menyambut bisik perintah:
“Kekasih, kembalilah, Tuan, biar
hamba menyerah ke salib bersama dombamu
membukakan pintu rumah Bapamu”

(Buat Paman)

5//
Tiba di Pantai Acoka menetakkan jembia
bayi bertangisan, ibu mati karena pelukan
bapa hilang tiada lagi pengasuh
asap mendesak naik ke langit
bara menumpuk mengarang jadi reruntuk
Asandhimitra menangis dalam kekaburan gema
Acoka mabuk kemenangan yang menakhlukkan
Tissa pendeta berdoa memanggil Buddha
Tishyaraksita tergelak haus darah menggelegak kemuka:

“Ayun pedang, tuanku, ratakan dunia
Tjutju Tjandragupta tiada lawannya
Iskandar yang besar bergugur berani, bersimpuh
Tjandragupta dinasti abadi!”

Senja melarut tenang dan bulan bertahta
langit dingin, awan tiada, bintang melirik cumbu
angin mengusap
angin membelai
Buddha bersabda: “Tenteram lembah dan ngarai
diam tangis tahan sedan, damai mengembang
Acoka, mari ananda, bercium pangkuku
bersatu kasih di hati bumi”.

Acoka terlena dalam mimpi bertitah:
“Munda, kerahkan prajurit bersenjata cinta
tindas perampok dalam sabda Gautama
gali perigi tanam bodhi payungi jalan!
Tissa, kenakan jubah pendeta ke tubuh hamba
pendeta dan raja bersatu di kaki Buddha.
Assandhimitra, mari dinda duduki tahta
kasihmu yang setia jadilah salju Girisangkar”

Tishyaraksita galak merentak
fajar merah menangkup puing berasap

6//
Pendeta muda
– anak dunia
bersimpuh depan arca
membakar dupa minta tanda
ingin gerak
jadi jentera
kehendak arca berhala bisu

Arca menyeringai
mengisap asap
wangi setanggi
tangan patah sebelah
gigi panjang menjulur bibir
hidung menonjol menyolok langit
bisu

Deru lagu seram menyerbu
mengiringi setanggi asap meninggi
memeluk arca
pujaan pendeta
bisu

7//
asyik pendeta menatap arca
kejam menantang
bertahta

gempa mengayun dunia
candi runtuh tercerai
arca rebah terpatah-patah
gunung gugur tanah meluncur
pendeta pingsan berpeluk berhala

8//
di riba pagi
duduk nak muda
sangsi memandangi
rumah suci tinggal reruntuk
di batu berserakan

punggung gunung tinggal di atas
rumpil dirusak erosi
kuil tergelincir ke lembah rata
lakon dunia bermain di depan mata
pendeta silau, bimbang
tidak percaya dunia ada demikian rupa
dan arca pujaan, tuhan pahatan
diremuk alam semena-mena

dunia keliling sibuk bergerak
pendeta lena bersangsi hati
dilarikan hari

(Gorgona)

9//
Pada horison muncul tanda baru
laut beriak disibak layar yang putih
di belakang mengiringi camar berkepak
diantar cahya merah senja perceraian
sinar penghabisan yang menari lincah di air
sekejab lelap

sinar merah terus bermain berpindah arah
berganti cuaca yang lembut merayu sutera biru
purnama mengintip ditirai urai membelai sayang
tiba ke pandang
bulan lengkap asri berdandan
mimpi bermain pada angin mati asal.

ombak naik geladak terus terserak
meninggalkan satu tubuh menggeletak
gadis manis, anak ombak
senyum meleret pada muka masih terlena
kelasi terpaku
jurumudi terpatah hati
bernafsu
gemuruh teriak dan jerit mengalun di kapal tua

sepoi angin bernafas lewat mencium geladak
kabut tipis tertinggal lambat melawat
beralih rupa tiba-tiba
naga menjulur lidah berekor di langit
api berkobar membakar kapal
jeritan ngeri menggelincir ke langit
…………………………………………………..
mimpi berakhir
kapal diserahkan ke angin luak

10//
jalan bertemu dan searah ke muka
pagar-hidup rimbun meriap di pinggir
memayung jalan becek sempit teduh
hawa dingin menyergap tulang

jauh di belakang di bawah sinar muram
batu-batu nisan menatap pejalan gentar melangkah
memasuki pagi
sesudah malam panjang tembus dirangkaki
ombak tersibak mencapai pantai
pelabuhan lama menanti

(Selamat Tinggal)

11//

Roda menggelinding di atas landasan
rumah-rumah berpindah jejak
tangan melambai
teriak bersatu dalam deru mesin dan ciut angin
sebentar berkisar putar
mesin mengeluh
melepas nafas berat menindih
dan lepas lepaslah bumi
lepas jatuh ke bawah
mega melambai
langit tersenyum membuka diri
hati ikut mendekap
terbelah
di tanah setengah murni berjejak

12//
Lautku dulu, laut yang kukenal
kadang tenang menanti
tempat kasih dulu terpaut
mendatar terhampar biru kini
dan kapal rusak menungging buritan
di benam muatan
kelasi dan jurumudi
rindu benam yang menyeret kapal
berayun ke dasar

Langit biru dan laut biru
mana pula yang biru
berani bertanding warna
jadi cermin pemantul cahaya
peminjam warna
siapa empunya:
langit, laut atau aku?

13//
Langit kosong
aku menembus
keluasan yang mati
aku mengisi
berani berdiri tiada alas
selagi derum kuasa meriuh
mengganggu mimpi

mengganggu semedi
di tubir getar dekat terhenti
sebab aku hakekat
diam bergerak memutar saat.

Sumber: Zenith (15 Januari 1951)

Analisis Puisi:

Puisi "Perjalanan" karya Harijadi S. Hartowardojo adalah karya yang kaya akan makna dan penuh dengan simbolisme. Menggambarkan perjalanan spiritual dan fisik yang penuh dengan tantangan, puisi ini membawa pembaca melalui berbagai fase kehidupan dan pengalaman yang berbeda.

Struktur dan Gaya Bahasa

  • Struktur Berbingkai: Puisi ini terbagi menjadi beberapa bagian, masing-masing dengan narasi dan gambarannya sendiri. Struktur berbingkai ini memungkinkan pembaca untuk mengikuti perjalanan yang kompleks dan berlapis-lapis.
  • Penggunaan Simbolisme: Harijadi menggunakan banyak simbolisme untuk menggambarkan perjalanan hidup. Misalnya, daun hijau yang memayung mata air melambangkan awal kehidupan yang penuh harapan dan kesuburan. Hyena yang mengaum di kejauhan bisa melambangkan bahaya dan kematian yang selalu mengintai.
  • Bahasa yang Liris: Bahasa yang digunakan sangat liris dan kaya dengan imaji visual dan auditori. Deskripsi seperti "fajar merah menangkup ke pasir lepas" dan "banjir darah membasahi tabir mendalam terkembang" memberikan kesan visual yang kuat dan menggugah emosi pembaca.

Tema Utama

  • Perjalanan Spiritual dan Fisik: Tema utama dari puisi ini adalah perjalanan, baik spiritual maupun fisik. Setiap bagian menggambarkan fase berbeda dalam perjalanan ini, dari awal yang penuh harapan hingga tantangan yang dihadapi, dan akhirnya mencapai tujuan spiritual.
  • Kehidupan dan Kematian: Puisi ini juga mengeksplorasi tema kehidupan dan kematian. Misalnya, hyena yang mengaum di kejauhan melambangkan kematian yang selalu mengintai, sementara anak gadis yang menjemput air dan melenggang lela melambangkan kehidupan dan kebahagiaan.
  • Kemenangan dan Kekalahan: Bagian-bagian tertentu dari puisi ini menggambarkan kemenangan dan kekalahan dalam kehidupan. Misalnya, kemenangan Acoka yang mabuk kemenangan, namun kemudian menemukan kedamaian dalam ajaran Buddha, menggambarkan perjalanan dari kekuasaan dan ambisi menuju kedamaian dan kebijaksanaan.
Puisi "Perjalanan" karya Harijadi S. Hartowardojo adalah karya yang menggambarkan perjalanan hidup yang kompleks dan penuh dengan makna. Melalui penggunaan simbolisme yang kaya, bahasa liris, dan struktur yang berbingkai, Harijadi berhasil menggambarkan perjalanan spiritual dan fisik yang penuh dengan tantangan, kemenangan, kekalahan, dan akhirnya penyatuan dengan hakikat kehidupan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan perjalanan hidup mereka sendiri dan menemukan makna dalam setiap fase yang mereka lalui.

Harijadi S. Hartowardojo
Puisi: Perjalanan
Karya: Harijadi S. Hartowardojo

Biodata Harijadi S. Hartowardojo:
  • Harijadi S. Hartowardojo (nama lengkap: Harjadi Sulaiman Hartowardojo / EyD: Hariyadi Sulaiman Hartowardoyo) lahir pada tanggal 18 Maret 1930 di Desa Ngankruk Kidul, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, Indonesia.
  • Harijadi S. Hartowardojo meninggal dunia pada tanggal 9 April 1984 di Jakarta, Indonesia (dimakamkan di Boyolali, Jawa Tengah, Indonesia).
  • Harijadi S. Hartowardojo adalah salah satu Sastrawan Angkatan 1950-an.
© Sepenuhnya. All rights reserved.