Puisi: Pandangan Elang (Karya A. Muttaqin)

Puisi "Pandangan Elang" menggambarkan perbandingan antara perilaku binatang dan pesan yang ingin disampaikan oleh sang penyair kepada umat manusia.
Pandangan Elang

Bangsatlah para serigala yang mengajar perang
kepada kabilah-kabilah satwa di hutan sana.

Bangsatlah celeng-celeng yang mengajar rasa rakus
kepada sekalian satwa yang gampang mampus oleh lapar.

Telah kutinggal kubu-kubu burung itu melanglang ke padang pasir
supaya aku tahu rahasia gurun dan angin dan gunung dan lautan.

Kutempuh cara demikian lantaran aku ingin ketemu ilmu makan
yaitu makan sekadar ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang.

Singa dan ular telah uzlah ke goa-goa gelap supaya mereka
tahu rahasia cahaya yang membuat mata mereka tetap peka

pada warna dan rasa. Dari singa dan ular itu aku tahu, gajih
adalah bala yang membuat sayap dan kaki burung betah di tanah.

Mengapa burung-burung itu tak bersabar menunggu aku
pulang dari tualang panjang dan mengajarkan pada mereka

laku kura-kura tua yang telah menempuh banyak jalan
dan mengikhlaskan dagingnya untuk melunaskan puasaku?

Mereka malah bertarung antar-sesama bangsa burung dan
mengurung dendam yang dikandung sampai ke indung telur.

Tidak. Jangan diteruskan. Sungguh yang demikian itu adalah
aniaya bagi roh burung-burung yang merenung di pohon sidrah.

Apakah kalian ingin seperti burung unta yang berlari
dan terus berlarian sambil menyembunyikan kepala,

padahal, sebagai burung, kau ditetaskan untuk terbang
dan melihat lekuk-lekuk bumi dari ketinggian sana?

2016

Catatan:
Puisi alegoris ini diilhami "Musyawarah Burung" karya Fariduddin Attar, penyair sufi asal Persia di abad ke-12.

Analisis Puisi:

Puisi "Pandangan Elang" karya A. Muttaqin adalah sebuah puisi yang menggambarkan perbandingan antara perilaku binatang dan pesan yang ingin disampaikan oleh sang penyair kepada umat manusia.

Kritik terhadap Manusia: Puisi ini secara tersirat mengkritik perilaku manusia yang sering kali terjerumus dalam sifat-sifat buruk, seperti kekerasan, keserakahan, dan dendam. Melalui perumpamaan serigala dan celeng, penyair menyoroti bagaimana manusia sering kali belajar dari hal-hal yang tidak baik dari lingkungan sekitarnya.

Pengembaraan dan Pemahaman: Penyair menggambarkan perjalanan spiritualnya dengan metafora burung yang meninggalkan kubunya untuk belajar tentang kehidupan di luar sana. Ini mencerminkan tekad untuk memperluas pemahaman dan pengalaman, yang seringkali diabaikan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Kebijaksanaan dan Kesabaran: Dalam puisi ini, kura-kura tua dianggap sebagai simbol kebijaksanaan dan kesabaran. Penyair bertanya mengapa burung-burung tidak belajar dari kura-kura tua yang telah menempuh banyak perjalanan dan mengikhlaskan dagingnya untuk melunaskan puasanya. Ini menekankan pentingnya belajar dari pengalaman dan kearifan yang diperoleh dari masa lalu.

Peringatan terhadap Kemarahan dan Dendam: Penyair menegaskan bahwa dendam dan kemarahan hanya akan mengakibatkan penderitaan dan ketegangan dalam masyarakat, seperti yang terjadi antara bangsa burung dalam puisi. Pesan ini menekankan pentingnya perdamaian, toleransi, dan kebijaksanaan dalam hubungan antarmanusia.

Panggilan untuk Mencari Makna: Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang tujuan hidup dan makna kehidupan. Melalui perbandingan antara perilaku binatang dan manusia, penyair menyoroti pentingnya memiliki pandangan yang bijaksana dan mencari kebenaran dalam kehidupan.

Puisi "Pandangan Elang" adalah sebuah puisi yang menggugah untuk merenungkan perilaku manusia dan nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan metafora yang kuat dan bahasa yang mendalam, puisi ini menantang pembaca untuk introspeksi dan refleksi diri.

A. Muttaqin
Puisi: Pandangan Elang
Karya: A. Muttaqin

Biodata A. Muttaqin:
  • A. Muttaqin lahir pada tanggal 11 Maret 1983 di Gresik, Jawa Timur.
© Sepenuhnya. All rights reserved.