Puisi: Ngigau (Karya Frans Nadjira)

Puisi "Ngigau" karya Frans Nadjira menggambarkan ketegangan antara mimpi dan kenyataan melalui simbolisme yang kaya dan citraan yang kuat.
Ngigau

Gemerisik hujankah itu atau
sesuatu yang jahat mengintai
dari atap seng menaburkan pilu
mencabuti tali-tali transfusi?

aku tak senang cara kau memandangku
dan berniat bersembunyi di balik punggungku.

beri aku air, beri aku api
kuda liar dan kelewang para nabi.

lihat,
tanganku
bagai tanah
perawan-perawan menari di atasnya.
Uuff
ffuah!
lihat,
ringannya
melayang bagai kapas
menjadi biri-biri dan gembala-gembala
gembala-gembala tanah biri-biri kapas.

Aku tanah rohku kapas.

Sumber: Horison (Februari, 1973)

Analisis Puisi:

Puisi "Ngigau" karya Frans Nadjira adalah eksplorasi nyata tentang kesadaran, mimpi, dan kenyataan. Dengan menggunakan simbolisme dan citraan yang kuat, Nadjira membawa pembaca ke dalam dunia yang terdistorsi dan penuh dengan ketidakpastian.

Tema Utama: Mimpi dan Realitas

Tema utama puisi ini adalah kontras antara mimpi dan realitas, dengan latar belakang yang penuh ketegangan dan ketidakpastian. Judul "Ngigau" sendiri mengindikasikan keadaan antara sadar dan tidak sadar, antara mimpi buruk dan kenyataan yang meresahkan.

Struktur dan Gaya Bahasa

Puisi ini terdiri dari beberapa bagian yang terpisah oleh jeda visual, memberikan kesan fragmen-fragmen pikiran yang tidak terhubung secara langsung. Penggunaan gaya bahasa yang puitis dan simbolis menciptakan nuansa mimpi yang aneh dan misterius.

Simbolisme dan Citraan

  1. Gemerisik Hujan dan Atap Seng: Gemerisik hujan dapat diartikan sebagai suara yang menenangkan namun dalam konteks ini, dikaitkan dengan sesuatu yang jahat mengintai. Atap seng menaburkan pilu dan mencabuti tali-tali transfusi, menciptakan citraan yang mengganggu tentang kerentanan dan rasa sakit.
  2. Air dan Api: Permintaan untuk air dan api melambangkan kebutuhan akan kehidupan (air) dan transformasi atau kekuatan (api). Ini juga bisa diartikan sebagai keinginan untuk keseimbangan antara elemen yang berlawanan.
  3. Kuda Liar dan Kelewang Para Nabi: Kuda liar melambangkan kebebasan dan kekuatan yang tidak terkendali, sementara kelewang para nabi bisa merujuk pada kebijaksanaan dan kekerasan dalam ajaran spiritual. Kombinasi ini menunjukkan konflik antara kebebasan dan kendali spiritual.
  4. Tanah dan Kapas: Tangan yang bagai tanah melambangkan hubungan dengan bumi dan kehidupan material, sementara roh yang kapas melambangkan kelembutan dan ketidakberwujudan. Ini menunjukkan dualitas antara tubuh fisik dan jiwa yang etereal.

Narasi dan Emosi

Puisi ini mencerminkan perjalanan emosional yang intens, mulai dari rasa takut dan ketidakpastian hingga permohonan untuk keseimbangan dan pengakuan akan dualitas dalam diri. Kalimat seperti "aku tak senang cara kau memandangku" mencerminkan ketidaknyamanan dan ketakutan, sementara permintaan untuk air dan api menunjukkan keputusasaan dan kebutuhan mendasar.

Puisi "Ngigau" karya Frans Nadjira adalah puisi yang menggambarkan ketegangan antara mimpi dan kenyataan melalui simbolisme yang kaya dan citraan yang kuat. Dengan gaya bahasa yang fragmentaris dan surreal, puisi ini menciptakan dunia yang penuh dengan ketidakpastian dan kerentanan. Melalui permohonan akan elemen dasar seperti air dan api, serta simbolisme tanah dan kapas, Nadjira mengajak pembaca untuk merenungkan dualitas dalam diri manusia dan hubungan antara dunia fisik dan spiritual.

Puisi ini adalah refleksi mendalam tentang kesadaran dan mimpi, menantang pembaca untuk mempertanyakan batas-batas antara realitas dan imajinasi. Dengan cara ini, Nadjira berhasil menciptakan karya yang memprovokasi pemikiran dan emosi, sekaligus memberikan wawasan tentang kondisi manusia yang kompleks dan sering kali penuh ketidakpastian.

Frans Nadjira
Puisi: Ngigau
Karya: Frans Nadjira

Biodata Frans Nadjira:
  • Frans Nadjira lahir pada tanggal 3 September 1942 di Makassar, Sulawesi Selatan.
© Sepenuhnya. All rights reserved.