Ada yang baru nih dari Songmont! Tas Elegan dengan Kualitas Terbaik

Puisi: Lereng Senja (Karya Harijadi S. Hartowardojo)

Puisi "Lereng Senja" karya Harijadi S. Hartowardojo menyampaikan pesan tentang perjuangan, harapan, ketidakpastian, dan keindahan alam yang sering ...
Lereng Senja (I)
(Tjoet, Seseorang telah pergi memahat patung di atas karang)

Hujan sudah turun, kawan, hujan sudah turun
Panas yang kering tiada lagi kuasa
Memuaskan hausnya dan menelan air berluapan
Menggenangi sawah kita
Sawah yang akan dibajak ditanami
Sawah yang coklat hitam berbau tanah baru dibalik
Menjangkau hidup berbungkal-bungkal

Hidup menanamkan akarnya mengembangkan
Daun muda tunas baru bersemi kuning menghijau
Di tengah lumpur
Serta tangan petani penuh kasih yang minta
Kasih padi pada kelanjutan
Kasih yang meresap pelan ke hati dunia
Di tengah perceraian matahari dan bulan
Bertemu cahaya dalam endapan kristal
Bambu meliuk menyanyi

Kita juga menurun, kawan, kita juga menurun
cocok hidung kerbaumu dan bawa
Biar bajak kudukung melalui halaman kita
Sementara pintu pagar lama menunggu dibuka
Engkau lewat

Bila mata bajak sudah menemu tanah
Bau segar akan menghawa di dada
Dan pematang selesai kautampal, peluk kerbaumu
Pulang. Kita melenggang sambil berdendang
Esok perempuan menggantikan kita menyebarkan
Benih-benih di tanah yang telah kita genangi
Air dan melumpur
Aku akan mengasah sabit dan cangkul –
mendengarkan bambu berlagu meliuk-liuk
Hati telah bertemu hati dan asmara datang
Bertimbang tenggang
Berjauhan pandang
– Tak guna! Tak guna!


Lereng Senja (II)

Gunung di depan layar biru kembar menjulang
Asal datang gempa berulang kali
Seminggu ini berpuncak merah menyala
Menyembur api malam hari
Semurka semesta
Siang murung berselimut mendung
Mengancam

Menanti letup
Senja melebar senyap gelisah

Ibu tiada rela melepas suami kerja
Anak-anak libur panjang demi negeri
Nenek menghitung-hitung manik-manik tasbih dan berdoa
Bibir komat-kamit seirama deburan jantung

Demi Allah, bumi akan retak hingga rengkah terbelah
Api melaut nyala pada garis celah
Tiada bangkai busuk menyebar bau
Melelehkan nanah di dalam rabu
Sawah dan tanaman kita akan musnah
Di langgar lahar yang melanda rumah kita
Lumpur panas gelisah pijar
Menggenang di mana ada
Mangsa dan noda

Lereng Senja (III)

Laki dan perempuan yang tinggal di pinggir telaga
Menemu muka pada air tiap tenang mengaca

Datang malam purnama
Segala bisa indah mengada
Dan di atas batu tengah teratai
Lelaki menanti kail di telan ikan lupa bahagia
Semalam suntuk ikan dan manusia asyik berbalasan
Dan teratai membuka diri

Pagi-pagi burung telah terkurung
Dalam sangkar lebar berkisi-kisi
Terpatah-patah sayap dipukul jerajak
Melihat tangan mengulur cumbu
Dan secubit gula dan segenggam padi
Penjinak burung liar ke tangan memberi
Dan bila nanti pintu dibiarkan membuka
Tiada ia tahu lagi
Matahari, mega, dan langit biru
Pelepasan: gelisah dan maut juga menanti

Cumbu ini sesederhana lagu kehilangan nada

Naik suara, naik mendaki dari taraf ke taraf
Laki dan perempuan yang tinggal di pinggir telaga
Menuju ke laut, ke laut lepas.

Sumber: Zenith (27 Mei 1951)

Analisis Puisi:

Puisi "Lereng Senja" karya Harijadi S. Hartowardojo adalah sebuah karya yang dibagi dalam tiga bagian, masing-masing menggambarkan aspek yang berbeda dari kehidupan pedesaan dan hubungan manusia dengan alam. Melalui penggunaan bahasa yang kaya dan simbolis, puisi ini menyampaikan pesan tentang perjuangan, harapan, ketidakpastian, dan keindahan alam yang sering kali tidak terduga.

Lereng Senja (I)

Tema

Bagian pertama puisi ini menyoroti siklus kehidupan agraris, dari hujan yang turun hingga kegiatan pertanian yang mengikutinya. Tema utama di sini adalah kebersamaan dan kerja keras dalam bertani serta hubungan yang harmonis antara manusia dan alam.

Gaya Bahasa

  • Personifikasi: Hujan dan sawah digambarkan seolah-olah memiliki kehidupan dan perasaan. Misalnya, "Hujan sudah turun, kawan, hujan sudah turun" menggambarkan hujan sebagai teman yang membawa harapan.
  • Simbolisme: Hujan melambangkan kesuburan dan harapan baru, sementara sawah yang "coklat hitam berbau tanah baru dibalik" menggambarkan potensi dan kehidupan baru.
  • Imaji: Penyair menggunakan gambaran visual dan olfaktori yang kuat untuk menciptakan suasana pedesaan yang segar dan penuh kehidupan, seperti "bau segar akan menghawa di dada".

Makna

Bagian ini menggambarkan kerja keras dan harapan petani yang menanam padi dengan penuh kasih sayang. Mereka bekerja bersama, membawa kehidupan baru ke sawah mereka yang akan memberikan hasil panen di masa depan. Ini menunjukkan siklus kehidupan yang terus berlanjut dan pentingnya kerja sama dan harapan dalam menghadapi tantangan.

Lereng Senja (II)

Tema

Bagian kedua beralih ke tema bencana alam dan ketidakpastian. Gunung yang meletus dan ancaman lahar menggambarkan ketidakpastian dan ketakutan yang dihadapi oleh masyarakat pedesaan.

Gaya Bahasa

  • Kontras: Kontras antara "puncak merah menyala" dan "siang murung berselimut mendung" menekankan ketidakpastian dan ancaman yang dihadapi masyarakat.
  • Imaji: Gambaran gunung meletus, "api malam hari" dan "lumpur panas gelisah pijar" menciptakan visual yang kuat dan menakutkan tentang kekuatan alam yang tidak terkontrol.
  • Simbolisme: Gunung dan letusan melambangkan kekuatan alam yang tidak dapat diprediksi dan dihindari, sementara doa nenek melambangkan harapan dan perlindungan.

Makna

Bagian ini menggambarkan ketakutan dan ketidakpastian yang dihadapi oleh masyarakat ketika berhadapan dengan bencana alam. Ini menunjukkan bahwa meskipun manusia berusaha sekuat tenaga, ada kekuatan alam yang di luar kendali mereka. Doa nenek menunjukkan harapan dan upaya untuk mencari perlindungan dari yang Maha Kuasa.

Lereng Senja (III)

Tema

Bagian terakhir mengangkat tema cinta, kebersamaan, dan kehidupan sederhana di pedesaan. Ini menggambarkan hubungan antara manusia dan alam serta antar sesama manusia.

Gaya Bahasa

  • Simbolisme: Telaga dan teratai melambangkan kedamaian dan keindahan, sementara burung dalam sangkar melambangkan kebebasan yang terenggut dan keterbatasan.
  • Personifikasi: Burung yang "terkurung dalam sangkar" dan "terpatah-patah sayap dipukul jerajak" menggambarkan perasaan kehilangan kebebasan dan keterbatasan.
  • Imaji: Gambaran burung yang terkurung dan tangan yang mengulur cumbu menciptakan visual yang kontras antara kebebasan dan penjinakan.

Makna

Bagian ini menggambarkan kehidupan sederhana di pinggir telaga, di mana laki-laki dan perempuan hidup berdampingan dengan alam. Kebebasan burung yang terenggut melambangkan keterbatasan yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Namun, meski ada keterbatasan, ada juga kebersamaan dan cinta yang membuat hidup tetap indah.

Puisi "Lereng Senja" karya Harijadi S. Hartowardojo adalah sebuah karya yang kaya akan simbolisme dan makna mendalam tentang kehidupan pedesaan, kerja keras, ketidakpastian, dan hubungan manusia dengan alam. Melalui penggunaan bahasa yang indah dan penuh makna, penyair berhasil menggambarkan berbagai aspek kehidupan dengan cara yang menggugah dan memikat. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan kekuatan alam, kerja keras manusia, dan keindahan yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari, meskipun ada banyak tantangan yang harus dihadapi.

Harijadi S. Hartowardojo
Puisi: Lereng Senja
Karya: Harijadi S. Hartowardojo

Biodata Harijadi S. Hartowardojo:
  • Harijadi S. Hartowardojo (nama lengkap: Harjadi Sulaiman Hartowardojo / EyD: Hariyadi Sulaiman Hartowardoyo) lahir pada tanggal 18 Maret 1930 di Desa Ngankruk Kidul, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, Indonesia.
  • Harijadi S. Hartowardojo meninggal dunia pada tanggal 9 April 1984 di Jakarta, Indonesia (dimakamkan di Boyolali, Jawa Tengah, Indonesia).
  • Harijadi S. Hartowardojo adalah salah satu Sastrawan Angkatan 1950-an.
© Sepenuhnya. All rights reserved.