Analisis Puisi:
Puisi "Lagu Usang" karya Kuswahyo S.S. Rahardjo menyuguhkan nuansa melankolis dengan menggunakan simbol-simbol alam dan waktu untuk menggambarkan perjalanan emosional dan refleksi kehidupan. Puisi ini berbicara tentang mimpi, kenangan, dan penderitaan, dibalut dalam suasana puitis yang penuh warna dan citra alam.
Simbol Alam sebagai Metafora Kehidupan
Pada awal puisi, Kuswahyo menggunakan latar alam yang kuat, terutama dalam citra Merapi dan senja, dua elemen alam yang menggambarkan dinamika kehidupan dan kehancuran:
"Seloroh di celuk merapi merona senja / mengiris perlahan nadi setangkup melati"
Merapi yang aktif secara geologis sering diasosiasikan dengan kekuatan destruktif, namun dalam puisi ini, gunung tersebut dilukiskan dalam suasana senja, momen peralihan antara siang dan malam yang biasanya melambangkan akhir dari suatu fase. "Merona senja" memperkuat kesan romantik yang membawa pembaca ke suasana penuh penyesalan atau perenungan.
Setangkup melati, bunga yang sering diasosiasikan dengan kemurnian dan kesucian, digambarkan dengan "nadi yang teriris perlahan," menciptakan kontras antara keindahan alam dan rasa sakit. Penggunaan simbol bunga melati juga bisa menggambarkan kepolosan yang tercoreng oleh kenyataan hidup.
Waktu dan Mimpi yang Berkejaran
Selanjutnya, waktu menjadi elemen penting dalam puisi ini:
"Akhir juni yang terus berkejaran dengan mimpi"
Juni, yang kerap dihubungkan dengan pertengahan tahun dan peralihan musim, menciptakan simbol yang mencerminkan perputaran waktu yang tak terelakkan. "Berkejaran dengan mimpi" menggambarkan bagaimana waktu dan mimpi saling berlomba, namun mimpi itu tampaknya tidak tercapai, terjebak dalam proses yang penuh ketidakpastian.
Ada kesan bahwa mimpi-mimpi tersebut terjebak dalam perjalanan tanpa arah, dan waktu terus bergerak maju tanpa peduli pada perasaan atau harapan individu.
Rembulan dan Asap: Simbol Beban dan Pelepasan
Penggambaran rembulan di atas kawah Merapi menambah lapisan puitis:
"Rembulan bulat di atas kawah tersangga asap / bergerak tanpa beban ke tenggara"
Rembulan sering dianggap sebagai simbol ketenangan dan pengharapan, tetapi di sini, ia tersangga asap, sebuah citra yang memberikan kesan kabur dan tidak pasti. Asap yang menghalangi pandangan ini mungkin mewakili hal-hal yang membebani pikiran atau perasaan, namun rembulan terus bergerak "tanpa beban," menciptakan kontradiksi antara beban yang dihadapi dan hasrat untuk melarikan diri.
Arah tenggara dalam konteks puisi ini bisa diartikan sebagai simbol pelarian atau harapan yang menuju sesuatu yang lebih baik, tetapi tetap diliputi oleh kenangan dan luka masa lalu.
Kenangan dan Kepedihan
Puisi ini kemudian mengarah pada paduan cinta yang dilahap oleh waktu dan kenangan:
"Ke padu cinta perlahap / bersama kenang menapak cakrawala"
Frasa ini menyiratkan bagaimana cinta, yang pernah menggelora, kini menjadi bagian dari kenangan yang mulai pudar. Cinta tersebut "dilahap," seakan-akan menjadi korban dari perjalanan waktu. Kenangan tersebut berjalan menuju cakrawala, sebuah simbol dari batas tak terjangkau, yang menunjukkan bahwa masa lalu dan harapan saling berkelindan dalam jalur yang tak akan pernah bertemu.
Air mata yang jatuh ke lembah curam melambangkan kedalaman rasa duka:
"Airmata siapa ke lembah curam / tanpa irama lalu menggenang di sekitar puting"
Airmata ini jatuh tanpa irama, mencerminkan rasa kehilangan dan kepedihan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata atau ritme kehidupan. Airmata tersebut menggenang di sekitar "puting," yang mungkin merujuk kepada pusaran badai emosi atau situasi kacau yang tak kunjung berakhir.
Perasaan Meratapi Mimpi dan Duka
Penutup puisi ini menyoroti pertanyaan reflektif:
"Haruskah meratapi mimpi yang kemarin berkejaran / padahal cuma sesat di belantara duka?"
Pertanyaan ini mencerminkan keraguan dan penyesalan. Penyair bertanya apakah layak meratapi mimpi yang selama ini dikejar, sementara mimpi-mimpi tersebut ternyata hanya membawa kesedihan dan kekecewaan. Kata "belantara duka" menggambarkan kesesatan dalam rasa sakit, seolah-olah penyair telah tersesat dalam labirin kesedihan yang tak berujung.
Puisi "Lagu Usang" adalah puisi yang kaya dengan simbolisme alam, waktu, dan perasaan yang membaur antara harapan dan kepedihan. Kuswahyo S.S. Rahardjo menggunakan citra alam seperti Merapi, rembulan, dan senja untuk menggambarkan perjalanan batin yang penuh dengan kerinduan, kehilangan, dan kesedihan. Puisi ini mengajak pembaca merenungkan tentang mimpi-mimpi yang tidak tercapai dan rasa sakit yang melekat pada kenangan, menciptakan suasana reflektif yang mendalam tentang hidup dan waktu yang terus berlalu.