Puisi: Kereta Terakhir (Karya Frans Nadjira)

Puisi "Kereta Terakhir" menggambarkan momen perpisahan yang penuh emosi dan kesedihan, tetapi juga memancarkan kekuatan dan ketenangan di tengah ...
Kereta Terakhir

Kita membuat persiapan dan kita pun
mengarahkan pandang ke diri sendiri.
Dua anak, seekor anjing menunggu kereta
Si bopeng menyandang ukulelenya
Kemudian pergi.

Seorang tua berkata:
"Menangislah karena kau punya air mata."
Lampu neon menyinari bangku-bangku tunggu
Tak ada yang berhubungan
Tak seorang pun menangis.

Malam memperoleh kelam warna batu
Kita menciptakan burung dari bisu malam.
Kita kenang kutukan yang terucapkan
Risau tentang pertemuan mendung dan air laut.

Kereta malam menyusuri garis hidupnya sendiri
Memandang sungai mengalir di bawah jembatan.
Pohon-pohon jati tak berdaun
Gelap menyamarkannya
Kita berpelukan
Sebelum jarak merintih di pluit kereta.

Analisis Puisi:

Puisi "Kereta Terakhir" karya Frans Nadjira menciptakan gambaran tentang keberangkatan yang menyentuh dan kesedihan yang merayap di hati.

Persiapan dan Keberangkatan: Puisi ini dibuka dengan suasana persiapan dan keberangkatan yang terasa tegang dan penuh arti. Gambaran dua anak, seekor anjing, dan Si bopeng dengan ukulelenya menunggu kereta terakhir menambah dimensi emosional.

Kesunyian dan Ketenangan: Meskipun suasana sedih, tidak ada tangisan yang terdengar. Lampu neon menerangi bangku tunggu tanpa suara berarti. Ketenangan ini menyoroti kesunyian yang memenuhi hati dalam momen perpisahan.

Malam yang Kelam: Penggambaran malam yang kelam dengan warna batu menambah kesan sedih dan suram. Penciptaan burung dari malam yang bisu menyoroti kreativitas dan kemampuan manusia untuk menciptakan keindahan bahkan di tengah kegelapan.

Kenangan dan Risau: Ada kesan kenangan dan kegelisahan dalam puisi ini. Kutukan yang terucapkan dan kekhawatiran tentang pertemuan yang mendung dan air laut menciptakan atmosfer yang tegang dan penuh emosi.

Perpisahan dan Pelukan Terakhir: Perpisahan dengan latar belakang kereta malam yang bergerak menyusuri jalur hidupnya sendiri memberikan gambaran yang kuat tentang perpisahan dan perjalanan ke depan yang tak pasti. Pelukan sebelum jarak merintih di pluit kereta memberi kesan terakhir dari momen tersebut.

Simbolisme Alam: Simbolisme alam, seperti sungai di bawah jembatan dan pohon jati tak berdaun, menambah kedalaman puisi ini. Sungai mengalir melambangkan perjalanan ke depan yang terus berlanjut, sementara pohon jati tanpa daun mencerminkan kesedihan dan kehilangan.

Puisi "Kereta Terakhir" menggambarkan momen perpisahan yang penuh emosi dan kesedihan, tetapi juga memancarkan kekuatan dan ketenangan di tengah kegelapan. Ini adalah perjalanan ke depan yang menghadapi kehidupan dengan segala kompleksitasnya.

Frans Nadjira
Puisi: Kereta Terakhir
Karya: Frans Nadjira

Biodata Frans Nadjira
  1. Frans Nadjira lahir pada tanggal 3 September 1942 di Makassar, Sulawesi Selatan.
© Sepenuhnya. All rights reserved.