Puisi: Granula Rindu Suatu Malam (Karya Fitri Yani)

Puisi "Granula Rindu Suatu Malam" karya Fitri Yani menghadirkan atmosfer malam yang penuh keterasingan, kelelahan, dan harapan untuk pulang.
Granula Rindu Suatu Malam

bulan separuh menggantung di langit kota
lelaki negro memandangnya begitu lama
ia merasakan dirinya lebur dalam gelap
persembunyian begitu terjaga
buah-buah malam berputar dan jatuh
berulang-ulang ia melafalkan sebuah doa:
semoga aku kembali

sebuah lagu pembebasan melintas di telinganya
cuaca di dalam dirinya berubah hangat
ia memejamkan mata 
ada sentuhan yang masih dirasakannya
tangan lembut seorang teman dalam penjara

sepuluh meter dari tempatnya berdiri
beberapa pekerja pabrik melangkah gontai
tak ada tegur sapa di malam selarut itu
tak ada teman berbagi minuman 
sepanjang hari yang berat

di ujung sebuah gang mereka menyebar
membentuk titik-titik hitam  di kejauhan
melintasi sebuah bahasa sederhana:
berilah kami rindu dan jalan untuk pulang 

sebuah lagu selamat ulang tahun mengalun 
dari sebuah kompleks perumahan
bulan separuh menggantung di balik awan
lelaki negro tertidur di seberang pasar swalayan.

Tanjungkarang, 21 Juli 2013

Sumber: Lampung Post (edisi 28 Juli 2013)

Analisis Puisi:

Puisi "Granula Rindu Suatu Malam" karya Fitri Yani menghadirkan atmosfer malam yang penuh keterasingan, kelelahan, dan harapan untuk pulang. Dengan penggunaan diksi yang padat dan simbolik, puisi ini menciptakan potret kesepian yang mendalam di tengah hiruk-pikuk kehidupan urban.

Malam dan Keterasingan: "Bulan Separuh Menggantung di Langit Kota"

Bait pertama membuka puisi dengan gambaran visual bulan separuh yang menggantung di langit kota. Sosok "lelaki negro" yang memandang bulan begitu lama menunjukkan perasaan melankolis, seakan dirinya mencari jawaban di langit yang luas.

Kata lebur dalam gelap memperkuat citra keterasingan dan kehilangan identitas, di mana "persembunyian begitu terjaga" menggambarkan betapa seseorang bisa menghilang dalam bayang-bayang kota tanpa ada yang menyadari keberadaannya.

Doa dan Kerinduan Akan Kepulangan

"Buah-buah malam berputar dan jatuh", sebuah metafora yang bisa diartikan sebagai perjalanan hidup yang terus berulang, mungkin sebagai siklus penderitaan atau kenangan yang tak kunjung usai.

Ungkapan berulang-ulang ia melafalkan sebuah doa: semoga aku kembali memperlihatkan harapan yang mendalam akan rumah, akan tempat di mana ia merasa diterima dan tidak lagi tersesat dalam gelapnya kehidupan kota.

Kenangan Akan Kebebasan dan Sentuhan Manusia

Di bait selanjutnya, muncul sebuah lagu pembebasan yang melintas di telinga tokoh utama, membawa perubahan suasana di dalam dirinya. Ada kehangatan yang menyelinap, dan ia mengingat tangan lembut seorang teman dalam penjara.

Bagian ini bisa ditafsirkan sebagai nostalgia terhadap masa lalu yang meskipun penuh batasan—seperti di dalam penjara—masih menyisakan rasa kemanusiaan yang hangat, sesuatu yang justru terasa lebih manusiawi dibandingkan keterasingan di dunia luar.

Potret Buruh dan Kelelahan yang Tak Tersampaikan

Sepuluh meter dari tempat lelaki itu berdiri, ada pekerja pabrik yang melangkah gontai. Ketiadaan tegur sapa dan teman berbagi minuman memperlihatkan betapa kerasnya kehidupan mereka, di mana kelelahan hanya bisa ditanggung masing-masing.

Baris di ujung sebuah gang mereka menyebar, membentuk titik-titik hitam di kejauhan menekankan bagaimana mereka akhirnya larut dalam rutinitas, menjadi bagian dari bayangan malam tanpa identitas yang jelas, terpisah tanpa ikatan yang kuat.

Bahasa Kerinduan dan Keinginan untuk Pulang

Melintasi sebuah bahasa sederhana: berilah kami rindu dan jalan untuk pulang
Kalimat ini menjadi inti emosional dari puisi. Rindu bukan hanya soal individu, tetapi sebuah perasaan kolektif, sebuah harapan untuk kembali menemukan tempat yang bisa disebut rumah.

Dalam konteks ini, jalan untuk pulang bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan untuk menemukan kembali makna, identitas, atau bahkan kebebasan yang sesungguhnya.

Ironi Akhir: Ulang Tahun di Tengah Keterasingan

Pada bagian penutup, ada sebuah kontras yang mencolok: di satu sisi ada perayaan ulang tahun, sementara di sisi lain, lelaki itu tertidur di seberang pasar swalayan.

Bulan yang semula menggantung di langit kini tersembunyi di balik awan, seakan menggambarkan harapan yang perlahan memudar. Kehidupan terus berjalan, tetapi bagi lelaki itu, keterasingan tetap menjadi bagian dari dirinya.

Puisi "Granula Rindu Suatu Malam" menggambarkan realitas kehidupan urban yang keras dan penuh keterasingan. Tokoh dalam puisi ini, seorang lelaki negro, menjadi representasi dari banyak orang yang terjebak dalam rutinitas tanpa makna, rindu akan sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan hidup.

Dengan bahasa yang simbolik, puisi ini menyampaikan betapa sulitnya menemukan tempat untuk benar-benar merasa "pulang" dalam dunia yang terus bergerak tanpa peduli. Kesepian, kenangan, dan harapan akan kepulangan menjadi tema utama yang menyelimuti setiap larik puisi ini.

Fitri Yani
Puisi: Granula Rindu Suatu Malam
Karya: Fitri Yani

Biodata Fitri Yani:
  • Fitri Yani lahir pada tanggal 28 Februari 1986 di Liwa, Lampung Barat, Indonesia.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Penyimpan Gerbang aku tulang rusuk yang menyimpan gerbang di mataku api berkobar dari cerita purba yang sama ribuan cuaca tertiup ke tubuhku menghuni lembah-…
  • Alnagi selalu kau bangunkan aku dengan sepi dan api padahal belum tunai mimpi terbuai di malam yang gulita katakan padaku bagaimana bertahan dari resapan air hu…
  • Rutinitas apa yang pertama kali kau ingat ketika bangun pagi berangkat kerja, pergi belanja atau mengunjungi kawan lama lalu tergesa-gesa menghindari cahaya ka…
  • Pemetik Bunga ka, kebersamaan kita menjelma cermin yang retak. aku tak lagi melihat sesuatu yang utuh di wajahmu. berulangkali aku berusaha meletakkan tanganku di sit…
  • Sebuah Malam; Di Antara Nyanyian-Nyanyian kau abadi di dalam sajak-sajakku dan sajakku adalah cakrawala tubuhku lahir di tepi mata sendumu di mata sendumu mimpiku…
  • Ubud aku tak bisa menafsir cuaca di kota ini apalagi mengekalkannya di gelas minuman yang kau sajikan sementara para pendatang bagaikan lebah-lebah yang membangu…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.