Puisi: Dogma (Karya Mahatmanto)

Puisi "Dogma" karya Mahatmanto mengangkat tema tentang konsepsi tentang kehidupan dan batasan yang menghimpit dalam konteks dogma atau keyakinan ...
Dogma

Kau katakan sempit menghimpit,
karena jiwamu hidup,
meletup!
Kau pecahkan ruang liliput.

Tetapi... tiadalah biji merasa
tercepit oleh kulit
Hanya ketika,
biji bersemi, berkecambah,
baru merasa,
dan mendesak! Merekah, pecah.

Hanya siput, biasa senantiasa
bertahan dalam sempit kerangnya,
dibawa melata ke alam luas,
Biarpun ia hendak bebas,
tak dapat juga lepas,
dari sempit kerangnya!
- Dogma - pusaka -
Toh sekali waktu ada bahaya mengancam
tak perlu lagi lari, bersembunyi ke mana-mana,
cukup membenam ke dalam
faham:
- Dogma - pusaka -

Sumber: Mimbar Indonesia (6 Desember 1947)

Analisis Puisi:

Puisi "Dogma" karya Mahatmanto mengangkat tema tentang konsepsi tentang kehidupan dan batasan yang menghimpit dalam konteks dogma atau keyakinan tertentu. Melalui penggunaan gambaran biji, kulit, dan kerang, puisi ini menggambarkan dinamika antara kebebasan dan keterbatasan yang disebabkan oleh keyakinan atau dogma.

Tema Sentral

Puisi ini mengeksplorasi konsep bahwa keyakinan atau dogma sering kali membatasi individu, meskipun mungkin memberikan rasa perlindungan atau kestabilan. Pemahaman yang diperoleh dari dogma diibaratkan dengan biji yang berkecambah dan tumbuh, yang pada awalnya mungkin merasa terbatas atau terkekang oleh kulit atau kerang, namun akhirnya muncul dalam bentuk yang lebih besar dan berdaya.

Simbolisme Bijak dan Siput

Penggunaan simbol biji yang berkecambah mewakili proses pemahaman atau transformasi dalam konteks dogma. Awalnya, biji mungkin merasa terkekang oleh kulitnya sendiri sebelum akhirnya mampu tumbuh dan berkembang. Di sisi lain, siput yang bertahan dalam kerangnya meskipun ingin bebas menggambarkan bagaimana individu sering kali terikat oleh dogma meskipun menginginkan kebebasan.

Bahasa dan Gaya Puisi

Mahatmanto menggunakan bahasa yang kuat dan metafora yang dalam untuk menyampaikan pesan tentang dogma. Penggunaan repetisi kata "Dogma - pusaka -" pada akhir puisi menekankan pentingnya pemahaman dan penerimaan terhadap dogma sebagai warisan atau warisan budaya yang perlu diterima, meskipun ada bahaya atau tantangan yang mungkin timbul.

Puisi "Dogma" karya Mahatmanto adalah sebuah refleksi mendalam tentang bagaimana keyakinan atau dogma mempengaruhi individu dalam mencari makna dan kebebasan dalam hidup. Dengan menggunakan simbolisme yang kuat dan bahasa yang mendalam, puisi ini mengundang pembaca untuk merenungkan tentang dinamika antara kebebasan dan keterbatasan dalam konteks nilai-nilai dan keyakinan yang dipegang teguh dalam masyarakat dan budaya.

Puisi: Dogma
Puisi: Dogma
Karya: Mahatmanto

Biodata Mahatmanto:
  • Mahatmanto (nama sebenarnya adalah R. Suradal Abdul Manan) lahir di Kulur, Adikarta, Yogyakarta, pada tanggal 13 Agustus 1924.
  • Dalam dunia sastra, Mahatmanto menggunakan cukup banyak nama samaran, beberapa di antaranya adalah Abu Chalis, Murbaningrt, Murbaningsih, Murbaningrad, Moerbaningsih, SA Murbaningrad, Suradal, Sang Agung, dan Sri Armajati Murbaningsih.
© Sepenuhnya. All rights reserved.