Sumber: Tonggak 2 (1987)
Analisis Puisi:
Puisi "Daun Gugur" karya Dwiarti Mardjono menggambarkan perjalanan emosional manusia dalam menghadapi kehilangan, ketidakpastian, dan penerimaan. Dalam puisi ini, Dwiarti menggunakan metafora "daun gugur" untuk menyimbolkan perasaan pasrah dan sesal yang datang silih berganti dalam kehidupan manusia.
Kehilangan dan Penyesalan
Puisi ini dimulai dengan gambaran tentang perasaan sesal dan pasrah yang datang dan pergi, "bergantian sesal dan pasrah datang dan pergi". Di sini, Dwiarti menangkap dinamika emosi yang sering dialami manusia ketika menghadapi peristiwa kehilangan atau perubahan yang tidak terduga. Ada perasaan dungu, karena membiarkan situasi merayapi "saat-saat istirah kami." Kata "istirah" mungkin merujuk pada momen-momen damai atau kebahagiaan dalam hidup, yang tiba-tiba dirusak oleh perasaan kehilangan yang tidak disadari.
Cinta dan Kehidupan yang Sementara
Bagian berikutnya dari puisi ini menggambarkan hikmah yang diterima oleh sepasang manusia. "Hikmah bagi sepasang manusia menerima pahala dan nikmat," menyiratkan bahwa kehidupan memberikan banyak berkah, termasuk cinta dan cita-cita, yang merupakan buah dari hati dan cinta mereka. Namun, Dwiarti juga mengingatkan bahwa segala kebahagiaan ini bersifat sementara, "tetapi, ah, keberangkatan itu terlampau segera." Kegembiraan yang mereka rasakan tampaknya singkat, meninggalkan kesan bahwa segala sesuatu telah berlalu, dan bahwa manusia tidak akan pernah sepenuhnya memahami atau mengendalikan semua hal yang terjadi dalam hidup.
Ketakutan dan Ketidakpastian
Dwiarti kemudian memperlihatkan perasaan takut yang masih ada, "kadang masih menyisip ketakutan." Bayangan tanah kering atau gurun yang berpasir mungkin menggambarkan kekosongan atau ketidakpastian dalam hidup, yang sering kali menimbulkan ketakutan. Ini mencerminkan ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Penerimaan dan Kedamaian
Namun, puisi ini tidak berakhir dalam kesedihan atau ketakutan. Dwiarti menutup dengan gambaran tentang kedamaian yang akhirnya datang, "datang kedamaian yang membelai dan memanjakan." Penerimaan menjadi kunci bagi pasangan tersebut untuk menemukan kedamaian batin. Mereka menerima segala hal dengan kerelaan, yang dianggap Dwiarti sebagai kebajikan tertinggi, "karna kerelaan adalah paling mulia." Pada akhirnya, lembaran hidup mereka menjadi "catatan harapan-harapan," menunjukkan bahwa melalui penerimaan, mereka menemukan harapan baru dan kedamaian.
Puisi "Daun Gugur" adalah meditasi mendalam tentang siklus kehidupan, perasaan kehilangan, dan pentingnya penerimaan. Dwiarti Mardjono menggunakan simbolisme alam, seperti daun gugur, untuk menggambarkan ketidakpastian dan kefanaan hidup manusia. Meskipun kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi, melalui penerimaan, kita dapat menemukan kedamaian dan harapan baru.
Dwiarti mengajak pembaca untuk merenungkan bahwa meskipun hidup penuh dengan perubahan yang tak terduga dan kehilangan, ada keindahan dalam kerelaan dan penerimaan. Hidup, seperti daun yang gugur, mungkin tampak sekejap, tetapi dalam prosesnya, ada hikmah dan kedamaian yang dapat ditemukan jika kita bersedia untuk menerima segalanya dengan hati yang terbuka.
Puisi: Daun Gugur
Karya: Dwiarti Mardjono
Biodata Dwiarti Mardjono:
- Dwiarti Mardjono lahir pada tanggal 10 Agustus 1935 di Cilacap, Jawa Tengah.