Puisi: Buta dan Kesangsian (Karya Mahatmanto)

Puisi "Buta dan Kesangsian" karya Mahatmanto mengeksplorasi tema-tema kompleks seperti kegelapan dan pencerahan, ketundukan dan keraguan.
Buta dan Kesangsian

Buta bersatu dalam gelap
– mari kubimbing
menuju timur
ke kesiangan yang terang –
Aku menurut
kemana saja dibawa
jatuh bangun berjalan
Fajar memancar
mata meraba sinar
semua jadi gilang temerang
Kulepas tangan itu
yang jadi begitu malu
dan pergi sembunyi
Cis, aku menyumpah
Kau telah mengelabui mataku
Di sini, aku berdiri masih
di tempat aku berdiri tadi juga
Semua jadi terang
bermandi di dalam cahaya
Aku berseru:
Ya, Tuhan, inilah diriku!
Senja turun
gelap merayap
Buta bersatu kembali dengan gelap
Aku menangis sedih
seperti bayi yang belum berdosa
– Mari kupimpin –
Sekali lagi tangan itu menyentuh
(untuk sekian kalinya
dan berapa lagi masih?)
Aku sangsi!
Tetapi aku patuh
tidak membantah kemana juga diseret
terguling kebanting berlarian
Fajar dan siang memancar
mata menumbuk sinar
semua jadi terang gemilang
kuremas dan kuhempaskan tangan itu
yang seketika jadi hirap
Keparat, sekali lagi aku menyumpah!
Kau menipu!
Di sini aku senantiasa masih
Di tempat aku tadi ada
Semua jadi terang
tenggelam di dalam nur
aku bersorak:
ya, Tuhan, ya Nur
inilah agaknya diriku!
Senja merangkak
gelap menggumul
Buta dan gelap lagi sekali bersetubuh
Aku beriba menangis
Seperti bayi yang baharu saja lahir

Sumber: Majalah Mimbar Indonesia (27 Januari 1951)

Analisis Puisi:

Puisi "Buta dan Kesangsian" karya Mahatmanto adalah sebuah karya yang mengeksplorasi tema-tema kompleks seperti kegelapan dan pencerahan, ketundukan dan keraguan.
  • Kontras Antara Kegelapan dan Pencerahan: Puisi ini menghadirkan kontras yang kuat antara kegelapan ("Buta bersatu dalam gelap") dan pencerahan ("Fajar memancar, mata meraba sinar"). Kontras ini mencerminkan perjalanan subjektif tokoh dari keadaan buta, kesunyian, dan keraguan menuju pencerahan dan pemahaman yang lebih mendalam.
  • Perjuangan Subjektif Tokoh: Tokoh dalam puisi ini menggambarkan perjuangan pribadi yang melibatkan jatuh bangun, pertentangan batin, dan pencarian identitas diri dalam konteks spiritualitas dan eksistensialisme. Bahasa yang digunakan seperti "aku menurut kemana saja dibawa" menunjukkan ketundukan dan penyesuaian diri dalam menghadapi arus kehidupan.
  • Penggunaan Bahasa dan Gaya: Mahatmanto menggunakan bahasa yang kuat dan ritmis untuk menciptakan atmosfer yang intens dan memikat. Pengulangan frasa seperti "aku menyumpah" dan "di sini aku berdiri masih / di tempat aku berdiri tadi juga" menambahkan kedalaman emosi dan keputusasaan yang dirasakan oleh tokoh.
  • Pertanyaan Eksistensial dan Spiritual: Puisi ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang keberadaan dan tujuan hidup, serta pertentangan antara kegelapan dan terang dalam pencarian makna hidup. Penggunaan kata-kata seperti "aku bersorak: ya, Tuhan, ya Nur / inilah agaknya diriku!" mengungkapkan upaya tokoh untuk mencapai pencerahan dan koneksi spiritual yang lebih dalam.
  • Kesimpulan yang Melankolis: Puisi ini diakhiri dengan gambaran senja yang merangkak dan gelap yang menggumul, menciptakan kesan yang melankolis dan reflektif. Ini menyoroti kehampaan dan perjuangan yang mendasari perjalanan manusia dalam mencari arti hidup dan eksistensi mereka.
Melalui puisi "Buta dan Kesangsian", Mahatmanto tidak hanya menghadirkan perjalanan spiritual individu yang penuh dengan konflik batin, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan tentang perjuangan antara kegelapan dan terang dalam hidup manusia. Puisi ini merupakan gambaran yang mendalam tentang keraguan, kepatuhan, dan pencarian makna yang melekat pada eksistensi manusia.

Puisi: Buta dan Kesangsian
Puisi: Buta dan Kesangsian
Karya: Mahatmanto

Biodata Mahatmanto:
  • Mahatmanto (nama sebenarnya adalah R. Suradal Abdul Manan) lahir di Kulur, Adikarta, Yogyakarta, pada tanggal 13 Agustus 1924.
  • Dalam dunia sastra, Mahatmanto menggunakan cukup banyak nama samaran, beberapa di antaranya adalah Abu Chalis, Murbaningrt, Murbaningsih, Murbaningrad, Moerbaningsih, SA Murbaningrad, Suradal, Sang Agung, dan Sri Armajati Murbaningsih.
© Sepenuhnya. All rights reserved.