Puisi: Apa Jadinya (Karya Catur Stanis)

Puisi "Apa Jadinya" karya Catur Stanis merupakan kritik sosial yang tajam terhadap kondisi budaya, sastra, dan kehidupan intelektual dalam masyarakat.
Puisi Apa Jadinya

apa jadinya sebuah negeri
bila nalar kritis dibabat habis
atas nama kesopanan dan etika
melembagakan senioritas belaka

apa gunanya senioritas
bila hanya menjadi benalu
bagi pertumbuhan kreativitas
membikin tunas jadi meranggas

apa perlunya membincang sastra
bila tidak membidik karya
dan sibuk dengan romantisme masasilam
jadi ajang reuni serta temu kangen sastrawannya

apa gunanya puisi dilahirkan
bila hanya membesarkan ego kerdil penyairnya
terbuai ninabobo pembenaran bagi diri sendiri
serta ingkar pada proses perubahan jaman

: maka aku memilih untuk tak menjadi penyair
agar tiada perlu ambil bagian dalam itu persoalan.

2011

Analisis Puisi:

Puisi "Apa Jadinya" karya Catur Stanis merupakan kritik sosial yang tajam terhadap kondisi budaya, sastra, dan kehidupan intelektual dalam masyarakat. Dengan menggunakan bahasa yang lugas dan retoris, Stanis menyoroti berbagai masalah yang menghambat perkembangan kritis dan kreatif dalam komunitas sastra dan masyarakat secara umum. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan nilai-nilai yang sering kali dianggap sakral tetapi mungkin justru menjadi penghalang bagi kemajuan.

Struktur dan Gaya Bahasa

Puisi ini terdiri dari lima bait dengan empat baris masing-masing, kecuali bait terakhir dengan dua baris, sebagai sebuah penutup yang mencakup keputusan pribadi penulis. Struktur yang konsisten ini menciptakan ritme yang membantu menekankan setiap poin kritis yang disampaikan. Gaya bahasa yang digunakan oleh Stanis adalah langsung dan retoris, penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang menantang pembaca untuk mempertimbangkan kembali asumsi dan praktik yang umum diterima.

Tema Utama

  1. Kritik Terhadap Nalar Kritis yang Terbungkam: Stanza pertama menyoroti bagaimana "nalar kritis dibabat habis" atas nama "kesopanan dan etika". Stanis mengkritik budaya yang mengutamakan kesopanan di atas keberanian untuk berpikir dan berbicara kritis. Ini mencerminkan kekhawatiran terhadap lingkungan yang menekan kebebasan intelektual demi menjaga status quo dan harmoni sosial yang semu.
  2. Masalah Senioritas: Stanza kedua mempertanyakan manfaat senioritas jika hanya berfungsi sebagai "benalu bagi pertumbuhan kreativitas". Kritik ini menyoroti bagaimana hierarki yang kaku dapat menghambat inovasi dan perkembangan generasi muda. Senioritas yang seharusnya menjadi sumber kebijaksanaan justru menjadi penghalang.
  3. Relevansi Sastra dan Romantisme Masa Silam: Stanza ketiga mengecam praktik dalam dunia sastra yang terlalu fokus pada romantisme masa lalu dan ajang pertemuan nostalgia, alih-alih mengejar karya yang relevan dan kritis. Stanis menegaskan bahwa membincang sastra seharusnya berfokus pada kualitas dan dampak karya, bukan sekadar perayaan kenangan lama.
  4. Ego Penyair dan Perubahan Zaman: Stanza keempat mempertanyakan makna puisi yang hanya berfungsi untuk "membesarkan ego kerdil penyairnya". Puisi yang demikian menjadi alat untuk pembenaran diri, bukan sarana untuk mendorong perubahan sosial dan intelektual yang diperlukan.
  5. Keputusan Pribadi untuk Tidak Menjadi Penyair: Penutup puisi ini mengungkapkan keputusan Stanis untuk tidak menjadi penyair agar tidak terjebak dalam persoalan-persoalan yang ia kritik. Ini adalah pernyataan yang kuat tentang keengganan untuk terlibat dalam sistem yang ia pandang korup dan tidak produktif.

Simbolisme dan Makna

  1. Nalar Kritis dan Kesopanan: Nalar kritis melambangkan kebebasan berpikir dan berbicara yang esensial bagi perkembangan masyarakat. Kesopanan dan etika, dalam konteks ini, menjadi simbol dari pembatasan dan kontrol sosial yang berlebihan.
  2. Senioritas: Senioritas digunakan untuk menggambarkan hierarki yang menghentikan inovasi. Ini adalah kritik terhadap sistem yang lebih menghargai usia dan pengalaman dibandingkan ide-ide baru dan kreatifitas.
  3. Sastra dan Romantisme Masa Silam: Sastra mewakili seni dan budaya yang seharusnya hidup dan relevan, sementara romantisme masa silam menunjukkan kecenderungan untuk terjebak dalam kenangan tanpa memberi kontribusi nyata terhadap masa kini.
  4. Ego Penyair: Ego penyair menjadi simbol dari individualisme yang berlebihan, di mana seni hanya berfungsi untuk memuaskan diri sendiri tanpa memikirkan dampak yang lebih luas.
Puisi "Apa Jadinya" karya Catur Stanis adalah sebuah karya yang berfungsi sebagai kritik mendalam terhadap berbagai aspek budaya dan kehidupan intelektual yang dianggap menghambat kemajuan. Dengan gaya bahasa yang lugas dan retoris, Stanis berhasil menyampaikan kegelisahan dan frustrasinya terhadap sistem yang ada. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan dan mungkin bahkan menantang praktik-praktik yang ada dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam dunia sastra dan budaya. Keputusan pribadi penulis untuk menjauh dari dunia yang ia kritik menambahkan lapisan keautentikan dan integritas pada pesannya.

Catur Stanis
Puisi: Apa Jadinya
Karya: Catur Stanis

Biodata Catur Stanis:
  • Catur Stanis lahir dengan nama Catur Nugroho pada tahun 1969 di Ngampilan, Yogyakarta. 
  • Catur Stanis meninggal dunia pada tanggal 9 April 2015

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Pintaku Kalau kau minta seribu tahun lagi ku minta abadi tiada henti kalau kau bilang sekali berarti sesudah itu mati ku bilang sekali berarti sesudah itu coba lag…
  • Puisi Apa Jadinya apa jadinya sebuah negeri bila nalar kritis dibabat habis atas nama kesopanan dan etika melembagakan senioritas belaka apa gunanya senioritas …
  • Sunyi Tak Sepi Sepi bisa mengoyakmu sampai mati namun sunyi menjahitnya menjadi utuh lagi sepi melukaimu dengan rasa nyeri namun sunyi menebarkan damai tak terperi…
  • Amsal Mati Muda Terceritakan padaku kisah penyair mati tragis lantaran dicabik sipilis nan tak kunjung habis menghajar raganya hingga tipis borok menganga menguar nanah di …
  • Serenada Sulfatara Tataplah matamu ke utara tempat dimana sang raksasa mendendangkan nyanyian sulfatara menyungging senyum erupsi menjulurkan lidah lava Raksasa …
  • Erupsi (1) menggamit lengan merapi dalam erupsi padat berisi aku ditelikung cemas yang menggigilkan nyeri lukaluka yang menganga disetiap lekuk ceruknya adalah pen…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.