Puisi: Janji Hujan, Sebuah Monolog (Karya I Nyoman Wirata)

Puisi "Janji Hujan, Sebuah Monolog" karya I Nyoman Wirata menggambarkan perasaan dan refleksi penulis terhadap fenomena hujan.
Janji Hujan, Sebuah Monolog


Setelah jam 12 kau berjanji datang 
Dan engkau tak ingkar janji

Jangan bawa pedang
Sebab kerinduanku wujud tanah
Bergairah ingin bersetubuh 
Rindu melahirkan akar

Kehadiranmu adalah kemungkinan lain
Jiwa berbunga atau
Akar sejarah tercerabut

Aku menggigil

O bayi buta bernama rintik 
Tumbuh seperti hutan jerami menebal
Akar akarmu tinggal di langit
Menajam pedang
Membungkah ladang
Menyahut riuh huru hara

Dalam 4 jam semak berdahak darah, telanjang
Kukumu tajam dan kejam
Di televisi jadi berita utama 
2 nyawa menghilang dari tubuh

Aku yang hujan
Tumbuh dewasa bersama gemuruh
Dikawal cambuk api
Langit menggigil
Kebencian belum juga surut

Kebengisan bermula dari kelembutan
Kecemburuan melahirkan dendam
Rasa dipaksa
Aku bunuh rintik yang tumbuh di gurunku abadi

Hujan senjakala adalah srigala liar yang buta
Bergerak lamban 
Samsara.


28/11/2017

Analisis Puisi:
Puisi "Janji Hujan, Sebuah Monolog" karya I Nyoman Wirata adalah karya sastra yang menggambarkan perasaan dan refleksi penulis terhadap fenomena hujan.

Janji dan Keberadaan Hujan sebagai Metafora Emosi dan Kehidupan: Penulis membuka puisi dengan ungkapan "Setelah jam 12 kau berjanji datang," yang memberikan nuansa kepastian dan harapan. Janji hujan di sini dapat dipahami sebagai simbol janji dalam kehidupan atau emosi yang muncul setelah waktu tertentu. Hujan menjadi metafora untuk kehadiran atau peristiwa yang dijanjikan.

Keinginan dan Kerinduan yang Dinyatakan Tanpa Rasa Takut: Ketika penulis menyatakan, "Jangan bawa pedang, Sebab kerinduanku wujud tanah," ia mengungkapkan keinginannya yang bersifat damai dan penuh kehangatan. Permintaan untuk tidak membawa pedang menciptakan citra perdamaian dan keinginan untuk bersedekah dengan tanah, menciptakan gambaran keintiman dengan unsur alam.

Rintik Hujan sebagai Simbol Pembaharuan dan Pembersihan: Penyair menggunakan gambaran "O bayi buta bernama rintik" untuk merujuk pada awal mula hujan. Rintik hujan dianggap sebagai bayi buta yang dapat tumbuh dan berkembang. Namun, perkembangannya tidak selalu membawa kebaikan, karena ia juga merujuk pada dampak buruk dari hujan, seperti banjir dan kehancuran.

Kontras Antara Kelembutan dan Kekerasan: Puisi menciptakan kontras antara kelembutan dan kekerasan melalui penggambaran "Kukumu tajam dan kejam." Kontras ini mencerminkan kompleksitas alam dan emosi manusia, di mana kelembutan hujan bisa berubah menjadi kekejaman dan destruksi.

Samsara dan Perjalanan Kehidupan: Dengan menyebutkan "Samsara," penulis membawa konsep siklus kelahiran, kehidupan, dan kematian. Hujan sebagai samsara menunjukkan bahwa kehidupan memiliki siklusnya sendiri, dengan pergantian kelembutan dan kekerasan, pertumbuhan dan kehancuran.

Puisi "Janji Hujan, Sebuah Monolog" adalah suatu perenungan mendalam tentang janji, kehidupan, dan perubahan yang terjadi dalam siklus alam. I Nyoman Wirata menggunakan bahasa yang kaya dan simbol-simbol alam untuk menyampaikan makna yang mendalam, memprovokasi pemikiran pembaca tentang hubungan antara manusia dan alam, serta kompleksitas emosi dalam kehidupan.

Puisi
Puisi: Janji Hujan, Sebuah Monolog
Karya: I Nyoman Wirata
© Sepenuhnya. All rights reserved.