Puisi: Impian dalam Trem (Karya Arif Bagus Prasetyo)

Puisi: Impian dalam Trem Karya: Arif Bagus Prasetyo
Impian dalam Trem (1)


bersamamu, impian itu datang juga: waktu yang memanjang
seperti rel-rel kereta
bencana, di kejauhan, menyusun senja: derit lokomotif,
kawat-kawat elektris, lalu peron; pedestrian di sisi tidurmu
dan bangku-bangku yang bosan menera saat-saat keberangkatan.

segalanya: stasiun. Ya, stasiun telah menawariku agama baru,
penampakan ajal, dari harga sebuah perjalanan.
sampai kelak, kita pun tiba di sebuah kota
yang rajin menidurkan hujan
pada bayangan kebun palem.


Impian dalam Trem (2)


impian telah membuka penanda-penanda:
wajah kekasih (sebelum bunuh diri), parfum perkabungan,
lagu sedih karaoke pengamen buta di ujung lorong…
- semua bersamamu
melaju dalam retakan waktu, berpacu di antara gedung-gedung
biru
yang ngungun, dan menyimpan kegelapannya sendiri.


Impian dalam Trem (3)


di lobi rumah rakyat itu kau mengecupku seraya berkata:
“ada anak burung terjatuh dari sarangku. maafkan, aku mencintainya, ternyata.”
lalu senyummu menyerap ribuan taksi, mengulur deretan angka
sampai kamarku
- penuh limbah kata-kata:
“agak panas di sini. kita mandi. dan bersetubuh,” bisikmu.
tapi mana tubuhmu? saat kauceritakan tentang ibu, saat
sembahyang, saat kita mengaji di bawah tatapan kosong
para peziarah dulu: “beginilah kami mengerti hidup!”
(aku mengangguk: tak mengerti)


Impian dalam Trem (4)


dan di pelataran sebuah masjid, kita berfoto.
untuk apa?
membingkai kenangan daun-daun, taksi, menara?
lihat. kau lihatlah legenda membusuk sepanjang tembok.
sedang jasad kita mengambang, mencemari sungai-sungai yang
menghidupi berjuta tamu, sepertimu, yang percaya akan sihir
lampu-lampu
dan kegaiban yang diguyurkan warna-warni stasiun.


Impian dalam Trem (5)


kulirik arloji: waktu tak ada.
tapi termometer meneraku lagi, mendudukkanku di ruang putih
penuh jendela
: sejarah panjang + penjara; kondom + ampul
teronggok di tepi meja.
engkau menyentuhku, aku diam. namun kuikuti juga tubuh
sakitmu
menari-nari ke puncak tugu
berhari-hari suara di situ: jerit burung-burung gereja,
doa-doa bertumpahan pada baki, makan malam yang membatu
di atas ranjang, segalanya, kantukku…
“ssst…jaga langkahmu. maut menebal pada kaca.
tidakkah kauhikmati lukisan itu hampir pudar?”
aku hanya tertawa, tak mengerti lagi.
lalu dengan sopan kucuri mulutmu
buat menghisap seluruh kenihilan waktu
sebelum pagi benar-benar pecah
saat kita (mungkin) tahu
: kita tak pernah pulang!


1994

Puisi: Impian dalam Trem
Puisi: Impian dalam Trem
Karya: Arif Bagus Prasetyo

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.