Analisis Puisi:
Puisi "Revolusi Sedang Terburu-buru" karya Hasan Aspahani adalah karya sastra yang menggambarkan kondisi kacau dan penuh kontradiksi dalam konteks revolusi, khususnya dalam situasi yang dihadapi oleh individu yang terjebak dalam penjara. Dengan gaya bahasa yang tajam dan penuh makna, Aspahani menyampaikan kegelisahan, kerinduan, serta kesadaran akan waktu yang terus berlalu dalam keadaan yang penuh tekanan. Melalui simbolisme dan gambaran yang kuat, puisi ini membahas bagaimana revolusi, yang seharusnya menjadi harapan untuk perubahan, kadang terperangkap dalam kebingungan dan keterburu-buruan.
Pembukaan Puisi: Revolusi yang Terburu-buru
Puisi ini dimulai dengan kalimat yang sangat mencolok, "Revolusi sedang terburu-buru: sudah sangat terlambat untuk sebuah sarapan." Kalimat ini langsung memberikan kesan adanya ketergesaan dan kegelisahan dalam proses revolusi. "Sangat terlambat untuk sebuah sarapan" adalah metafora yang menunjukkan betapa waktu sudah terbuang percuma dalam perjuangan yang sudah terlalu lama tertunda. Sarapan, sebagai simbol kegiatan sederhana yang harus dilakukan di pagi hari, menjadi tidak mungkin tercapai karena revolusi yang mendesak untuk segera dilaksanakan.
Ketergesaan ini menunjukkan bahwa revolusi seakan tidak memberikan ruang bagi kehidupan yang lebih manusiawi atau ritual sehari-hari yang seharusnya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Ada kesan bahwa revolusi yang dimaksud lebih penting daripada kebutuhan dasar manusia, bahkan sampai-sampai waktu untuk sarapan pun terlewatkan.
Kehidupan di Penjara: Kenangan yang Menghantui
Selanjutnya, puisi menggambarkan keadaan seorang narapidana yang terjebak di dalam penjara. "Di dalam penjara ia seperti mendengar mesin ketik, dan dentang piring seng, sisa makanan diperebutkan tikus dan kucing." Gambarannya sangat suram, di mana sang narapidana terperangkap dalam rutinitas yang penuh kebisingan dan ketidakpedulian. Mesin ketik dan dentang piring seng menjadi simbol dari kehidupan yang monoton dan terkekang, dengan sedikit ruang untuk kebebasan.
Perebutan makanan oleh tikus dan kucing juga memberi gambaran tentang keadaan yang penuh persaingan dan kekurangan, di mana yang lemah harus berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang minimal. Ini mencerminkan kehidupan dalam penjara yang tidak hanya penuh dengan fisik yang terpenjara, tetapi juga keputusasaan dan kekurangan.
Kenangan dan Kerinduan: Joji dan Arumbai
Di dalam penjara, sang narapidana teringat akan masa lalu dan orang-orang yang telah meninggalkannya. "Ia teringat Joji, Anjing berani yang mati setelah menyalak pada patroli Belanda." Kenangan akan Joji, anjing yang berani melawan patroli Belanda, menunjukkan adanya perlawanan yang tak kenal takut terhadap penjajahan. Joji menjadi simbol dari keberanian dan pengorbanan dalam perjuangan.
Kemudian, puisi berpindah ke dalam mimpi sang narapidana yang teringat akan "arumbai dikayuh anak-anak yang merdeka, menjemput menyeberangi selat." Arumbai adalah perahu tradisional yang sering digunakan di Indonesia, dan di sini, arumbai bisa diartikan sebagai simbol dari perjalanan menuju kemerdekaan dan harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Anak-anak yang merdeka menjadi gambaran bahwa meskipun sang narapidana terkurung, ada harapan bahwa generasi berikutnya akan bebas dan merdeka.
Kucing Hatta dan Nama-Nama Sejarah: Refleksi atas Sejarah dan Kekuasaan
Selanjutnya, puisi ini mengalir dengan menyebut nama-nama kucing yang kemungkinan adalah milik Soekarno-Hatta, seperti "Franco? Myssolini? Hitler? Turky?" Nama-nama ini adalah referensi terhadap tokoh-tokoh besar dalam sejarah yang berhubungan dengan kekuasaan dan revolusi. Seakan-akan, kucing-kucing tersebut menjadi simbol dari tokoh-tokoh besar yang mempengaruhi jalannya sejarah, yang muncul dalam ingatan sang narapidana dalam kesendirian dan keterbatasannya.
Namun, puisi ini juga mengandung ironi. Walaupun sang narapidana terjebak dalam penjara, ia masih memiliki waktu untuk berpikir tentang tokoh-tokoh sejarah yang berkuasa. Ini menunjukkan bahwa meskipun terpenjara, pemikiran dan kenangan masih bisa mengalir bebas, membawa gambaran tentang dunia luar yang penuh dengan konflik dan kekuasaan.
Revolusi yang Lapar dan Terburu-Buru
Puisi ini ditutup dengan gambaran bahwa narapidana tersebut sedang disajikan untuk sebuah revolusi yang "sedang buru-buru dan lapar itu." Frase "lapar" menunjukkan bahwa revolusi membutuhkan pengorbanan dan keseriusan. Revolusi yang lapar ini mengingatkan kita pada kenyataan bahwa perubahan sosial dan politik sering kali mengorbankan banyak hal, termasuk kehidupan individu. Ketergesaan revolusi mencerminkan sifatnya yang tidak sabar dan terburu-buru, tetapi dalam proses itu, banyak yang terlupakan atau dikorbankan.
Simbolisme dan Makna yang Dalam
Beberapa elemen simbolis yang penting dalam puisi ini antara lain:
- Revolusi yang Terburu-buru: Menggambarkan kegelisahan dan ketergesaan dalam perubahan sosial, di manabanyak hal penting terlewatkan atau tidak diperhatikan.
- Penjara: Simbol dari keterbatasan fisik dan mental, tempat di mana sang narapidana terperangkap dalam kenangan dan kegelisahan.
- Joji dan Arumbai: Simbol dari keberanian dan harapan akan masa depan yang lebih baik meski terjebak dalam penjara.
- Nama-Nama Kucing Hatta dan Tokoh-Tokoh Sejarah: Merujuk pada kekuasaan dan pengaruh dalam sejarah, serta bagaimana kekuasaan ini hadir dalam ingatan dan refleksi sang narapidana.
- Revolusi yang Lapar: Menunjukkan bahwa revolusi seringkali membutuhkan pengorbanan dan tidak selalu berfokus pada kebutuhan individu atau kehidupan yang lebih manusiawi.
Puisi "Revolusi Sedang Terburu-buru" karya Hasan Aspahani adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan revolusi dalam konteks yang penuh dengan kontradiksi. Revolusi yang seharusnya membawa harapan dan pembebasan malah menjadi sebuah proses yang tergesa-gesa dan penuh dengan pengorbanan. Sang narapidana, yang terjebak dalam penjara, merenungkan kenangan, sejarah, dan kekuasaan dalam keadaan yang penuh keterbatasan. Namun, di balik itu semua, masih ada harapan akan perubahan dan kemerdekaan yang akhirnya akan datang.
Aspahani, melalui puisi ini, menyampaikan pesan bahwa revolusi, meskipun penuh dengan ketergesaan, tidak boleh melupakan nilai-nilai dasar kehidupan dan kebutuhan manusia.