Puisi: Pada Hari Minggu Kucari Ayah ke Kota (Karya Hasan Aspahani)

Puisi "Pada Hari Minggu Kucari Ayah ke Kota" karya Hasan Aspahani menghadirkan narasi mendalam yang penuh simbolisme tentang identitas, pengabaian, ..
Pada Hari Minggu Kucari Ayah ke Kota

KAMUS besar adalah kota kata-kata
Pada hari Minggu aku mencari ayah ke sana

Ayah adalah kata yang tak bertanggung jawab
Ditinggalkannya aku pada sebuah puisi yang tak selesai

Aku hidup bersama bahasa ibu yang lebih banyak diam
Aku anak yang tak jelas: yatim bukan piatu bukan

Hendak mengemis, tampangku buruk ketimbang memberi maras
Hendak menangis, orang bilang airmataku sandiwara palsu
Hendak marah, kata-kata kasar sudah habis di media sosial

Hidupku dimulai dengan puisi yang tak tahu harus kuapakan
Dengan puisi yang belum rampung,
Jadilah aku anak bahasa yang bingung
Suatu hari aku pernah bertanya:
"Ibu, apakah benar namamu Pertiwi?"
Ibu tetap saja dengan bahasanya yang diam itu
Ia juga tak berkata apa-apa ketika aku pamit meninggalkannya
Aku pergi ke kota, kota kata-kata
pada hari Minggu, mencari ayah
yang kabarnya berjualan kata di sana,
di kaki lima.


Catatan:
Memberi maras (bahasa Banjar): raut wajah atau keadaan seseorang yang membangkitkan rasa kasihan pada orang yang melihatnya.

Analisis Puisi:

Puisi "Pada Hari Minggu Kucari Ayah ke Kota" karya Hasan Aspahani menghadirkan narasi mendalam yang penuh simbolisme tentang identitas, pengabaian, dan keresahan sosial. Melalui bahasa yang lugas namun sarat makna, puisi ini menyentuh isu keluarga, keterasingan, dan kekosongan eksistensial dalam kehidupan modern. Hasan Aspahani, sebagai seorang penyair yang piawai dalam bermain dengan metafora, menyajikan karya ini dengan lapisan-lapisan interpretasi yang mengajak pembaca untuk merenungkan hubungan antara individu, keluarga, dan masyarakat.

Kota sebagai Simbol Kata dan Kekosongan

Puisi ini dibuka dengan baris yang mencolok:

"Kamus besar adalah kota kata-kata
Pada hari Minggu aku mencari ayah ke sana"

Kamus besar di sini adalah metafora bagi kota, tempat segala jenis kata berkumpul. Kota dalam puisi ini mewakili ruang sosial yang penuh dengan komunikasi, tetapi ironisnya, juga tempat di mana makna sering kali hilang. Dalam pencarian ayah, narator mendapati dirinya berada di kota kata-kata, namun ia tidak menemukan jawaban atau kehadiran yang ia cari.

Ayah digambarkan sebagai sosok yang "tak bertanggung jawab" karena meninggalkan narator dalam "sebuah puisi yang tak selesai." Metafora ini menunjukkan ketidaklengkapan hidup narator, baik secara emosional maupun eksistensial. Ayah, sebagai simbol kehadiran yang seharusnya memberikan arah dan makna, justru absen.

Identitas yang Terombang-Ambing

"Aku hidup bersama bahasa ibu yang lebih banyak diam
Aku anak yang tak jelas: yatim bukan piatu bukan"

Narator adalah anak yang hidup dalam ketidakjelasan identitas. Ia tidak sepenuhnya yatim karena masih memiliki ibu, tetapi juga tidak sepenuhnya piatu karena ayahnya masih hidup, meski jauh dan tidak hadir. Bahasa ibu yang "lebih banyak diam" menggambarkan ketidakmampuan ibu untuk menjawab pertanyaan narator atau memberikan arahan dalam kehidupannya.

Konflik identitas ini diperkuat oleh kenyataan bahwa narator merasa tidak diterima oleh masyarakat. Usahanya untuk mendapatkan simpati atau perhatian gagal:

"Hendak mengemis, tampangku buruk ketimbang memberi maras
Hendak menangis, orang bilang airmataku sandiwara palsu
Hendak marah, kata-kata kasar sudah habis di media sosial"

Baris ini mencerminkan kritik sosial yang tajam. Dalam masyarakat modern, empati sering kali tergantikan oleh prasangka, sinisme, atau bahkan penghakiman yang dangkal. Konsep "maras" dalam konteks budaya Banjar menggambarkan wajah atau keadaan yang membangkitkan rasa iba. Namun, narator merasa bahwa wajahnya tidak cukup untuk menggugah simpati orang lain.

Kritik ini semakin diperkuat dengan referensi pada media sosial, di mana kemarahan telah menjadi komoditas dan kata-kata kasar kehilangan dampaknya karena terlalu sering digunakan.

Bahasa dan Kekosongan Eksistensial

"Hidupku dimulai dengan puisi yang tak tahu harus kuapakan
Dengan puisi yang belum rampung,
Jadilah aku anak bahasa yang bingung"

Puisi yang tak selesai adalah simbol dari kehidupan narator yang penuh ketidakpastian dan kebingungan. Ia adalah "anak bahasa yang bingung," menggambarkan individu yang terjebak dalam labirin kata-kata tanpa makna. Ini juga mencerminkan keresahan dalam dunia modern, di mana kata-kata sering kali kehilangan bobotnya dalam lautan informasi yang membanjiri kehidupan kita.

Pencarian Ayah sebagai Pencarian Makna

"Aku pergi ke kota, kota kata-kata
pada hari Minggu, mencari ayah
yang kabarnya berjualan kata di sana,
di kaki lima."

Pencarian ayah dalam puisi ini bukan sekadar pencarian figur ayah secara harfiah, melainkan juga pencarian makna, arah, dan kepastian dalam kehidupan. Kota, sebagai ruang yang penuh dengan kata-kata, ironisnya menjadi tempat yang tidak memberikan jawaban. Ayah yang "berjualan kata di sana, di kaki lima" menunjukkan bagaimana kata-kata telah menjadi komoditas yang diperdagangkan, kehilangan esensi dan kejujurannya.

Pencarian yang dilakukan pada hari Minggu, hari yang identik dengan istirahat atau refleksi, memberikan nuansa spiritual pada puisi ini. Namun, alih-alih menemukan pencerahan, narator justru mendapati dirinya semakin terasing.

Kritik Sosial dan Kegelisahan Eksistensial

Puisi "Pada Hari Minggu Kucari Ayah ke Kota" adalah puisi yang berbicara tentang keputusasaan, pencarian makna, dan kritik terhadap masyarakat modern. Hasan Aspahani dengan cerdas menggunakan simbolisme kota, ayah, dan bahasa untuk menggambarkan kehidupan yang penuh ketidakpastian dan kehampaan.

Puisi ini mengingatkan kita akan pentingnya empati dan komunikasi yang tulus di tengah dunia yang semakin dipenuhi oleh kata-kata tanpa makna. Dengan membaca puisi ini, pembaca diajak untuk merenungkan hubungan mereka dengan keluarga, masyarakat, dan diri sendiri, serta bagaimana kita dapat menemukan makna di tengah kebingungan hidup.

Karya Hasan Aspahani ini tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga kaya akan pesan moral dan filosofis yang relevan dengan kehidupan modern.

Sepenuhnya Puisi
Puisi: Pada Hari Minggu Kucari Ayah ke Kota
Karya: Hasan Aspahani

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.