Puisi: Jineman Uler Kambang (Karya Gunawan Maryanto)

Puisi "Jineman Uler Kambang" karya Gunawan Maryanto memungkinkan pembaca untuk merenungkan tentang hubungan, kehidupan, dan keindahan yang sementara.
Jineman Uler Kambang
(: sg)

(1)

gong ataukah perempuan yang berdiam di dalamnya
memintaku berjanji kesekian kali untuk kembali
basah dan gigil memanggil-manggil nama kecilmu
: sebentuk talu. atau hanya sekilas rindu

ambil daun itu, kadek, usap gong itu sebagaimana payudaramu
matang menantang malam menerbitkan kunang-kunang di mataku
ambil daun itu, kadek, jangan lari jangan sembunyi dari tubuhmu

ana kembang banyu larut kentir kegawa nasib
kalamun digoleti malah ilang
sebab kau telanjang maka pergilah
sebab kau merangsang maka enyahlah
bukan angin bukan bulan bukan aku tapi kau

duh gusti, urip isun iki tangi apa turu
delapan janin tumbuh dalam perutku
delapan janji yang harus kutepati
suamiku, maaf, kubunuh delapan cita-citamu
demi delapan cita-citaku yang tak bisa kautahu

sungai kering sekering wajah asingmu, vira
ribuan cangkang keong membentuk bekas tapak gangga
mengajak kita tamasya ke kubur dewa-dewa
hallo, hallo, ada siapa di sana
hanya tubuh, melulu tubuh, minus makna

siapa kamu, sekali lagi, apa wasu apa ragu
kenapa menyanyi tentang pot-pot bungamu
tentang jamban yang kauperam sampai bau
apa benar tak ada air bagimu? bagi negerimu?

kelak sepasang keong muncul dari sepasang telapak kakimu
suami-isteri yang menyusuri cinta dengan sangat pelan
jauh lebih lambat dari khianat bahkan ketuaan

pipimu ana upane sebutir nasi di pipimu
pipimu ana upane sebutir nasi di pipimu
atimu piye rasane ada apa di hatimu

(2)

aku tak tahu harus memutar lagu apa malam ini
dalam kurungan ayam hanya kegelapan dan sendiri
di luar mungkin ada seorang lelaki menari
: jaka wulung, dari desa sebelah yang sepi

sebentar simbah akan membuka sangkar
sebentar aku harus bersiap terbakar
menghunus belati, mengarahkannya ke dada lelaki
: sentring lading wong lanang, sentring lading wong lanang
gubug dhuwur alun-alun rejuna, selurudan rejuna, selurudan rejuna

kukejar kau yang terbakar dan membakar cintaku
kukejar kau yang mokal terkejar
kau yang membawa sangkar ayam dalam kepalamu
mungkin kau bukan jodohku,
tapi tak ada yang sepenuhnya keliru

(3)

namamu tertulis dalam jitapsara asal
di permukaan daun tal berbantal-bantal
dulu mungkin seseorang pernah jatuh cinta kepadamu
sedemikian hingga namamu tertinggal di sana
: tanpa tanggal, berdebu

moh jarak moh munggur bukan jarak bukan pula munggur
takpilih sing gedhe dhuwur kupilih yang besar dan semampai
najan ora pati ayu meski tak terlalu aduhai
nanging migunani tapi sangatlah berguna

hari ini kubuka lagi namamu
kurapal bersama nama-nama lain tak kukenal
kubaca lagi kesepianmu? beratus tahun kesepianmu
yang tak pernah pergi, sedetik pun, dari padamu

duduklah di sampingku, menemaniku malam ini
kau demikian nyata,
secangkir kopi inilah yang fiksi

(4)

jika bukan kau lalu siapa lagi
yang memberi api pada pertunjukan ini
: lagumu dan jeritanmu yang sepi

kita tak bisa berharap banyak pada gerak
pada tubuh-tubuh tanpa suluh
mereka lenyap dalam sekejap
seperti kerling mata perempuan,
menawan tapi tak bertahan

jika bukan kau lalu siapa lagi
yang membangkitkan gangga dari mimpi
: kerinduannya kepada bayi-bayi di kali

bisa jadi merekalah bayi-bayi itu
tubuh-tubuh tanpa rangka? cuma angka-angka
bermain di selokan sehabis penghujan

bisa jadi akulah salah satu bayi itu
tertinggal sendirian di tepi waktu
berguru pada batu-batu

(5)

sering kita berpapasan di jalan
bertemu di kedai kopi atau lapo tuak
menenggak rindu yang ubanan
menyusun cerita yang retak-retak

aku sering mendapatimu menangis sendirian
kau sering memergokiku menangis kesepian
tapi apa yang membuatku takjuga mengenalmu
demikian pula sebaliknya, kamu

di hari-hari tertentu kita duduk sama-sama
di pinggir telaga memegang joran tanpa umpan
dengan capung bertengger di salah satu jari tangan kita
seperti mata cincin kawin yang tak pernah kita kenakan

mungkin kita adalah pengantin dari masa lalu
yang kehilangan ingatan karena cinta yang terlalu

(6)

uler kambang:
cahaya yang mengambang di permukaan telaga
sisik-sisik naga yang berganti-ganti warna

dingin memaksaku merapatkan pakaian
memeluk erat ingatan agar tak jatuh sakit
: ingatan tentangmu.


Jogjakarta, 2006

Analisis Puisi:
Puisi "Jineman Uler Kambang" karya Gunawan Maryanto adalah sebuah karya sastra yang sarat dengan simbolisme dan makna mendalam. Puisi ini memperlihatkan beberapa tema, termasuk cinta, kesepian, kehilangan, dan pertemuan di masa lalu.

Bagian 1: Puisi dimulai dengan gambaran tentang seorang perempuan yang mungkin berada di dalam sebuah gong. Ia memanggil pria yang dulu berjanji untuk kembali. Gambaran ini menciptakan perasaan kerinduan dan kehilangan. Ada ungkapan cinta yang terabaikan dan sekarang dirindukan. Daun dan payudara digunakan sebagai metafora untuk menggambarkan kecantikan dan daya tarik perempuan tersebut.

Bagian 2: Bagian kedua menciptakan gambaran tentang perasaan yang rumit dalam sebuah hubungan. Ada ungkapan kebingungan dan perasaan terbakar. Penulis merasa terikat pada seseorang yang mungkin bukan jodohnya, tetapi ada keraguan apakah mereka salah satu sama lain. Gambaran tentang seorang lelaki yang menari dan simbah yang akan membuka sangkar menciptakan suasana pertunjukan dan kegilaan.

Bagian 3: Bagian ketiga memperlihatkan nama yang tertulis di permukaan daun tal. Daun ini mungkin memiliki makna simbolis, dan penulis merenungkan tentang bagaimana seseorang bisa meninggalkan nama mereka di sana. Penyebutan Pramoedya Ananta Toer menciptakan kontras antara dunia nyata dan dunia sastra.

Bagian 4: Bagian keempat membahas tentang pertunjukan dan musik sebagai elemen yang membangkitkan perasaan. Puisi ini menggambarkan tubuh-tubuh yang lenyap seperti mata perempuan yang menawan tetapi tidak bertahan. Ada kebingungan tentang siapa yang membangkitkan gangga, yang mungkin merujuk kepada sungai gangga di India, yang memiliki nilai spiritual dalam budaya India.

Bagian 5: Bagian kelima berbicara tentang pertemuan yang sering terjadi antara penulis dan seseorang yang mereka kenal. Ada perasaan kesepian dan rindu yang saling diakui, tetapi keduanya tampaknya tidak benar-benar mengenal satu sama lain. Ada perasaan bahwa ada sesuatu yang hilang dalam pertemuan mereka.

Bagian 6: Bagian terakhir dari puisi ini menyajikan gambaran tentang uler kambang sebagai lambang cahaya yang mengambang di permukaan telaga. Ini bisa diartikan sebagai cahaya atau kebahagiaan yang tidak bisa dipegang dan seringkali berubah-ubah. Cahaya ini juga bisa diartikan sebagai keindahan yang sesaat dan cepat berlalu.

Secara keseluruhan, puisi "Jineman Uler Kambang" karya Gunawan Maryanto adalah karya sastra yang mengandung banyak makna dan simbolisme. Puisi ini menciptakan perasaan kesepian, rindu, dan kerinduan dalam hubungan antara penulis dan seseorang yang mereka kenal. Simbolisme dalam puisi ini memberikan kekayaan makna yang memungkinkan pembaca untuk merenungkan tentang hubungan, kehidupan, dan keindahan yang sementara.

Gunawan Maryanto
Puisi: Jineman Uler Kambang
Karya: Gunawan Maryanto
Biodata Gunawan Maryanto:
  • Gunawan Maryanto lahir pada tanggal 10 April 1976 di Yogyakarta, Indonesia.
  • Gunawan Maryanto meninggal dunia pada tanggal 6 Oktober 2021 (pada usia 45 tahun) di Yogyakarta, Indonesia.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.