Puisi: Ibu Pertiwi dan Royan Reformasi (Karya Hasan Aspahani)

Puisi "Ibu Pertiwi dan Royan Reformasi" karya Hasan Aspahani menggambarkan realitas yang pahit pasca-Reformasi di Indonesia.
Ibu Pertiwi dan Royan Reformasi


REFORMASI adalah bayi kurus yang lahir setelah
Ibu Pertiwi sekian lama ramai-ramai kita perkosa

Reformasi adalah bayi lemah yang tak bisa berjalan,
Ibu Pertiwi menanggung royan, merintih dan tersiksa

Reformasi adalah bayi kandung yang menangis, kita enggan
mengakui dan membesarkan, tak cukup kita beri perhatian

Reformasi adalah anak kesayangan yang kelaparan,
sementara kita berebut menumpuk cadangan makanan

Reformasi adalah luka pada tubuh Ibu Pertiwi, bernanah,
tak sembuh-sembuh, kita tutup mata dari linang airmatanya

Reformasi adalah hutan, tanah, gunung, lautan, yang tak
berhenti dicuri, kita tak peduli, kosong simpanan kekayaan

Reformasi adalah bayi sekarat yang tak mati-mati, kita
tak berhenti berusaha memisahkan tubuh dan nyawanya.


Analisis Puisi:
Puisi "Ibu Pertiwi dan Royan Reformasi" karya Hasan Aspahani adalah sebuah karya sastra yang menyampaikan pesan tentang kondisi politik, sosial, dan lingkungan di Indonesia pasca-Reformasi. Dalam puisi ini, penyair menggunakan metafora anak bayi untuk merujuk kepada kondisi Reformasi di Indonesia.

Pemberontakan dan Reformasi: Puisi ini menggambarkan Reformasi sebagai anak bayi yang lahir setelah pemberontakan rakyat. Reformasi dilihat sebagai hasil dari penindasan dan ketidakpuasan terhadap pemerintah sebelumnya. Pemberontakan tersebut, yang menurut penyair telah merugikan Ibu Pertiwi (simbol Indonesia), menciptakan keinginan akan perubahan.

Kelemahan dan Kelaparan Reformasi: Penyair menggambarkan Reformasi sebagai bayi yang lemah dan kelaparan. Hal ini menggambarkan kerentanan dan ketidakpastian yang melingkupi proses reformasi di Indonesia. Meskipun Reformasi menjanjikan perubahan yang lebih baik, namun dalam realitasnya, banyak pihak yang kecewa dengan perkembangannya.

Kurangnya Perhatian dan Perawatan: Puisi ini mencerminkan ketidakpedulian dan kurangnya perawatan terhadap Reformasi. Penyair berpendapat bahwa masyarakat dan pemerintah mungkin kehilangan minat terhadap gerakan reformasi ini seiring berjalannya waktu. Hal ini terlihat dalam kurangnya perhatian dan dukungan untuk menumbuhkembangkan Reformasi.

Penderitaan Ibu Pertiwi: Simbol Ibu Pertiwi menggambarkan Indonesia yang menderita akibat perubahan sosial, politik, dan lingkungan yang terjadi pasca-Reformasi. Tidak seperti bayi Royan (simbol Reformasi), Ibu Pertiwi harus menanggung penderitaan dan luka yang terus berlanjut.

Pencurian Sumber Daya Alam: Penyair juga menyoroti isu-isu lingkungan, seperti perusakan hutan, tanah, gunung, dan laut yang terjadi pasca-Reformasi. Puisi ini mengecam pengambilan sumber daya alam secara tidak bertanggung jawab yang telah merugikan Ibu Pertiwi. Hal ini mencerminkan ketidakpedulian terhadap lingkungan alam Indonesia.

Proses Reformasi yang Sulit: Puisi ini menggambarkan proses reformasi sebagai sesuatu yang sulit dan terus menerus. Reformasi adalah bayi yang "tak mati-mati," yang menunjukkan bahwa perubahan sosial dan politik membutuhkan waktu dan usaha yang berkelanjutan.

Kritik terhadap Masyarakat dan Pemerintah: Puisi ini menciptakan suasana kritik terhadap masyarakat dan pemerintah yang tampaknya telah kehilangan fokus dan perhatian terhadap perubahan yang dijanjikan oleh Reformasi.

Puisi "Ibu Pertiwi dan Royan Reformasi" adalah sebuah karya yang menggambarkan realitas yang pahit pasca-Reformasi di Indonesia. Penyair mengekspresikan keprihatinannya tentang ketidakpastian dan tantangan yang dihadapi dalam proses perubahan sosial dan politik. Puisi ini mendorong kita untuk lebih memahami dan merenungkan perkembangan Indonesia pasca-Reformasi.

Puisi
Puisi: Ibu Pertiwi dan Royan Reformasi
Karya: Hasan Aspahani

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.