Semua Telah Melihat
Padang luas yang meluas. Padang luas yang penuh mata. Ke mana
pun melangkah selalu ada yang mengikut. Dan paham apa-apa yang
bergerakan di bolak-baliknya hati. Dan apa-apa yang menjadikan
si pencatat tercekat. Mendekap kitab yang telah dicatatnya. Sebab
ada yang kurang lengkap ketika dihadapkan pada Sang Waktu.
”Tapi, ini sudah cocok dengan apa yang terlihat,” begitu bisik
si pencatat. Seperti bisik pada arah yang telah lepas. Tapi jawab
Sang Waktu: ”Sepertinya memang cocok. Tapi, itu masih sepertinya.
Bukan sebenarnya.” Si pencatat kembali tercekat. Terus mengubah
catatannya. Saat itu, padang luas yang meluas pun makin meluas.
Ke mana gerangan batas akhirnya. Ke mana juga nasib bagi yang kini
cuma menunggu arah turun, lurus, atau lompat itu. Memang, saat itu,
ada sepasang sayap terbang rendah. Warnanya putih. Putih memplak.
Lalu hinggap di punggung sosok yang buta. Yang dadanya terbuka.
Dan dari dada yang terbuka itu, siapa saja yang berkenan memasukkan
kepalanya, akan dapat melihat cuaca yang tenang, angin yang tenang,
dan taman yang juga tenang. Taman yang berpayung bianglala. Taman
yang berbisik: ”Apa yang akan tak terlihat, jika semua telah melihat.”
Gresik, 2018
Puisi: Semua Telah Melihat
Karya: Mardi Luhung