Merah Delima
Setiap aku tepekur. Setiap itu pula kau membayang. Kau yang dekat tapi jauh. Jauh tapi rasanya tak henti-henti mengelus. Mengelus dengan kedua tangan yang rahasia. Kedua tangan yang pernah menancapkan sebatang lidi ke tanah. Terus ditarik. Dan meluaplah sungai jernih yang segar di sebelahku. Sungai yang ketika aku gunakan bercermin, kaulah yang terpantul. Sungai yang ketika aku renangi, kaulah yang menyangga. Agar aku selalu mengambang. Tak tenggelam.
Setiap aku telentang. Setiap itu pula kau meniup. Meniup kedua kelopak mataku agar terkatup. Agar terkerut segenap yang berkeriap. Padam segenap yang terpandang. Lalu membiarkan apa-apa yang masih menempel. Melayang ke kamar. Kamar yang selalu kau bersihkan. Dan selalu kau ganti warna dan hiasannya dengan yang baru. Sebaru kamar pengantin. Sambil menukas: ”Biarkan yang baru jadi lebih-baru. Dan yang lebih-baru jadi yang lebih-baru-lagi.”
Dan setiap aku terlelap. Setiap itu pula kau menyodorkan pintu. Lalu tukasmu lagi: ”Ini pintu lain, masukilah.” Dan ketika masuk, aku merasa rahimku menumbuh. Padahal, aku lelaki. Jadinya, aku lelaki sekaligus perempuan. Lalu, manakah yang akan kau terima: kelelakianku atau keperempuananku. Atau keduanya? Akh, kau cuma tersenyum. Terus bersiul ceria. Seceria gesek fajar di ufuk timur. Gesek fajar yang pelan-pelan meluas. Semeluas beludru yang berwarna merah delima.
Gresik, 2018
Puisi: Merah Delima
Karya: Mardi Luhung