Puisi: Lintasan (Karya Mardi Luhung)

Puisi "Lintasan" karya Mardi Luhung merangkum perjalanan batin dan pengalaman spiritual seseorang selama bulan puasa, mengeksplorasi kerinduan, ...
Lintasan
(: ali, kholil, bapak, dan hujan)

Ini masih puasa ketiga-belas. Tapi aku menyangka sudah kedua-puluh-lima. Pagi dan sore yang menjenguk tak aku kenali. Sebab, terang yang melingkupinya terlihat mirip. Aku melihat jalanan. Dan aku melihat kaki-kaki bergegasan. Kaki-kaki yang maju, menyamping, dan mundur. Seperti ingin bertabrakan, tapi tak jadi-jadi. Sedang, di angkasa yang cemerlang, awan-awan berarak dalam rupa yang berubah-ubah. Rupa yang tak terkuntit.

Aku, aku, juga melihat seekor kucing di depan pintu. Kucing putih yang juga melihatku. Kucing putih yang kemarin seperti disusupkan ke hangat selimutku. Seperti setangkup melati yang disusupkan seseorang. Seseorang yang begitu indah, meski tak pernah aku peluk. Seseorang yang kerap aku lukai, tapi selalu mendinginkan gunung berapi di debarku. Gunung berapi yang jika bergeser sepetak saja, membuat tanah yang aku pijak beterbangan.

Di dalam puasa, memang, aku cuma mahir merasa. Dan kemahiran itu pelan-pelan meluas. Dan pelan- pelan ingin menampung apa saja yang ada. Sekaligus mengikatnya dalam simpul yang rumit. Simpul yang pernah dirindukan perairan untuk menjadi urat-urat di lekuk-wujudnya. Urat-urat yang ketika waktunya tiba, akan menjelma jadi ratusan merpati. Ratusan merpati yang berseliweran di atas kepalaku. Kepala yang bundar dan lentur.

"Hoi, apakah kau tak melihat, jika aku cuma berada di tempat? Dan cuma menggambari udara dengan ketak-galiban nyali?" Sepertinya, kau melihatku bukan dengan telisikan yang tajam. Tapi keterpejaman yang menganggap, jika aku adalah si lain. Yang diam-diam ingin menukas: "Puasa, puasa, jangan kau permainkan aku!" Si lain, yang ketika menjelang berbuka, pun menangis. Terus mengabarkan tangisannya ke pelataran bintang-bintang.

Agar dapat menjadi tetanda. Atau semacam tilas. Jika di dalam puasa, ternyata ada juga yang begitu susah untuk digandeng. Sebab, selalu memilih sendiri: ke mana dan pada siapa mesti menepi. Dan pada siapa pula mesti dibisikkan, jika gorden- gorden yang terpajang adalah potongan kafan yang sesekali bergoyang. Dan sesekali yang lain kaku. Sekaku lintasan yang tak mungkin dibelokkan. Lintasan yang begitu merindukan hujan yang pertama.

Gresik, 2015

Analisis Puisi:

Puisi "Lintasan" karya Mardi Luhung adalah perjalanan introspektif dalam suasana bulan puasa, mengeksplorasi pengalaman internal dan persepsi terhadap dunia sekitarnya.

Persepsi Waktu: Puisi ini dibuka dengan penyangkaan bahwa bulan puasa sudah berlangsung lebih lama daripada kenyataannya, menyoroti bagaimana waktu tampak memperlahankan dirinya selama masa puasa. Ini mencerminkan pengalaman subjektif di mana waktu terasa memanjang, menyoroti pengalaman spiritual yang intens selama ibadah.

Pemandangan Sehari-hari: Penyair menggambarkan pemandangan sehari-hari yang biasa, seperti jalanan dan kaki-kaki yang bergegas. Namun, dia melihatnya dengan kepekaan yang meningkat selama puasa, menunjukkan perubahan persepsi dan pengalaman sensorik yang lebih dalam.

Simbolisme Kucing: Kucing putih dalam puisi ini mungkin melambangkan kehadiran spiritual atau penjagaan yang lembut, menawarkan kenyamanan dan kehangatan di tengah puasa yang keras. Kucing tersebut mungkin juga merupakan simbol kehadiran seseorang yang diinginkan penyair, yang memberikan kedamaian meskipun jauh.

Kehadiran dan Kesendirian: Penyaimerenungkan tentang kehadirannya di dunia dan perannya dalam puasa. Dia merasa seakan-akan terpisah dari realitas sehari-hari, merasa terpisah dan kesepian dalam pencariannya akan makna spiritual.

Permintaan Keterlibatan: Penyaimenyuarakan kebutuhan untuk diakui, untuk dipahami, dan untuk tidak diabaikan dalam pengalaman spiritualnya. Dia memanggil perhatian kepada pembaca, meminta mereka untuk melihatnya dan mendengarkan kerinduannya dalam perjalanan spiritualnya.

Simbolisme Hujan Pertama: Akhir puisi mengekspresikan rindu akan pertemuan yang mendalam dengan spiritualitas, melalui gambaran hujan pertama yang merindukan penyegaran dan kesucian. Ini menandai keinginan untuk transformasi dan pembaharuan dalam pengalaman puasa.

Puisi ini merangkum perjalanan batin dan pengalaman spiritual seseorang selama bulan puasa, mengeksplorasi kerinduan, kesendirian, dan pencarian makna dalam keterbatasan dan kelebihan spiritualnya. Dengan menggunakan gambaran alam dan pengalaman pribadi, penyaimenciptakan narasi yang mendalam dan merenungkan tentang makna puasa dalam kehidupan manusia.

Mardi Luhung
Puisi: Lintasan
Karya: Mardi Luhung

Biodata Mardi Luhung:
  • Mardi Luhung lahir pada tanggal pada 5 Maret 1965 di Gresik, Jawa Timur.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Batas Pemuda ganteng itu tak langsung pergi. Pelan-pelan sepasang sayapnya dilepas dan diletakkan di beranda. Katanya: "Izinkan sejenak aku rehat di sini. Sebelum kembali mengh…
  • Weton (: cerita mirammastra) Jika esok malam laut pasang datang, tolong pandanglah dengan jelas. Sebab, pada laut pasang, aku akan menyerahkan umurku. Umur yang telah terp…
  • Kolam yang Terbikin dari Uap Kolam yang terbikin dari uap penuh ikan-kelabu-licin, yang matanya persis lilin dengan nyala yang tersulut dari nafasmu dan nafasmu ada…
  • Perempuan Nila "Aku selalu memburu. Aku tak bisa diburu!" Ya, orang anonim mengelak. Dipikir pulau hanya kebun taruhan. Kartu dikocok. Dan puisi selalu datang setiap Sabtu. Setel…
  • Bapakku telah Pergi Bapakku telah pergi menemui pembakaran ruang suci tempat selesaian tapi ekor-ekor yang ditinggalnya membelit tubuhku menciptakan jarak, yang ujung…
  • Kupu-Kupu Merah Si pesulap mengunyah kembang. Ketika dimuntahkan menjelma jadi kupu-kupu. Kupu-kupu merah. Semerah mata si nekat sebelum memasuki bentangan mural di tembok-te…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.