Puisi: Kupu-Kupu Merah (Karya Mardi Luhung)

Puisi "Kupu-Kupu Merah" karya Mardi Luhung ini mengeksplorasi tema perubahan, penderitaan, dan harapan.
Kupu-Kupu Merah

Si pesulap mengunyah kembang. Ketika dimuntahkan menjelma jadi kupu-kupu. Kupu-kupu merah. Semerah mata si nekat sebelum memasuki bentangan mural di tembok-tembok. Bentangan mural yang dilukis oleh tangan yang melayang. Tangan yang jika dipandang, akan mengingatkan pada tangan si ibu yang mengelus kening si anak. Sebelum para penjemput datang. Membawa si anak ke dalam kegelapan. Kegelapan yang penuh dengan teriakan dan erangan. Juga sumpah dan keputus-asaan. Lalu si pesulap memlester mulut sendiri. Lima sosok yang kukuh bermuncul - saling berkebat. Lihat, tubuh si pesulap ditendang. Juga dilempar. Juga diinjak. Juga, astaga, dipotong dengan gergaji. Tapi, sebelum sampai batas, asap menebah. Tubuh si pesulap lenyap. Tapi bagi siapa saja yang sempat melirik, akan merasa ada si anjing yang menguntitnya. Bersiap di tengah. Tanpa plester di mulut. Sampai si anjing terjengkang. Dan si gadis menghambur ke pelukan si pesulap. Seperti menghamburnya musim hangat ketika menggusur musim dingin. Waktu itu, tepuk tangan menggema. Tapi kupu-kupu merah yang telah dimuntahkan si pesulap tak pernah lagi melintas.

Gresik, 2016

Analisis Puisi:

Puisi "Kupu-Kupu Merah" karya Mardi Luhung menawarkan sebuah eksplorasi mendalam tentang fantasi, kekejaman, dan harapan melalui simbolisme yang kuat dan narasi yang surreal. Dengan memanfaatkan elemen-elemen teater dan sihir, puisi ini menciptakan sebuah pengalaman membaca yang penuh warna dan makna.

Transformasi dan Fantasi

  • Pesulap dan Kupu-Kupu: "Si pesulap mengunyah kembang. Ketika dimuntahkan menjelma jadi kupu-kupu. Kupu-kupu merah." Memulai puisi ini dengan gambaran pesulap yang mengunyah kembang dan menjelma menjadi kupu-kupu merah, Luhung menyajikan transformasi yang penuh dengan keajaiban. Kupu-kupu merah menjadi simbol dari perubahan dan transformasi, sering kali terkait dengan keindahan dan keterbatasan waktu. Warna merah yang mencolok bisa merujuk pada kekuatan, emosi yang mendalam, atau bahaya.
  • Bentangan Mural dan Tangan Ibu: "Sebemerah mata si nekat sebelum memasuki bentangan mural di tembok-tembok. Bentangan mural yang dilukis oleh tangan yang melayang. Tangan yang jika dipandang, akan mengingatkan pada tangan si ibu yang mengelus kening si anak." Bentangan mural, yang digambarkan sebagai karya seni yang dilukis oleh tangan yang melayang, menjadi latar belakang yang menyentuh memori dan kasih sayang ibu. Tangan ibu memberikan rasa perlindungan dan kenyamanan sebelum anak diambil oleh kegelapan, menggambarkan rasa aman yang tiba-tiba direnggut.

Kegelapan dan Kekejaman

  • Kegelapan dan Kegelapan: "Kegelapan yang penuh dengan teriakan dan erangan. Juga sumpah dan keputus-asaan." Puisi ini bergerak menuju sisi gelap dari pengalaman manusia, menggambarkan kegelapan sebagai tempat penuh penderitaan dan kehampaan. Teriakan dan erangan menciptakan suasana yang penuh dengan ketegangan emosional dan ketidakpastian.
  • Siksaan Pesulap: "Lalu si pesulap memlester mulut sendiri. Lima sosok yang kukuh bermuncul - saling berkebat. Lihat, tubuh si pesulap ditendang. Juga dilempar. Juga diinjak. Juga, astaga, dipotong dengan gergaji." Pesulap, yang sebelumnya menjadi simbol transformasi, kini menjadi korban kekejaman. Adegan-adegan kekerasan ini menyoroti kontradiksi antara keajaiban dan penderitaan, serta antara penampilan dan kenyataan.

Simbolisme dan Kesimpulan

  • Asap dan Hilangnya Pesulap: "Tapi, sebelum sampai batas, asap menebah. Tubuh si pesulap lenyap. Tapi bagi siapa saja yang sempat melirik, akan merasa ada si anjing yang menguntitnya." Asap yang menebah menandakan perubahan mendalam atau akhir dari suatu fase. Hilangnya tubuh pesulap dan kehadiran anjing yang menguntit menciptakan misteri dan kekacauan, menambah dimensi surreal pada puisi ini.
  • Persepsi dan Harapan: "Seperti menghamburnya musim hangat ketika menggusur musim dingin. Waktu itu, tepuk tangan menggema. Tapi kupu-kupu merah yang telah dimuntahkan si pesulap tak pernah lagi melintas." Kesimpulan puisi ini mengarah pada harapan dan perayaan, dengan tepuk tangan yang menggema sebagai simbol pengakuan atau penghargaan. Namun, kupu-kupu merah, simbol dari transformasi dan keajaiban, tidak pernah lagi melintas, meninggalkan jejak yang tidak terpecahkan dalam memori pembaca.
Puisi "Kupu-Kupu Merah" karya Mardi Luhung adalah sebuah karya yang penuh dengan simbolisme dan imajinasi. Dengan menggunakan gambaran pesulap, kupu-kupu merah, dan kekejaman sebagai elemen sentral, puisi ini mengeksplorasi tema perubahan, penderitaan, dan harapan. Melalui narasi yang surreal dan metafora yang kuat, Luhung berhasil menciptakan sebuah pengalaman membaca yang mendalam dan reflektif, mendorong pembaca untuk merenung tentang dualitas kehidupan dan keajaiban yang terkadang terabaikan dalam kegelapan.

Mardi Luhung
Puisi: Kupu-Kupu Merah
Karya: Mardi Luhung

Biodata Mardi Luhung:
  • Mardi Luhung lahir pada tanggal pada 5 Maret 1965 di Gresik, Jawa Timur.
© Sepenuhnya. All rights reserved.