Puisi: Ketika (Karya Mardi Luhung)

Puisi: Ketika Karya: Mardi Luhung
Ketika

Ketika ayahku wafat: dibakar. Dan ketika ibuku yang wafat: dikubur. Dan abu ayahku disebar ke laut. Sedangkan, nisan ibuku ada di gunung. Dekat telaga. Keduanya terpisah. Tapi sesekali datang padaku. Datang berpasangan. Bergandengan.

Ayahku tertawa. Ibuku juga tertawa. Keduanya persis remaja pulang belajar. Saling colek dan pandang. Juga saling memerhatikan. “Kerah bajumu nyelip,” tukas ibuku. “Ada guguran putik di keningmu,” balas ayahku. Terus berangkulan.

Lalu keduanya duduk di depanku. Wangi melati menyeruak. Bentukbentuk silih berganti. Silih jelma. Dari marmut ke burung, ke naga, ke unta, ke macan, ke belalang, ke laron, ke kucing, ke ayam. Dan ayam bertelur. Telur menetas. Lahir anak ayam.

“Dari dulu, kami memang penyuka ayam,” kata ayahku. “Malah ketika kami memeliharanya di halaman belakang, kau suka melihatnya, bukan?” tambah ibuku. Aku cuma tersenyum. Tapi merasa, ayahku dan ibuku kini berkilau.

Dan itu kilau apa? Dari jenis apa? Aku tak bisa menduganya. Yang jelas, kilau itu meluncur ke diriku. Melubanginya dengan pelan. Dengan hangat. Dengan lembut. Selembut rentangan tali tipis dari napas ke Maut. “Anak kita sudah dewasa, ya?

Dan itu penutup yang aku dengar. Siapa yang mengucapnya? Ayahku atau ibuku? Barangkali keduanya. Barangkali juga bukan keduanya. Hmm, ada laut yang mendekati gunung. Ada gunung yang melingkupi laut.

Dan ada aku yang melihatnya. Seperti siapa saja yang melihat semesta, yang sesekali kelak akan datang padanya, dengan berpasangan.

Gresik, 2012
Puisi: Ketika
Puisi: Ketika
Karya: Mardi Luhung
© Sepenuhnya. All rights reserved.