Puisi: Asma Kinarya Japa (Karya Gunawan Maryanto)

Puisi "Asma Kinarya Japa" karya Gunawan Maryanto mengajak pembaca untuk merenung dan menyelami kompleksitas kehidupan, waktu, serta kenangan.
Asma Kinarya Japa
(Nama-namamu Menjadi Doaku)

(1)

Dukamu tidak abadi, kan?
Itu hanya terjadi dalam sebaris puisi
Atau igauan seorang majenun
Namamu barangkali, dalam ingatanku

Sungguh aku tak ingin jatuh cinta
Udara memburuk
Cahaya meredup
Ia terlalu mencemaskan


(2)

Ambil wayang itu, Nak
Raksasa hutan yang sedih
Atau punakawan yang jenaka
Nanti kita mainkan dan
Kelir kita bentang
Untuk malam kita yang tak panjang

Sudah kautemukan mereka dalam kotak?
Upacara akan segera dimulai
Nama-nama mesti diruwat
Ya, namamu juga
Agar suatu kali kita bisa bermain lagi


(3)

Odong-odong kita telah siap
Lampu-lampumu menyala
Lampu-lampuku menyala
Inti malam tengah kita masuki
Entah siapa duluan sampai


(4)

Seminggu kaukenakan baju-bajuku
Untuk duduk di samping gudang
Maaf aku tak bisa menemanimu
Akhirnya kematian yang datang
Ringan membawamu pergi
Tak kubaca isyarat rindumu
Orang lain yang menemukannya


(5)

Tiga puluh tahun membatu
Rumput tumbuh di sekujur tubuhmu
Ingatan adalah kupu-kupu yang terbang

Pada sore yang lengang
Umpama aku tak pergi mungkin kau tak pergi
Roboh pohon melinjo belakang rumah
Nasibnya menimpa seisi kolam
Aku datang di Minggu yang tenang
Minggu yang tak pernah pergi lagi
Ingatan adalah kupu-kupu yang terbang


(6)

Fobia menggantung di langit kamarmu
Abai pada waktu atau
Rabu yang tak tentu
Aku tak ada di sana, percayalah
Hanya dingin yang seperti abadi

Wah, malam ini gelap sekali
Aku di sini menyusun namamu
Rajah yang mudah dibaca
Dengan hati terbuka
Ajag bagi malam yang kesepian
Nubuat sederhana
Ibar-ibar di sungai kecil saja


(7)

Sajak-sajak lawas
Rawa-rawa yang tak bisa diselami
Ingin kutulis kembali

Que sera sera nyanyimu membuka
Adegan pertama juga terakhir
Drama Erendira dan angin petakanya
Ambang antara tidur dan jaga
Rumah yang tiba-tiba terbakar
Impian yang tak pernah menjadi nyata
Angin jahanam yang keburu merajam tubuhnya
Tak ada yang tersisa barangkali
Ingatan bahkan terkubur dalam
Nyanyian angin Oktober yang santer


(8)

Kembang sepasang datang
Ambal digelar sepanjang petang
Larik-larik puisi itu jatuh
Ya, jadi sepasang tubuh
Anjani dan Amba

Rintik hujan melintas
Ilalang menahan cemas
Samadimu, Anjani
Amarahmu, Amba
Nyala cinta tak.mati-mati
Gemetar dendam tak sudah-sudah
Di Telaga Madirda di Tegal Kuru
Angin berhenti menderu
Rumputan diam membeku
Untuk sepasang kembang yang datang


(9)

Yuwana kita habiskan
Untuk keabadian? Bukan
Dramamu adalah keriuhan
Ikal kenyataan berkelindan

Aku berlarian menemu bentuk
Hadir dalam segenap ruang
Menjadi apa yang seharusnya
Aktor, penulis, sutradara
Dan seorang pejalan

Tumbuh adalah kata-kata yang kautanam
Awal seluruh perjalanan
Je, tak bisa kuringkas kau dalam berkas
Ular-ularmu panjang tak berbatas
Dunia yang kita tatap
Imbal sedari awal
Nyeri sedari lahir


(10)

Duduk di taman kota
Ini malam Gangga beralih rupa
Nyalang menatap bintang-bintang
Air mengalir dari sekujur tubuhnya

Oh, Santanu yang meragu
Kuhanyutkan bayi-bayiku
Tubuhku bukan rumah
: Aliran sungai tanpa arah
Venus yang tersisa pada pagi
Ia tahu yang sungguh terjadi
Anjing itu mati di jalanan
Nama itu menjadi sepi
Ia tengah jatuh cinta.


Analisis Puisi:
Puisi "Asma Kinarya Japa" karya Gunawan Maryanto adalah kumpulan sepuluh bagian puisi yang mengeksplorasi berbagai tema, mulai dari kehidupan sehari-hari hingga refleksi mendalam tentang eksistensi manusia.
  1. Dukamu tidak abadi, kan?: Puisi ini d buka rangkaian karya dengan pertanyaan retoris tentang keabadian dukacita. Penyair menyajikan perasaan pahit dan pesimisme terhadap cinta, menggambarkan suasana yang suram dan mengganggu.
  2. Ambil wayang itu, Nak: Bagian kedua menggambarkan gambaran wayang, mungkin sebagai metafora kehidupan. Ada sentuhan nostalgia dan keinginan untuk kembali bermain bersama, menciptakan suasana yang puitis dan mendalam.
  3. Odong-odong kita telah siap: Puisi ini membawa pembaca ke suasana yang lebih ceria dan mungkin merujuk pada kenangan masa kecil yang penuh kebahagiaan. Namun, ada juga elemen misteri dengan pertanyaan mengenai siapa yang sampai duluan.
  4. Seminggu kaukenakan baju-bajuku: Bagian ini menciptakan gambaran terkait penuaan dan perubahan melalui penggunaan metafora seperti "kematian yang datang" dan "ringan membawamu pergi." Ada nuansa kehilangan dan kesepian yang melankolis.
  5. Tiga puluh tahun membatu: Puisi ini mengeksplorasi tema waktu, keberlanjutan hidup, dan kenangan. Metafora kupu-kupu yang terbang menciptakan gambaran indah tentang ingatan dan bagaimana waktu memengaruhi segala sesuatu.
  6. Fobia menggantung di langit kamarmu: Bagian ini menghadirkan atmosfer gelap dan misterius dengan sentuhan fobia dan dingin yang seperti abadi. Penyair tampaknya menyusun sesuatu untuk malam yang kesepian, menciptakan nuansa yang kompleks.
  7. Sajak-sajak lawas: Puisi ini mengusik kenangan masa lalu, menghadirkan gambaran yang melibatkan peristiwa dan tempat-tempat tertentu. Ada nuansa nostalgia dan keinginan untuk menulis kembali sajak-sajak yang terlupakan.
  8. Kembang sepasang datang: Bagian ini memunculkan elemen- elemen alam, seperti hujan, ilalang, dan tubuh sepasang kembang. Metafora ini menciptakan suasana romantis dan alam yang hidup, menciptakan nuansa keindahan dan keharmonisan.
  9. Yuwana kita habiskan: Puisi ini menciptakan gambaran tentang perjalanan hidup, mengeksplorasi tema keabadian dan peran setiap individu sebagai aktor, penulis, sutradara, dan pejalan. Ada juga penerimaan akan nyeri dan perubahan dalam hidup.
  10. Duduk di taman kota: Puisi terakhir menyajikan gambaran malam yang indah dan penuh refleksi. Ada sentuhan mitologi India dengan menyebut nama "Santanu." Penyair menghadirkan suasana yang kompleks dan merenung, dengan referensi kepada kehidupan dan kematian.

Tema

  1. Waktu dan Kehidupan: Puisi ini secara konsisten mengeksplorasi tema waktu, kenangan, dan perubahan dalam kehidupan. Penyair merenungkan perjalanan hidup, mulai dari masa kecil hingga penuaan.
  2. Nostalgia: Sentuhan nostalgia hadir dalam beberapa bagian puisi, menciptakan citra-citra masa lalu dan keinginan untuk merenungi serta mengulang kembali momen-momen tersebut.
  3. Kehidupan dan Kematian: Ada pemikiran mendalam tentang kehidupan dan kematian, terutama dalam bagian yang merujuk pada elemen mitologi India, seperti nama "Santanu." Puisi menyentuh tema tentang siklus kehidupan dan kematian.

Gaya Bahasa

  1. Metafora dan Simbolisme: Penggunaan metafora dan simbolisme kuat memberikan dimensi estetika yang mendalam pada puisi. Misalnya, kupu-kupu sebagai simbol ingatan dan wayang sebagai metafora kehidupan.
  2. Bahasa yang Puitis: Bahasa puisi ini puitis dan mengandung kekayaan imaji, memperkaya pengalaman pembaca dalam membayangkan setiap nuansa dan gambaran yang disajikan.
Puisi "Asma Kinarya Japa" karya Gunawan Maryanto mengajak pembaca untuk merenung dan menyelami kompleksitas kehidupan, waktu, serta kenangan. Dengan gaya bahasa yang puitis dan penggunaan simbolisme yang mendalam, setiap bagian puisi menciptakan dunia yang kaya makna dan nuansa. Tema nostalgia, kehidupan, dan kematian memberikan dimensi yang mendalam pada karya ini.

Gunawan Maryanto
Puisi: Asma Kinarya Japa
Karya: Gunawan Maryanto
Biodata Gunawan Maryanto:
  • Gunawan Maryanto lahir pada tanggal 10 April 1976 di Yogyakarta, Indonesia.
  • Gunawan Maryanto meninggal dunia pada tanggal 6 Oktober 2021 (pada usia 45 tahun) di Yogyakarta, Indonesia.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Lagu Sebuah dari mana hendak ke mana dari entah ke entahlah lagu nenek moyang lagu nan panjang menggelombang lagu raungan memedih terbang dari kerak ngar…
  • Sangsaikusangsaiku terpanggang di tungku malamlarutlarut waktuku dipanggang bara sangsaiberatberat beban membenam bahu malam tanpabulanbulan-bulan berlalu menyebarkan ranjaubalauba…
  • Tetapi Begitulah, sehabis berbincang dengan semut yang pendiam itu aku pun sempat terdiam sesaat, mengenang entah apa-apa yang sempat terluput dalam hidup. Barangkali …
  • Luka Itu Aneh Sekaliluka itu aneh sekali, dia menangis diam-diamketika embun luruh dinihari, sebelum gema adzan.dan kemudian dia menyeka nanahnya, juga diam-diamketika mentari berc…
  • Gairah Kiamat (I) Dalam tidur dan jagaku dua milyar tetes air menggelepar di mataku dan bau anyir dagingku dagingmu lapar wewangian seteru Dalam tidur dan jag…
  • Kuda Hujan malam dalam kelam Kelam berkawan lampu jalanan Tiba-tiba aku jadi luka kuda Memacu gigil dan luka Entah ke mana 1978Sumber: Wajah Kita (1981)…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.