Puisi: Ular-Tangga (Karya Mardi Luhung)

Puisi "Ular-Tangga" karya Mardi Luhung menggambarkan bagaimana hidup adalah perjalanan yang penuh dengan tantangan dan perubahan.
Ular-Tangga
(merah-mudanya lan fang)

Kau pergi ke bulan. Dengan gairah dan bualan yang pernah mengawetkan jalur sulur air matamu. Sebab di inangmu, kau telah bosan menunggu dia. Dia yang akan turun dengan langkah-langkahnya yang berjingkat. Berjingkat dengan seluruh kegemetaran di rahangnya. Yang akan mengunyah tiap inci tubuhmu. Kunyahan yang selalu kembali dimuntahkannya kecil-kecil. Untuk kemudian dibentuknya lagi. Ketika pagi tiba. Dan ketika encikmu, si penghafal Yasin itu, menceritakan hidupnya: Hidup yang ingin jadi pengiman. Sebab tak ingin sekedar berdagang beras dan kelontong kiloan. Tapi runtukmu: "Mengapa, mengapa dia cuma mau mengunyahku. Mengapa tidak sekalian melahapnya?" Dan matamu yang sipit seakan terjepit itu pun terus saja mengarah ke langit. Mengarah ke setiap titik angkasa. Titik yang begitu lenggang. Seperti lenggangnya gaun satin Kwan Im. Saat dijadikan pembungkus potongan dua belah lengannya sendiri. Ketika dipinta si raja. Sebagai obat penawar (yang akan dikeringkan dan ditumbuk) bagi sebuah pagebluk yang telah digariskan oleh siasat. Oleh semacam permainan ular-tangga yang berhasrat menjungkirkan isyarat mandala istana. Tapi ketika bulan sudah tampak, mengapa tiba-tiba gairahmu buyar? Buyar menjadi biji-biji warna yang berlesatan. Membuat angkasa benderang. Benderang seperti sirip bianglala yang terbuka. Oh, di antara bukaan-bukaannya itu, kau pun lagi-lagi kembali cuma mendengar suara encikmu, si penghafal Yasin itu. Si penghafal tentang hari akhir dan perkaliannya. Serta sebuah penghalang, yang seandainya dipasang, tentu akan membuatmu tak akan bisa ke atas dan ke bawah. Diam di tempat. Seperti diamnya sebentang papan ular-tangga yang tergeletak. Ditinggalkan teka-teki kejelian dan keraguan dadunya!

Gresik, 2008

Analisis Puisi:

Mardi Luhung, dalam puisi "Ular-Tangga," menghadirkan sebuah dunia yang penuh dengan metafora dan simbolisme, menggambarkan kompleksitas emosi dan pengalaman manusia. Puisi ini menggunakan permainan ular-tangga sebagai analogi untuk menggambarkan perjuangan hidup, keputusasaan, harapan, dan siklus yang terus berulang.

Gairah dan Bualan: Awal Perjalanan

Kau pergi ke bulan. Dengan gairah dan bualan yang pernah mengawetkan jalur sulur air matamu. Pada bagian awal puisi, penulis menggambarkan keinginan yang membara untuk meraih sesuatu yang lebih tinggi, sesuatu yang mungkin tampak mustahil. Perjalanan menuju bulan ini merupakan metafora dari usaha keras dan ambisi yang tinggi. Namun, perjalanan ini bukan tanpa rintangan dan kesulitan. Ada rasa bosan dan keputusasaan yang dirasakan karena menunggu seseorang yang tidak kunjung datang.

Encik si Penghafal Yasin: Simbol Kehidupan Tradisional dan Keyakinan

Encikmu, si penghafal Yasin itu, menceritakan hidupnya: Hidup yang ingin jadi pengiman. Sebab tak ingin sekedar berdagang beras dan kelontong kiloan. Encik dalam puisi ini melambangkan kehidupan yang penuh dengan keyakinan dan spiritualitas, namun juga keterbatasan. Keinginan untuk menjadi lebih dari sekadar pedagang biasa mencerminkan aspirasi yang tinggi, tetapi juga ketidakpuasan terhadap kondisi hidup yang stagnan.

Ular-Tangga: Permainan Hidup yang Penuh Tantangan

Permainan ular-tangga dalam puisi ini menjadi simbol utama yang menggambarkan kehidupan sebagai permainan yang penuh dengan naik dan turun. Ketika dipinta si raja. Sebagai obat penawar (yang akan dikeringkan dan ditumbuk) bagi sebuah pagebluk yang telah digariskan oleh siasat. Kehidupan digambarkan sebagai sesuatu yang diatur oleh takdir dan nasib, di mana setiap langkah bisa membawa kita ke atas atau menjatuhkan kita ke bawah. Permainan ini mencerminkan ketidakpastian hidup dan bagaimana kita sering kali merasa seperti bidak dalam permainan yang lebih besar.

Gairah yang Buyar: Kekecewaan dan Realitas

Tapi ketika bulan sudah tampak, mengapa tiba-tiba gairahmu buyar? Buyar menjadi biji-biji warna yang berlesatan. Membuat angkasa benderang. Bagian ini menggambarkan kekecewaan yang muncul ketika apa yang diharapkan tidak tercapai. Gairah yang buyar menjadi simbol dari harapan dan impian yang pecah, menyadarkan kita pada realitas yang keras. Namun, di balik kekecewaan ini, ada juga momen-momen pencerahan yang datang seperti sirip bianglala yang terbuka.

Penutup: Diam di Tempat

Diam di tempat. Seperti diamnya sebentang papan ular-tangga yang tergeletak. Ditinggalkan teka-teki kejelian dan keraguan dadunya! Penutup puisi ini menghadirkan perasaan stagnasi dan ketidakpastian. Seperti papan ular-tangga yang ditinggalkan, kehidupan terkadang terasa seperti tidak bergerak, penuh dengan keraguan dan teka-teki yang belum terpecahkan.

Puisi "Ular-Tangga" karya Mardi Luhung adalah refleksi mendalam tentang kehidupan yang penuh dengan harapan, kekecewaan, dan ketidakpastian. Menggunakan permainan ular-tangga sebagai metafora, Luhung berhasil menggambarkan bagaimana hidup adalah perjalanan yang penuh dengan tantangan dan perubahan. Melalui simbolisme dan narasi yang kaya, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang perjalanan mereka sendiri dan bagaimana mereka menghadapi setiap naik dan turun dalam kehidupan.

Mardi Luhung
Puisi: Ular-Tangga
Karya: Mardi Luhung

Biodata Mardi Luhung:
  • Mardi Luhung lahir pada tanggal pada 5 Maret 1965 di Gresik, Jawa Timur.
© Sepenuhnya. All rights reserved.