Puisi: Ritus Hujan (Karya Ahmad Nurullah)

Puisi "Ritus Hujan" karya Ahmad Nurullah mengeksplorasi tema kompleks tentang tubuh, sejarah, dan konflik geopolitik melalui gambaran hujan sebagai ..
Ritus Hujan

"Tubuh adalah jejak sejarah yang lezat, sekaligus pedih," bisikmu,
sepertinya baru mengerti. Tapi istrimu, mungkin, tak mengerti.

Di luar, angin gelisah. Di ruang keluarga, di bawah geruyuk hujan,
anak-anak ribut, tv berbisik: Baghdad jatuh! Saddam lenyap -
di antara puing-puing, tank-tank, kata-kata, dan mayat-mayat.

Tapi di Gedung Putih, Bush masih sibuk: menenggak sebotol coke
menyusun lembar pidato. Dan tahu: di luar yang jauh, di Irak
orang-orang berhambur, menjerit, berteriak -
di bawah langit yang berasap. Di antara gedung-gedung yang koyak
Di atas bumi yang kuyup oleh api.

Di kamar, istrimu merajuk. "Matikan tv itu, Mas," katanya.
Sebuah dunia pun mati. Anak-anak terlelap. Dan perlahan, seperti
langkah ular, jemari halus itu mulai menularkan gatal kelenjar
pada sendi-sendi tubuhmu. Atau sesuatu yang tersembunyi
di dalam tubuhmu: Syahwat - pusat sejarah
Sumbu dari semua kisah tentang
kepedihan. Tentang kepahlawanan
Tentang keagungan. Tentang ketololan-ketololan.

Waktu adalah detik-detik yang panas, urat-urat yang tegang
Kau meluap. Istrimu mengerang
Mimpi-mimpi yang sesak, lepas
Seperti gerombolan rengat berhambur
ke udara: Kebisingan lenyap. Ruang-waktu acak
Dunia ditarik dalam suatu kemiringan yang sempurna.

Pada sebuah detik yang curam, kau jatuh. Ubunmu berasap
Dunia perlahan kembali menyusun dirinya. Kebisingan pulih
Kata-kata kembali menemukan makna. Juga benda-benda.

Istrimu terkulai. Kau terempas. Waktu kembali
terdengar nyaring berdetak. Suatu tanda:
Benih-benih sejarah sudah ditanam. Bahwa kebisingan
belum usai. Bahwa tiran yang lain mungkin besok
akan datang.

Jakarta, 2003

Analisis Puisi:

Puisi "Ritus Hujan" karya Ahmad Nurullah mengeksplorasi tema kompleks tentang tubuh, sejarah, dan konflik geopolitik melalui gambaran hujan sebagai metafora perubahan dan kegelapan dalam kehidupan manusia.

Tubuh Sebagai Jejak Sejarah: Penyair memulai puisi dengan pengantar yang menyentuh tentang tubuh sebagai "jejak sejarah yang lezat, sekaligus pedih". Ini merujuk pada kompleksitas pengalaman manusia yang mencakup kebahagiaan dan penderitaan, serta bagaimana tubuh menyimpan ingatan dan jejak pengalaman tersebut.

Konflik dan Ketidakpedulian: Puisi menyoroti konflik di Irak pada masa itu, dengan gambaran puing-puing, tank-tank, dan mayat-mayat. Namun, ketidakpedulian tampaknya ada di Gedung Putih, di mana Presiden Bush tetap sibuk dengan rutinitasnya, menunjukkan ketidakseimbangan dalam perhatian dan empati terhadap penderitaan orang lain.

Kehidupan Sehari-hari vs Kengerian Dunia Luar: Ketika di dalam rumah, kehidupan sehari-hari berlangsung, di luar, dunia dilanda kekerasan dan kehancuran. Ini mencerminkan kontras antara dunia pribadi dan realitas global yang seringkali tidak selaras.

Simbolisme dan Metafora Hujan: Hujan digambarkan sebagai simbol kegelapan, kehancuran, dan kebingungan, yang mencerminkan kekacauan dalam pikiran dan perasaan tokoh dalam puisi ini. Metafora hujan juga merujuk pada siklus alam yang terus berlangsung, menunjukkan bahwa meskipun peristiwa-peristiwa mengerikan terjadi, kehidupan akan terus berlanjut.

Penutup yang Merenungkan: Puisi ini ditutup dengan momen penenangan setelah kekacauan, tetapi dengan peringatan bahwa benih-benih sejarah telah ditanam dan bahwa tirani mungkin akan muncul kembali di masa depan. Ini menunjukkan bahwa konflik dan kegelapan akan selalu hadir dalam sejarah manusia.

Puisi "Ritus Hujan" adalah sebuah puisi yang kompleks dan mendalam, yang menyelidiki tema-tema universal seperti konflik, ketidakseimbangan kehidupan, dan keberlanjutan sejarah. Dengan menggunakan gambaran hujan dan tubuh manusia, penyair menggambarkan kekacauan dan ketidakpastian dalam dunia, serta refleksi tentang kemanusiaan dan pengaruhnya terhadap individu.

Ahmad Nurullah
Puisi: Ritus Hujan
Karya: Ahmad Nurullah

Biodata Ahmad Nurullah:
  • Ahmad Nurullah (penulis puisi, cerpen, esai, dan kritik sastra) lahir pada tanggal 10 November 1964 di Sumenep, Madura, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.