Puisi: Pada Sebuah Makan Sore (Karya Ahmad Nurullah)

Puisi "Pada Sebuah Makan Sore" karya Ahmad Nurullah merupakan sebuah refleksi mendalam tentang kehidupan manusia dan perjalanannya melalui waktu.
Pada Sebuah Makan Sore:
Intermezo
(- Untuk Arie MP Tamba)

Tidak. Kita tidak betul-betul tahu apa yang kita tunggu
di bawah sore yang berdebu. Kecuali sisa cahaya matahari yang sama
sejak berjuta abad lalu: sejak manusia
mulai mengenal airmata, dan dunia
belum seluas kata-kata
(Matahari adalah jejak sejarah yang jauh).

Kau santap nasi goreng, aku tahu rebus
mengelak dari lemak, dan kolesterol. Sebelumnya
kita mengembara ke berbagai benua yang jauh:
ke lautan cerita Salman, ke lembar-lembar halaman Fuentes
ke dunia yang kasar, dan yang gaib.

Aku tersedak, ingat: Airmata di Baghdad - dan berbagai kota lain
di Irak - telah dingin. Jerit dan teriak
telah usai. Meski masih tersisa isak. Seperti juga di sini
di mana pun: di seluruh dunia. Di sisi-sisi yang peka -
juga dalam hidup kita.

Mobil-mobil dan bus-bus kota bergerung-gerung. Seperti
rombongan kuda sinting menerjang udara. Dan kita segera pulang
ke Tanah Air, melompat ke dalam puisi. Dan kita berteduh, dan
kita bersantai, dan kita bercakap-cakap. Tentang
sesuatu yang tak ada. Sesuatu yang tak harus selalu ada.

Sore tergelincir, dan hari pun jadi gelap. Seperti kemarin, jutaan tahun lalu:
"Hidup memang gerak yang melingkar," kataku. "Ribuan tahun lalu,
makhluk seperti kita mungkin jutaan jumlahnya. Kita cuma pengulangan
dari sesuatu yang pernah ada. Kita klise, seperti airmata kita."
"Ya. Jutaan tahun lalu, mungkin kita cuma sebatang rumput," katamu.

Kita tertawa. Lalu kita beranjak, pulang, dan tidur,
dan aku bermimpi. (Dan mungkin engkau pun bermimpi):
Sehelai rumput tumbuh
menyentuh matahari.

Jakarta, 2003

Analisis Puisi:

Puisi "Pada Sebuah Makan Sore" karya Ahmad Nurullah merupakan sebuah refleksi mendalam tentang kehidupan manusia dan perjalanannya melalui waktu. Dengan gaya yang introspektif dan simbolisme yang kuat, Nurullah mengajak pembaca untuk merenungkan eksistensi manusia dan dinamika hubungannya dengan dunia sekitarnya.

Refleksi tentang Kehidupan Manusia: Puisi ini dibuka dengan pernyataan bahwa kita tidak benar-benar tahu apa yang kita tunggu di bawah langit senja yang berdebu. Hal ini menggambarkan ketidakpastian manusia dalam menjalani hidup, yang seringkali dipenuhi dengan harapan, keinginan, dan kebingungan. Sinar matahari yang telah ada sejak zaman kuno menjadi simbol keabadian dan kesinambungan, mengingatkan kita akan jejak sejarah yang terus berlanjut.

Makan Sore sebagai Metafora Perjalanan Hidup: Aktivitas sederhana seperti makan sore digambarkan sebagai momen refleksi dan introspeksi. Dalam makan sore bersama, terungkaplah perjalanan spiritual dan intelektual yang dilalui oleh pembicara dan rekan bicaranya. Mereka telah menjelajahi benua-benua jauh dan mendalami cerita-cerita serta pengetahuan dari berbagai budaya, mencerminkan kekayaan pengalaman hidup yang membentuk perspektif mereka.

Kesadaran akan Penderitaan dan Kehancuran: Puisi ini juga mencerminkan kesadaran akan penderitaan dan kehancuran di dunia, seperti peristiwa-peristiwa di Baghdad dan kota-kota lain di Irak. Meskipun suasana penuh kegelapan dan kehancuran, terdapat juga nuansa harapan dan kehangatan dalam kebersamaan dan pembicaraan yang mereka bagikan.

Penutup yang Menggugah: Dengan mengakhiri puisi dengan gambaran sehelai rumput yang tumbuh menyentuh matahari, Nurullah menyampaikan pesan tentang siklus kehidupan yang tak terputus. Metafora ini mengingatkan kita akan keabadian alam semesta dan peran manusia yang hanya sementara dalam perjalanan ini.

Puisi "Pada Sebuah Makan Sore" bukan hanya sebuah deskripsi tentang aktivitas sederhana, tetapi juga sebuah perenungan tentang kehidupan, keberadaan, dan keabadian. Nurullah mengajak pembaca untuk memikirkan tempat mereka dalam alam semesta yang luas dan mencari makna di tengah ketidakpastian dan kekacauan hidup.

Ahmad Nurullah
Puisi: Pada Sebuah Makan Sore
Karya: Ahmad Nurullah

Biodata Ahmad Nurullah:
  • Ahmad Nurullah (penulis puisi, cerpen, esai, dan kritik sastra) lahir pada tanggal 10 November 1964 di Sumenep, Madura, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.