Puisi: Lima Lampiran (Karya Mardi Luhung)

Puisi "Lima Lampiran" karya Mardi Luhung menawarkan sebuah perjalanan mendalam ke dalam karakter dan makna kehidupan yang tersembunyi di pesisir.
Lima Lampiran
(: belajar dari gus mus)

Di pesisir, Wak Huda adalah pendekar pencak. Khususnya pencak macan. Wak Huda juga punya group. Namanya: Group Pencak Macan. Group yang sigap jika ditanggap. Ditanggap untuk mengarak mempelai lelaki ke rumah mempelai wanita. Atau untuk kemeriahan malam kenduri sunatan. Wak Huda orangnya pendek tapi gempal. Segempal petinju yang kau lihat di televisi. Petinju yang matanya dalam. Sedalam laut di sana.

Wak Huda bisa menulis. Tapi tulisannya kaku. Sekaku cagak. Cagak pengikat perahu. Cagak yang mesti rajin ditelisik. Biar tetap aman. Biar perahu tidak lepas. Dan biar hati tenteram. Ketika si pemilik perahu tidur di balai. Tidur berbantal potongan bambu. Bersebelahan dengan orang-orang main sekak. Baik main berdua. Atau keroyokan. Riuh. Seriuh pasar burung. Yang berseberangan dengan lapak tukang sulap dan jamu.

Wak Huda tak suka pamer. Selalu bertempat di belakang. Cuma bergerak, dan bergerak. Dan semuanya beres. Beres dalam ketenangan. Beres dalam kesendirian. Karenanya, banyak yang menyebut: Wak Huda sebagai dapur yang selalu mengepul. Yang siap untuk menghidangkan santapan bagi yang bekerja. Baik yang bekerja ogah-ogahan atau sebaliknya. Karenanya, oleh orang-orang awas, dapur dianggap kamar kebaikan tersembunyi.

Suatu hari, Wak Huda bertanya: "Kau lihat mendung tebal itu. Apa hujan akan turun atau tidak?" Tentu saja aku jawab: "Sepertinya akan turun." Wak Huda mesem: "Kita tunggu nanti." Dan ternyata hujan tak turun. Mendung tebalnya bergeser. Tambah Wak Huda lagi: "Kenapa hujan tak turun? Karena tak ada semut yang keluar dari sarangnya. Dan untuk merasakan turunnya hujan atau tidak, semut lebih peka ketimbang kita."

Kini, setiap ketemu semut, setiap itu pula aku teringat Wak Huda. Pendekar pencak macan di pesisir. Pendekar pencak macan, yang sebelum berpisah denganku, berbisik: "Banyak sekali yang disebut pendekar. Tetapi pendekar yang sebenarnya, adalah yang mampu mengalahkan yang di sini," sambil menunjuk dadaku. Dada yang mengeras. Setiap ada yang menantang. Dan dada yang melagak. Setiap ada yang memuji nama diri.

Wak Huda, pencak macan, semut, dada, dan nama diri, adalah lima lampiran di pesisir. Pesisirku. Terimalah.

Gresik, 2017

Analisis Puisi:

Puisi "Lima Lampiran" karya Mardi Luhung menawarkan sebuah perjalanan mendalam ke dalam karakter dan makna kehidupan yang tersembunyi di pesisir. Dalam karya ini, Luhung menghadirkan sosok Wak Huda, seorang pendekar pencak macan, sebagai pusat dari eksplorasi makna dan filosofi. Melalui narasi dan simbolisme yang tajam, puisi ini menyajikan refleksi tentang identitas, keberanian, dan kearifan.

Sosok Wak Huda dan Pencak Macan

Wak Huda adalah seorang pendekar pencak macan yang dikenal di pesisir. Pencak macan, sebagai salah satu aliran seni bela diri, menggambarkan kekuatan dan ketangkasan. Di dalam puisi ini, Wak Huda digambarkan sebagai pribadi yang pendek dan gempal, namun memiliki karakter yang mendalam. Ketika dia bergerak, segala sesuatunya tampak beres dalam ketenangan dan kesendirian. Perannya dalam kelompok pencak macan mencerminkan keahlian dan dedikasi yang tak tergoyahkan.

Simbolisme dalam Tulisan dan Dada

Wak Huda dikenal tidak hanya karena keterampilan bertarungnya tetapi juga kemampuannya dalam menulis, meskipun tulisannya dianggap kaku. Tulisannya yang "kaku" dan "sekeras cagak" mencerminkan ketelitian dan perhatian terhadap detail. Cagak yang digunakan untuk mengikat perahu menandakan stabilitas dan keamanan, begitu juga tulisan Wak Huda yang melambangkan keteguhan dalam prinsip.

Dada yang keras adalah simbol dari keteguhan hati dan ego. Menurut Wak Huda, seorang pendekar sejati adalah mereka yang dapat mengalahkan egonya sendiri, yang terletak di dada. Ini menggarisbawahi konsep bahwa keberanian dan kehebatan tidak hanya terletak pada kemampuan fisik tetapi juga pada kontrol diri dan kedamaian batin.

Makna Hujan dan Semut

Dalam dialog tentang mendung dan hujan, Wak Huda mengajarkan kearifan sederhana namun mendalam. Dia menggunakan semut sebagai metafora untuk menunjukkan kepekaan dan ketelitian. Semut yang tidak keluar dari sarangnya menjadi pertanda bahwa hujan tidak akan turun, sebuah bentuk pengamatan yang lebih tajam daripada sekadar melihat cuaca.

Dialog ini mengingatkan kita pada pentingnya observasi dan intuisi dalam memahami dunia sekitar. Semut, sebagai makhluk kecil, memiliki kemampuan untuk merasakan hal-hal yang tidak terlihat oleh mata manusia, sebuah pelajaran tentang kepekaan dan kesadaran.

Lima Lampiran: Sebuah Kesimpulan

Puisi "Lima Lampiran" mengajak pembaca untuk melihat lebih jauh dari permukaan kehidupan sehari-hari. Wak Huda, pencak macan, semut, dada, dan nama diri adalah simbol-simbol yang menggambarkan berbagai aspek dari diri dan kehidupan. Dalam puisi ini, Luhung menekankan bahwa makna sejati dari keberanian dan kebijaksanaan terletak pada pemahaman mendalam tentang diri sendiri dan lingkungan sekitar.

Puisi ini juga memperlihatkan bagaimana berbagai elemen dalam kehidupan—baik itu sosok pendekar, makhluk kecil seperti semut, atau aspek batin seperti dada dan ego—semuanya saling terhubung dalam jalinan makna yang kompleks. Melalui "Lima Lampiran," kita diundang untuk merenung dan mencari pemahaman yang lebih dalam tentang makna sejati dari kehidupan dan keberanian.

Dengan gaya naratif yang khas dan simbolisme yang kaya, Mardi Luhung berhasil menyampaikan pesan yang mendalam dan menggugah pemikiran melalui puisi ini. "Lima Lampiran" bukan hanya sebuah karya sastra tetapi juga sebuah cermin untuk refleksi pribadi dan spiritual.

Mardi Luhung
Puisi: Lima Lampiran
Karya: Mardi Luhung

Biodata Mardi Luhung:
  • Mardi Luhung lahir pada tanggal pada 5 Maret 1965 di Gresik, Jawa Timur.
© Sepenuhnya. All rights reserved.