Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Jantung Bayang (Karya Ahda Imran)

Puisi “Jantung Bayang” karya Ahda Imran bercerita tentang sosok metaforis bernama “jantung bayang” — roh atau kesadaran yang hidup di antara terang ..
Jantung Bayang

Aku si jantung bayang

Makhluk halus penunggu menara purba
Berdegup di tengah jemaat dan nestapa
Menghembus dari pintu angin;
penunjuk jalan keselamatan

Biar kuasa langit kembali pada terang

Orang kalah!
Dari sekalian nestapa
kupanggul imanmu. Menjauhi
orang kafir dan segala
muslihat mereka

Tenun jubahmu bersulam benang keramat
Naik ke jenjang menara purba
Asah pisau biar iman berkilat
Berjagalah di gerbang hukum lama

Biar kuasa langit kembali pada terang

Aku si jantung bayang
Makhluk halus penunggu menara purba
Penghasut yang paling kudus.

2018

Analisis Puisi:

Puisi “Jantung Bayang” karya Ahda Imran adalah karya yang kompleks, mistis, dan sarat simbolisme religius maupun sosial. Dengan gaya bahasa yang metaforis dan bernuansa spiritual, penyair menghadirkan sosok “aku” liris yang misterius: “makhluk halus penunggu menara purba.” Sosok ini menjadi jantung dari bayangan — entitas yang hidup di antara iman dan kesesatan, antara kesucian dan penghasutan. Melalui struktur yang berulang dan simbol-simbol religius, puisi ini menyingkap lapisan batin manusia yang bergulat dengan iman, kekuasaan, dan moralitas.

Tema

Tema utama puisi “Jantung Bayang” adalah pergulatan antara iman, kekuasaan, dan kegelapan dalam diri manusia. Ahda Imran menyoroti ketegangan batin manusia antara kebenaran yang suci dan dorongan kuasa yang kerap diselimuti oleh bayangan keangkuhan.

Ungkapan seperti “Biar kuasa langit kembali pada terang” menggambarkan kerinduan akan kemurnian spiritual, sementara baris “Aku si jantung bayang, penghasut yang paling kudus” menghadirkan paradoks yang mengguncang: sosok yang tampaknya suci, tetapi juga mengandung godaan dan dosa.

Tema ini juga dapat dibaca sebagai refleksi terhadap penyimpangan keagamaan dan moral, di mana yang mengaku “penjaga kebenaran” justru menjadi sumber kesesatan baru.

Puisi ini bercerita tentang sosok metaforis bernama “jantung bayang” — roh atau kesadaran yang hidup di antara terang dan gelap, iman dan kesesatan. Ia digambarkan sebagai makhluk halus penjaga menara purba, simbol kekuasaan dan kemegahan masa lalu, yang kini menjadi saksi atas kemerosotan spiritual manusia.

Sang “aku” dalam puisi ini mengaku sebagai penunjuk jalan keselamatan, tetapi juga mengaku sebagai “penghasut yang paling kudus.” Kontradiksi ini menunjukkan bahwa sosok tersebut adalah representasi dari kekuatan ganda dalam diri manusia: keinginan untuk menjadi suci sekaligus godaan untuk berkuasa atas nama kesucian itu sendiri.

Puisi ini bukan hanya tentang roh yang berkelana di menara tua, tetapi tentang manusia modern yang tersesat dalam fanatisme, kehilangan makna iman yang sejati, dan menjadikan agama sebagai alat kekuasaan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi “Jantung Bayang” adalah kritik terhadap kemunafikan spiritual dan manipulasi agama. Sosok “jantung bayang” adalah simbol manusia yang merasa suci, namun sesungguhnya hidup dalam kegelapan bayangan.

Baris “Tenun jubahmu bersulam benang keramat / Naik ke jenjang menara purba” menyiratkan ritualitas palsu — upaya manusia membungkus kesombongan dengan atribut kesalehan. Begitu pula “Asah pisau biar iman berkilat” menunjukkan bagaimana iman bisa dipelintir menjadi senjata kekerasan atau pembenaran moral.

Sementara kalimat yang berulang “Biar kuasa langit kembali pada terang” menunjukkan kerinduan untuk mengembalikan kemurnian spiritual, seolah penyair ingin memisahkan iman sejati dari segala tipu daya kekuasaan yang membungkusnya.

Dengan demikian, makna tersiratnya berbicara tentang kebutuhan untuk membersihkan keyakinan dari bayang-bayang fanatisme dan ego manusia.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini gelap, mistis, dan sakral. Pembaca seolah dibawa ke dunia spiritual yang penuh gema doa, bisikan roh, dan ritual keagamaan kuno.

Kata-kata seperti “menara purba,” “jemaat dan nestapa,” serta “benang keramat” menimbulkan aura spiritual yang berat dan penuh misteri. Namun di balik kesan religius itu, terdapat nuansa ketegangan batin dan bahaya tersembunyi, seperti bayangan yang berbisik di balik cahaya altar.

Suasana ini membuat puisi terasa seperti doa yang bergema di ruang kosong — indah tapi mengerikan, penuh makna tapi juga menyisakan kebingungan moral.

Amanat / Pesan yang disampaikan puisi

Pesan utama dalam puisi ini adalah peringatan agar manusia tidak terjebak dalam kesombongan spiritual dan kemunafikan keagamaan.

Ahda Imran tampaknya ingin menegaskan bahwa iman sejati tidak lahir dari simbol-simbol suci yang kaku, melainkan dari kesadaran batin yang tulus dan terbuka terhadap cahaya kebenaran.

Baris “Biar kuasa langit kembali pada terang” adalah seruan untuk memurnikan kembali makna iman dari kegelapan nafsu kuasa dan manipulasi. Sementara pengakuan “Aku si jantung bayang… penghasut yang paling kudus” menjadi refleksi bahwa manusia seringkali menjadi bagian dari masalah spiritual itu sendiri.

Amanatnya: berhati-hatilah terhadap kesalehan yang palsu, sebab bayangan yang tampak suci kadang menyembunyikan penghasut yang berwajah kudus.

Imaji

Puisi ini penuh imaji visual dan spiritual yang kuat.
  • Imaji visual tampak pada deskripsi “menara purba,” “benang keramat,” dan “gerbang hukum lama.” Pembaca dapat membayangkan sebuah bangunan kuno yang menjulang, sakral namun berdebu, tempat di mana ritual keimanan dan kekuasaan pernah bersatu.
  • Imaji auditif (suara) hadir dalam baris “Berdegup di tengah jemaat dan nestapa,” menggambarkan jantung yang berdenyut di tengah keramaian doa dan penderitaan manusia.
  • Imaji spiritual muncul lewat penggambaran “kuasa langit,” “penghasut yang kudus,” dan “iman berkilat,” yang mempertemukan unsur religius dan simbolis dengan intensitas batin yang dalam.
Semua imaji ini menimbulkan kesan dramatis dan sakral — seperti sebuah ritual yang berlangsung di ruang gelap antara dunia fana dan dunia suci.

Majas

Beberapa majas (gaya bahasa) yang menonjol dalam puisi “Jantung Bayang” antara lain:
  • Metafora – seluruh sosok “jantung bayang” adalah metafora dari kesadaran spiritual manusia yang hidup dalam konflik antara cahaya dan kegelapan.
  • Personifikasi – “kuasa langit kembali pada terang” memberikan sifat manusiawi pada konsep abstrak kuasa langit.
  • Repetisi – pengulangan frasa “Biar kuasa langit kembali pada terang” menciptakan efek litani, seperti doa yang diulang-ulang dalam ritual.
  • Paradoks – “penghasut yang paling kudus” adalah kontradiksi yang menegaskan kompleksitas moral manusia.
  • Simbolisme – “menara purba” melambangkan struktur kekuasaan lama, baik spiritual maupun politik; “benang keramat” melambangkan keimanan yang diselimuti kepalsuan.
Puisi “Jantung Bayang” karya Ahda Imran adalah karya yang memadukan simbolisme religius, kritik sosial, dan refleksi spiritual dalam satu tarikan napas yang gelap dan penuh makna. Tema utamanya tentang perjuangan antara iman sejati dan bayangan kesesatan, menghadirkan tokoh metaforis yang suci sekaligus berdosa.

Melalui diksi yang magis dan repetisi bernuansa doa, Ahda Imran menyingkap sisi gelap manusia yang mengklaim kesucian namun justru menghasut kegelapan. Imaji menara, cahaya, dan bayangan berpadu membangun atmosfer mistik yang menggugah, sementara majas paradoks dan metafora memperkaya lapisan makna.

Puisi ini menjadi cermin bagi manusia modern — bahwa di tengah hiruk-pikuk moral dan agama, iman sejati tidak hidup di menara purba, tetapi di jantung yang berani melawan bayangannya sendiri.

Ahda Imran
Puisi: Jantung Bayang
Karya: Ahda Imran

Biodata Ahda Imran:
  • Ahda Imran lahir pada tanggal 10 Agustus 1966 di Baruah Gunuang, Sumatera Barat, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.