Puisi: Api Sita (Karya Arif Bagus Prasetyo)

Puisi "Api Sita" karya Arif Bagus Prasetyo membawa pembaca pada perjalanan emosional dan simbolik yang kaya, menggabungkan mitologi, tragedi, dan ...
Api Sita

Lebur jasadku ke dalam nyala!

Sita memekik. Sebelum ambruk
ke sebalik semak asap yang menjulang. Hawa panas
dan gemertak busa lemak terbakar menembakkan meriam
kunang-kunang ke angkasa. Topan api memerahi lazuardi…

Bibir getir. Sejuta bola mata nanap menatap
mencabikku meraung-raung menjeritkan kutukNya.
Berdosakah aku?
Lengan kekar kelabu. Hasrat bejat.
Kerdip nasib yang kubenci. Dan musim bunga
cuma pintar mengajarku bercinta.

Tiada lagi ngeri. Perang suci yang percuma.
Juga revolusi. Tapi mengapa masih kudengar
revolver pecah di sela iga. Aroma amis gerimis
lepas. Ambyar terkapar dari pelukan
lelaki kasar yang telah jauh menebus rindu.
Berahi maut. Dan kelak bila elang-elang teluk
meliuk liar mencakari hantu-hantu serdadu,
laskar pembakar titisan dewa, percikkan
rohku dalam perihmu, Dasamuka.

Kita menjelma sepasang naga
memangsa bulan di cakrawala.

1996

Analisis Puisi:

Puisi "Api Sita" karya Arif Bagus Prasetyo adalah karya sastra yang memukau dengan kedalaman makna dan kompleksitas gaya bahasanya. Puisi ini membawa pembaca pada perjalanan emosional dan simbolik yang kaya, menggabungkan mitologi, tragedi, dan kritik sosial dalam nuansa metafora yang intens.

Tema dan Makna Puisi

Puisi ini menonjolkan tema besar tentang pengorbanan, konflik batin, dan kemarahan terhadap ketidakadilan. Dengan berpusat pada figur mitologis Sita, puisi ini tidak hanya merefleksikan penderitaan pribadi tetapi juga menjadi cermin dari kekerasan, kehancuran, dan absurditas dunia. Beberapa lapisan makna yang dapat ditemukan dalam puisi ini meliputi:
  1. Sita sebagai Simbol Pengorbanan dan Kebenaran yang Terbakar:Tokoh Sita dalam mitologi Ramayana dikenal sebagai simbol kesucian dan keberanian, tetapi dalam puisi ini, Sita bukan hanya tokoh pasif yang diuji, melainkan pribadi yang memilih untuk melawan dengan berani menyerahkan dirinya kepada api. Baris "Lebur jasadku ke dalam nyala!" mengisyaratkan pemberontakan terhadap kezaliman dan ketidakadilan yang dialaminya.
  2. Kemarahan terhadap Ketidakadilan dan Kesucian yang Ternoda: Melalui baris "Berdosakah aku? Lengan kekar kelabu. Hasrat bejat," puisi ini mengekspresikan kegelisahan dan pertanyaan eksistensial terhadap moralitas, dosa, dan penghakiman masyarakat. Ini adalah refleksi atas bagaimana sosok perempuan sering kali menjadi korban dalam konflik yang lebih besar.
  3. Kehancuran dan Siklus Kekerasan: Frasa seperti "perang suci yang percuma" dan "revolver pecah di sela iga" mengungkapkan absurditas perang dan kekerasan yang terus berulang. Kekerasan ini digambarkan sebagai sesuatu yang destruktif, tetapi juga ironisnya menjadi bagian dari siklus hidup yang berulang.
  4. Simbolisme Api sebagai Penghancuran dan Pembersihan: Api dalam puisi ini adalah elemen sentral, melambangkan kehancuran, penghapusan dosa, tetapi juga transformasi. Dalam baris "Kita menjelma sepasang naga memangsa bulan di cakrawala," api menjadi simbol kelahiran kembali yang penuh kekuatan, tetapi juga menyeramkan.

Gaya Bahasa

Puisi ini memukau dengan gaya bahasa yang kaya akan simbolisme dan imaji yang kuat. Beberapa aspek penting dalam gaya bahasa puisi ini meliputi:
  • Diksi dan Imaji Visual: Baris seperti "Topan api memerahi lazuardi" dan "meriam kunang-kunang ke angkasa" memberikan gambaran visual yang dramatis dan penuh warna. Imaji ini menciptakan suasana apokaliptik yang membakar.
  • Personifikasi dan Metafora: 
    • "Lengan kekar kelabu. Hasrat bejat": Personifikasi yang menggambarkan tubuh manusia sebagai arena konflik moral dan dosa.
    • "Kunang-kunang ke angkasa": Metafora ini menyiratkan kebangkitan roh yang melampaui penderitaan duniawi.
  • Nada Tragis dan Intens: Nada dalam puisi ini tragis dan penuh intensitas emosional. Setiap barisnya mengungkapkan penderitaan yang mendalam dan kemarahan yang tak terelakkan, memberikan pembaca rasa pilu sekaligus kagum.

Simbolisme dan Referensi Mitologi

Puisi ini sarat dengan simbolisme yang merujuk pada mitologi Ramayana, terutama sosok Sita dan Dasamuka (Rahwana).
  1. Sita sebagai Simbol Perlawanan: Dalam mitologi, Sita adalah korban dari ujian kesucian yang dilakukan oleh Rama. Namun, dalam puisi ini, Sita mengambil kendali atas nasibnya, menunjukkan keberanian dan pengorbanan sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan.
  2. Dasamuka sebagai Cerminan Kegelapan: Rahwana atau Dasamuka sering kali dilihat sebagai simbol kejahatan. Dalam puisi ini, keberadaan Dasamuka bisa ditafsirkan sebagai representasi kekuatan destruktif yang juga menjadi bagian dari transformasi manusia. Baris "percikkan rohku dalam perihmu, Dasamuka" menciptakan hubungan kompleks antara korban dan pelaku.

Pesan dan Kritik Sosial

  1. Pemberontakan terhadap Norma Patriarki: Dalam tradisi mitologi, Sita adalah simbol kesetiaan yang sering kali diuji oleh norma patriarki. Namun, puisi ini menggambarkan Sita sebagai simbol kekuatan dan keberanian yang menolak tunduk pada norma tersebut.
  2. Kritik terhadap Kekerasan dan Perang: Puisi ini juga menjadi kritik terhadap absurditas perang dan kekerasan. Baris "perang suci yang percuma" dan "aroma amis gerimis lepas" menunjukkan bagaimana kekerasan hanya meninggalkan kehancuran tanpa makna.
  3. Transformasi Melalui Penderitaan: Puisi ini menunjukkan bahwa melalui penderitaan, ada kemungkinan transformasi. Api tidak hanya menghancurkan tetapi juga memurnikan, memberikan peluang untuk kelahiran kembali.

Relevansi Puisi dalam Konteks Modern

Puisi "Api Sita" relevan dalam konteks modern, terutama dalam isu-isu seperti feminisme, perlawanan terhadap ketidakadilan, dan kritik terhadap kekerasan. Pesan tentang keberanian melawan norma yang menindas dan absurditas kekerasan tetap relevan dalam berbagai konteks sosial dan politik.

Puisi "Api Sita" adalah puisi yang menggugah dengan simbolisme mendalam, diksi yang indah, dan tema yang relevan. Arif Bagus Prasetyo berhasil menciptakan karya yang tidak hanya merenungkan tragedi mitologis tetapi juga menawarkan kritik sosial yang tajam terhadap norma-norma yang menindas dan absurditas kekerasan.

Melalui metafora api yang membakar, puisi ini mengingatkan pembaca tentang kekuatan transformasi melalui penderitaan, serta pentingnya keberanian untuk melawan ketidakadilan. Puisi "Api Sita" adalah karya yang abadi, pantas menjadi renungan bagi siapa saja yang mencari makna dalam tragedi dan perjuangan.

Puisi Terbaik
Puisi: Api Sita
Karya: Arif Bagus Prasetyo
© Sepenuhnya. All rights reserved.